Qur'an

Gagal Paham Tahfizh al-Qur`an

Masih saja ada yang mencibir kegiatan tahfizh al-Qur`an yang sudah cukup semarak di tengah-tengah umat. Dicibirnya bahwa menghafal itu tidak penting atau tidak wajib, yang penting itu memahami al-Qur`an. Tahfizh al-Qur`an dijadikan kedok untuk memberlakukan bayaran mahal masuk ke Pesantren tertentu. Ada juga yang menuding orang kafir juga hafal al-Qur`an dan hadits, seakan-akan dianggap sama saja dengan orang kafir. Ini semua disebabkan “gagal paham” tentang tahfizh al-Qur`an.

Cibiran-cibiran yang datang terkait kegiatan menghafal al-Qur`an bisa dipastikan datang dari orang-orang yang tidak hafal dan tidak menghafal al-Qur`an. Mungkin disebabkan mereka putus asa karena tidak mampu menghafal al-Qur`an dan takut dikategorikan orang yang tidak baik oleh masyarakat, jadinya melempar cibiran yang menyerang tahfizh al-Qur`an sebagai perlindungan diri. Menghafal al-Qur`an itu pasti satu paket dengan tahsin/tajwid al-Qur`an. Para penghafal al-Qur`an hampir semuanya orang-orang yang sudah baik tahsin/tajwid al-Qur`annya. Demikian sebaliknya, orang yang malas menghafal al-Qur`an umumnya juga orang yang jelek bacaan al-Qur`annya. Dalam hal ini penilaian negatif dari masyarakat sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Umat Islam pasti menilai jelek siapa saja yang bacaan al-Qur`annya rusak dan hafalan al-Qur`annya minim. Karena merasa terdesak dengan penilaian jelek umat, jadinya malah mencibir kegiatan menghafal al-Qur`an. Seyogianya mereka menginsafi kekurangan dirinya terkait bacaan dan hafalan al-Qur`an kemudian memperbaikinya, bukan malah melempar cibiran-cibiran yang tidak sepatutnya.
Orang-orang yang mencibir kegiatan menghafal al-Qur`an juga bisa dipastikan orang-orang yang hatinya jauh dari al-Qur`an karena tertutup hawa nafsu memandang rendah menghafal al-Qur`an. Padahal al-Qur`an memiliki dorongan ilahiyyah bagi setiap hati yang bersih agar selalu membacanya, baik melalui teks mushhaf ataupun dari hati langsung melalui hafalan. Ayat-ayat al-Qur`an mengeluarkan satu tarikan kepada setiap hati yang khusyu’ untuk membuka lagi ayat-ayat lainnya, memahami maknanya, dan kemudian mengingatnya dalam hati agar senantiasa bisa didzikirkan di setiap waktu, khususnya di setiap shalat. Mereka yang tidak pernah merasakan dorongan dan tarikan ilahiyyah dari al-Qur`an seperti ini bisa dipastikan memiliki hati yang bermasalah. Hati mereka bisa diibaratkan seperti batu atau lebih keras daripada batu.

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحۡسَنَ ٱلۡحَدِيثِ كِتَٰبٗا مُّتَشَٰبِهٗا مَّثَانِيَ تَقۡشَعِرُّ مِنۡهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمۡ وَقُلُوبُهُمۡ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهۡدِي بِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنۡ هَادٍ 

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit (tubuh) orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya (QS. az-Zumar [39] : 23).
Ayat di atas tegas menyatakan bahwa hidayah Allah swt yang diberikan oleh-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya itu adalah melalui al-Qur`an yang menggetarkan tubuh dan hati, melahirkan rasa takut, dan mendatangkan ketenteraman ketika dijadikan dzikir. Semua ini karena pembawaan dari al-Qur`an itu sendiri yang mutasyabih (serupa mutu ayat-ayatnya) dan matsani (berulang-ulang). Inilah dorongan dan tarikan ilahiyyah dari al-Qur`an. Pasti akan selalu mendorong setiap hati yang memperoleh pancaran hidayah untuk selalu memahami ayat-ayat lainnya dan mengulang-ulangnya untuk kemudian dijadikan dzikir. Sungguh aneh jika ada dikotomi yang penting paham, tidak perlu hafal, sebab al-Qur`an bukan kitab ilmu semata untuk konsumsi akal, melainkan juga kitab dzikir untuk konsumsi hati yang harus selalu dibaca berulang-ulang terutama dalam shalat melalui hafalan.
Nabi saw sudah menegaskan dalam hadits-haditsnya:

بِئْسَ مَا لأَحَدِهِمْ أَنْ يَقُولَ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ نُسِّىَ، وَاسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنَ النَّعَمِ

