Kontemporer

Gempa dan Tsunami Teguran Keras Allah

Gempa dan tsunami yang menerjang wilayah Sulawesi Tengah merupakan teguran keras dari Allah swt untuk semua orang. Penyebabnya bukan karena lempengan yang bertubrukan atau bergeser, melainkan kehendak Allah swt yang hendak menegur kelalaian manusia. Penjelasan ilmiah para ilmuwan tidak boleh menggerus nilai-nilai luhur yang diajarkan al-Qur`an, sebab al-Qur`an selalu melampaui penemuan ilmiah para ilmuwan yang terbatas pada fakta yang baru teramati saja.

Sampai tulisan ini dimuat, para ilmuwan yang tergabung dalam BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) juga para ilmuwan dari luar negeri, masih mencari-cari penjelasan ilmiah mengapa gempa bumi yang terjadi di Donggala, Sulawesi Tengah, melebihi perkiraan ilmiah manusia. Kota Palu sampai diterjang tsunami setinggi 5 meter, padahal gempa bumi yang terjadi hanya berupa pergeseran lempengan, bukan bertubrukan sebagaimana gempa bumi di Aceh 2004 silam. Itu juga terjadi jauh di Donggala, bukan di Palu. Satu desa di Petobo, Palu, bahkan sampai “ditelan” tanah dan hanya menyisakan atap-atap rumah yang berjumlah kurang lebih 700 rumah. Fenome liquefaction, yakni rumah dan pohon yang bergerak maju, juga terekam oleh beberapa kamera amatir. Jujur benar yang dikatakan Jason Patton, pakar geofisika dari California, AS: “Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kita biasanya mendapati hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya,” sebagaimana dilansir New York Times (detik.com).
Sesuatu disebut “ilmiah” itu memang sebatas menjelaskan apa yang bisa diamati dan telah terjadi, tidak bisa melampaui itu. Jika mencoba melampauinya, maka pasti langsung divonis tidak ilmiah. Kalau bukan mitos atau takhayul, pasti sebutannya adalah dogma (dalih agama) atau pikiran kacau. Ilmu manusia modern pun menjadi sangat sempit. Mereka sebatas diajarkan dan didoktrin untuk meyakini kebenaran yang kasat mata. Di luar yang kasat mata tidak boleh diyakini sebagai kebenaran. Inilah petaka sekularisasi yang menjerumuskan manusia sebatas pada kesibukan meneliti sebab akibatnya semata, dan melupakan “Sang Maha Penyebab” dari balik semua itu.
Islam tentu tidak memusuhi penemuan ilmiah yang hendak menjelaskan sebab akibat (hukum kausalitas) dari suatu peristiwa. Al-Qur`an sendiri banyak menjelaskan sebab akibat dari tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanah suatu kebun karena curahan air hujan. Demikian halnya banyak kerusakan di bumi sesudah diciptakan dalam keadaan beres akibat ulah manusia yang senang merusak. Ketika Nabi Yusuf as memberitahukan kepada rakyat Mesir akan adanya musim paceklik yang panjang, beliau menyarankan agar gudang Bulog menyimpan lebih banyak persediaan di setiap tahunnya melebihi tahun-tahun biasanya. Agar anak-anaknya selamat dari kejahatan orang-orang jahil, Nabi Ya’qub as menganjurkan mereka masuk Mesir tidak dari satu gerbang kota yang sama, melainkan dari berbagai gerbangnya. Nabi Muhammad saw juga menganjurkan umatnya untuk berhijrah, berjihad, dan bersabar, sebab kemenangan dan kesuksesan tidak bisa didapat dengan mudah tanpa proses yang melelahkan. Semua itu jelas meniscayakan adanya hukum kausalitas.
Akan tetapi al-Qur`an mengajarkan lebih dari sekedar hukum kausalitas yang kasat mata saja. al-Qur`an mengingatkan bahwa gempa bumi, tsunami, dan semua bencana alam lainnya adalah teguran keras dari Allah swt atas dosa yang telah lama diperbuat manusia. Bagi orang-orang durhaka musibah alam itu adalah siksa, meski orang-orang beriman pun akan terkena imbasnya juga sebagai sebuah sunnatul-‘Llah (ketetapan Allah swt atas alam ini). Hanya tentu orang-orang beriman kelak di akhirat akan dibangkitkan dalam kumpulan orang-orang shalih dipisahkan dari orang-orang durhaka. Siksa bagi orang-orang durhaka itu menjadi kifarat dosa bagi mereka yang beriman.

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ  ٣٠

Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS. as-Syura [42] : 30).

فَكُلًّا أَخَذۡنَا بِذَنۢبِهِۦۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ أَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِ حَاصِبٗا وَمِنۡهُم مَّنۡ أَخَذَتۡهُ ٱلصَّيۡحَةُ وَمِنۡهُم مَّنۡ خَسَفۡنَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ وَمِنۡهُم مَّنۡ أَغۡرَقۡنَاۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ  ٤٠

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (QS. al-‘Ankabut [29] : 40).

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا ظَهَرَ السُّوْءُ فِي الْأَرْضِ أَنْزَلَ اللهُ بِأَهْلِ اْلأَرْضِ بَأْسَهُ. قَالَتْ: وَفِيْهِمْ أَهْلُ طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: نَعَمْ, ثُمَّ يَصِيْرُوْنَ إِلَى رَحْمَةِ اللهِ تَعَالَى

Nabi saw bersabda: “Apabila telah tampak jelas keburukan di muka bumi, maka Allah swt akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi.” Tanya ‘Aisyah: “Walau di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla?” Jawab Nabi: “Ya, tapi kemudian (di akhirat) mereka dikembalikan pada rahmat Allah swt (surga).” (Musnad Ahmad 6 : 41 no. 24179)
Dan bagi siapapun yang belum mengalaminya, bencana alam itu pada hakikatnya sedang mengintai di hadapannya. Ia akan datang tanpa pernah diduga sebelumnya. Merenggut nyawa orang-orang yang enggan berhenti dari kedurhakaannya, sekaligus orang-orang beriman yang belum berhasil meminimalisir kedurhakaan sampai jumlah yang lebih kecil daripada keshalihan.

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ  ٩٦

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ

Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?

أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ

Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?

أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS. al-A’raf [7] : 96-99).

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ

“Sesungguhnya manusia itu, apabila mereka melihat kemunkaran lalu mereka tidak merubahnya, maka hampir sekali Allah meliputi mereka dengan siksa.” (Shahih Ibn Hibban dzikr al-bayan bi annal-muta`awwil qad yukhthi`u fi ta`wilihi no. 305).

قِيْلَ أَنَهْلِكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ قَالَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

Ditanyakan (oleh Zainab): “Apakah kami akan binasa padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Beliau menjawab: “Ya, apabila banyak yang jeleknya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy wailun lil-‘arab min syarrin qad-iqtaraba no. 6650)
Maka masih pantaskah ada orang yang merasa aman-aman saja berbuat makar dari datangnya makar Allah swt? Ataukah masih pantas hanya bercuap-cuap menjelaskan sebab ilmiah dari bencana alam seraya mengabaikannya sebagai teguran keras dari Allah swt? Atau merasa cukup shalih dirinya sendiri saja tanpa tergerak beramar ma’ruf nahyi munkar kepada yang lainnya? Wal-‘Llahul-Musta’an

Related Articles

Back to top button