Alangkah jeleknya seseorang di antara kamu yang berkata: “Aku lupa sejumlah ayat ini dan itu,” karena yang benar ia dijadikan lupa. Maka dari itu hafalkanlah al-Qur`an, karena sesungguhnya dia lebih mudah terlepas dari ingatan seseorang daripada terlepasnya unta (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab istidzkar al-Qur`an wa ta’ahudihi no. 5032).
Dalam hadits ini Nabi saw menegaskan bahwa al-Qur`an itu mudah lepas dari ingatan hati setiap orang, oleh sebab itu harus selalu diingat-ingat alias dihafal. Kegiatan menghafal ini jangan terhenti oleh sifat putus asa akan susahnya menghafal al-Qur`an. Jadi jangan karena menghafal al-Qur`an susah jadinya berhenti menghafal. Justru karena menghafal al-Qur`an susah, jadinya harus semakin giat agar semakin mudah.
Cara yang Nabi saw ajarkan agar tidak lupa hafalan al-Qur`an adalah menjadi shahibul-Qur`an yang rutin membaca al-Qur`an dalam shalat. Artinya kualitas hafalan al-Qur`an itu sebanding dengan kualitas bacaan dalam shalatnya. Jika jelek, berarti shalatnya masih jelek. Jika sudah baik, berarti shalatnya sudah baik. Di sini terlihat urgensi mengafal al-Qur`an bagi setiap muslim yakni agar dirinya menjadi shahibul-Qur`an yang berkualitas dalam bacaan shalatnya.وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
Apabila shahibul (penghafal)-Qur`an itu qiyam (shalat) dan membacanya di waktu (shalat) malam dan siang, maka ia akan mengingatnya. Jika ia tidak shalat dengannya, ia akan melupakannya (Shahih Muslim bab al-amr bi ta’ahhudil-Qur`an no. 1876).
Maksud “shahibul-Qur`an”, menurut Imam an-Nawawi, adalah seseorang yang alifahu; sudah lembut menyertai al-Qur`an atau mampu menjinakkan al-Qur`an. Kriterianya adalah orang yang sudah mampu membaca al-Qur`an dalam shalatnya lewat hafalan. Jika masih belum hafal al-Qur`an dalam shalat berarti belum menjadi shahibul-Qur`an sepenuhnya.
Nabi saw, para shahabat, dan para pengikutnya yang baik di sepanjang zaman selalu identik dengan amaliah hafal al-Qur`an dan shalat yang panjang, khususnya shalat malam. Mencibir kegiatan menghafal al-Qur`an berarti sama dengan mencibir sunnah Nabi saw yang sudah dilestarikan oleh para pelanjutnya yang baik. Nabi saw sendiri bersabda: “Siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari umatku.”
Jika memang tidak mampu menghafal al-Qur`an sebaiknya tidak perlu mencibir. Cukup saja menilai diri sendiri tidak mampu, sudah selesai. La yukalliful-‘Llah nafsan illa wus’aha; Allah tidak membebani satu jiwa melainkan sesuai kemampuan maksimalnya. Akan tetapi sunnah menghafal al-Qur`an harus tetap diajarkan dan didorongkan kepada umat agar mareka tidak gagal paham.
Menghafal al-Qur`an wajib, memahami al-Qur`an wajib. Bahkan kualitas pemahaman al-Qur`an itu sendiri salah satunya terlihat dari hafalan al-Qur`an. Mana mungkin orang yang tidak hafal al-Qur`an mampu memahami al-Qur`an secara sempurna, sebab akan ada ayat-ayat yang terputus dari ingatannya, jadi tidak akan pernah sempurna pemahamannya. Kedua amal wajib tersebut jangan diperkosa salah satunya. Jangan hanya mementingkan menghafal al-Qur`an dan abai dari memahami maknanya, atau juga sebaliknya. Yang berlaku umum dalam kurikulum pendidikan Islam menghafal al-Qur`an itu adalah gerbang awal untuk menjadikan hati khusyu’ pada al-Qur`an dan agar belajar pemahaman al-Qur`an tidak mudah hilang. Maka jangan berprasangka buruk kepada orang-orang yang giat menghafal al-Qur`an tidak kemudian memahaminya. Faktanya para penghafal al-Qur`an akan selalu kemudian belajar untuk memahami al-Qur`an.
Cibiran bahwa tahfizh al-Qur`an dijadikan kedok untuk menaikkan bayaran ke Pesantren Tahfizh adalah tuduhan yang tidak berdasar. Faktanya banyak Pesantren tahfizh al-Qur`an yang memberikan layanan pendidikan gratis atau murah. Faktanya juga banyak lembaga pendidikan berlabel “Pesantren” yang tidak bisa menerapkan kurikulum tahfizh al-Qur`an karena terkendala dana untuk memberi rotibah kepada para Muhafizhnya. Kurikulum tahfizh al-Qur`an pastinya membutuhkan tenaga Muhafizh yang banyak. Jika pada kelas bukan tahfizh satu guru bisa untuk 30 santri dan mengajar 1 kali per pekan, maka dalam tahfizh al-Qur`an satu guru maksimal untuk 5 orang santri dan mengajar setiap hari. Secara anggaran biaya pasti akan lebih mahal. Makanya Pesantren yang terbatas dananya lebih memilih tidak menerapkan kurikulum tahfizh al-Qur`an. Jadi harus diakui bahwa kurikulum tahfizh al-Qur`an menuntut dana yang berlebih, bukan mahal. Yang lebih ironi lagi, banyak Pesantren yang menerapkan bayaran santri yang tidak murah, tetapi santrinya tidak dibimbing tahsin dan tahfizh al-Qur`an yang baik. Jadi sebenarnya Pesantren mana yang mahal itu?
Menyamakan orang kafir yang hafal al-Qur`an dengan kaum muslimin yang giat menghafal al-Qur`an sama dengan mencampuradukkan haq dan bathil. Sebuah kekeliruan fatal untuk tidak disebutkan sesat. Al-Qur`an tidak akan pernah menjadi hidayah bagi orang kafir dan tidak akan menjadikan mereka ahli shalat, sementara orang muslim akan mendapatkan hidayah dan terdorong untuk meningkatkan kualitas shalatnya dengan menghafal al-Qur`an. Menghafal al-Qur`an akan semakin meningkatkan rasa takut seorang muslim dan mendorongnya untuk memahami dan mengamalkan al-Qur`an, sementara terhadap orang kafir tidak mungkin demikian. “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Bagaimana kalian bisa menghukumi seperti itu?” (QS. al-Qalam [68] : 35-36). Wal-‘Llahul-Musta’an

Back to top button