Menyingkap Tadarus al-Qur`an

Bulan Ramadlan sudah pasti identik dengan tadarus al-Qur`an, sebab Ramadlan bulan al-Qur`an dan Nabi saw mencontohkan tadarus al-Qur`an selama bulan Ramadlan. Meski demikian masih saja banyak masjid yang tidak menyelenggarakan tadarus al-Qur`an. Ada yang memang karena tidak cukup tenaga untuk melaksanakannya sebab sudah lelah dengan amal shaum dan tarawih, ada juga yang memang berpendapat bahwa tadarus itu khusus bagi Nabi saw saja. Kebanyakan masjid yang menyelenggarakan tadarus juga hanya baru sebatas membaca al-Qur`an berjama’ah dengan target tamat 30 juz dalam satu bulan. Setelah tamat 30 juz seringkali tadarus tidak dilanjut. Membaca al-Qur`an secara berjama’ah yang dimaksud juga umumnya membaca secara bergiliran seorang-seorang, sementara yang lain menunggu giliran. Ada juga yang menunggu sambil memperhatikan bacaan orang yang sedang membaca al-Qur`an. Apakah penyikapan yang beragam dalam hal tadarus ini sudah sesuai dengan tuntunan sunnah? Bagaimana sebenarnya kedudukan tadarus di bulan Ramadlan ini dalam sunnah?
Tadarus atau mudarasah asal katanya darasa. Dilihat dari makna kebahasaannya, Imam Ibn Manzhur menjelaskan, tadarus arti asalnya ‘menghapus’. Digunakannya istilah ini pada al-Qur`an mengisyaratkan bahwa amaliah tadarus itu harus sampai ‘menghapus’ tulisan al-Qur`an dan memindahkannya ke dalam hafalan.
دَرَسَ الشَّيْءُ وَالرَّسْمُ يَدْرُسُ دُرُوْسًا: عَفَا. وَدَرَسَتْهُ الرِّيْحُ, يُتَعَدَّى وَلاَ يُتَعَدَّى، وَ دَرَسَهُ الْقَوْمُ: عَفَّوْا أَثَرَهُ.
Darasa-yadrusu-durusan sesuatu dan tulisan: terhapus. Contoh lainnya, darasathur-rih: terhapus angin. Bisa dipandang transitif atau tidak (bisa berarti terhapus angin atau angin menghapusnya). Contoh lainnya, darasahul-qaum: Kaum itu menghapus bekasnya (Lisanul-‘Arab 6 : 79)
دَرَسَ الْكِتَابَ يَدْرُسُه دَرْساً وَدِرَاسَةً وَدَارَسَهُ، مِنْ ذَلِكَ، كَأَنَّهُ عَانَدَهُ حَتَّى انْقَادَ لِحِفْظِهِ. دَرَسْتُ الْكِتَابَ أَدْرُسُه دَرْساً أَي ذَلَلْتُهُ بِكَثْرَةِ الْقِرَاءَةِ حَتَّى خَفَّ حِفْظُهُ عَلَيَّ
Darasa al-kitab yadrusuhu-darsan/dirasatan, juga dârasahu asalnya dari itu (terhapus), maknanya seolah-olah ia melawannya (kitab) sampai ia tunduk/mudah dihafal. Darastul-kitab adrusuhu-darsan: Aku menundukkannya dengan banyak membaca sampai ia ringan untuk aku hafal (Lisanul-‘Arab 6 : 79)
Hal yang sama dikemukakan oleh ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani. Beliau menjelaskan bahwa makna tadarus itu adalah “keterhapusan sesuatu sehingga yang tersisa bekasnya”. Ketika dikenakan pada al-Qur`an arti tadarus adalah menghafal. Karena menghafal harus dengan banyak membaca, maka banyak membaca itu pun disebut dars/tadarus.
دَرَسَ الدَّارُ مَعْنَاهُ بَقِيَ أَثَرُهَا وَبَقَاءُ الْأَثَرِ يَقْتَضِي انْمِحَاءَهُ فِي نَفْسِهِ فَلِذَلِكَ فُسِّرَ الدُّرُوْسُ بِالْاِنْمِحَاءِ
Darasad-dar maknanya tersisa bekasnya, dan tersisa bekasnya itu berarti dirinya mengalami ‘keterhapusan’. Maka dari itu ad-durus diterjemahkan terhapus (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, hlm. 169)
وَكَذَا دَرَسَ الْكِتَابُ وَدَرَسْتُ الْعِلْمَ تَنَاوَلْتُ أَثَرَهُ بِالْحِفْظِ. وَلَمَّا كَانَ تَنَاوُلُ ذَلِكَ بِمُدَاوَمَةِ الْقِرَاءَةِ عُبِّرَ عَنْ إِدَامَةِ الْقِرَاءَةِ بِالدَّرْسِ
Demikian halnya dengan darasa al-kitabu dan darastu al-ilma: Aku mengambil atsar (sisa/tulisan)-nya dengan menghafal. Dan karena mengambil hal itu (atsar dari kitab/ilmu) dilakukan dengan cara merutinkan membaca, maka diungkapkanlah pengertian ‘sering membaca’ itu dengan dars (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, hlm. 169).
Hal yang sama dikemukakan juga oleh Ibn Katsir dengan mengutip penjelasan mufassir ad-Dlahhak, ketika menafsirkan ayat al-Qur`an berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ ٧٩
Tidak mungkin bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kamu tetap men-dars-nya.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 79)
بما كنتم تعلمون الكتاب} حَقٌّ عَلَى مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ أَنْ يَكُوْنَ فَقِيْهًا {وبما كنتم تدرسون} تَحْفَظُوْنَ أَلْفَاظَهُ}
Ad-Dlahhak berkata tentang firman Allah {karena kamu selalu mengajarkan Kitab}: “Sebuah kemestian bagi yang belajar al-Qur`an untuk menjadi faqih/orang yang faham.” {disebabkan kamu tetap men-dars-nya} maksudnya “menghafalkan lafazh-lafazhnya” (Tafsir Ibn Katsir).
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa tadarus al-Qur`an pada hakikatnya bukan hanya membaca mushhaf al-Qur`an, meski kegiatan tersebut masuk kategori tadarus. Sebab pada faktanya Nabi saw yang ummi (buta huruf—rujuk QS. al-‘Ankabut [29] : 48), demikian juga para shahabat umumnya yang ummi (QS. al-Jumu’ah [62] : 2), tidak mungkin hanya sekedar membaca mushhafnya, sebab Nabi saw dan para shahabat umumnya tidak bisa ‘membaca tulisan’. Nabi saw dan para shahabat yang ummi kalaupun membaca al-Qur`an, membacanya lewat hafalan (‘an zhahri qalbin). Hafalan Nabi saw berasal dari bacaan yang didiktekan Jibril dan dijamin sepenuhnya akurat oleh Allah swt (QS. al-Qiyamah [75] : 16-19). Sementara hafalan shahabat berasal dari bacaan yang didiktekan oleh Nabi saw (Shahih al-Bukhari kitab bad`il-wahyi no. 5). Dengan demikian, dilihat dari makna kebahasaannya, tadarus al-Qur`an harus melampaui “membaca mushhaf”. Tadarus al-Qur`an harus sampai “menghafal al-Qur`an”.
Tadarus ‘Am
Tuntunan tadarus dalam sunnah ditemukan dua model, yakni tadarus ‘am (tadarus secara umum) dan tadarus Ramadlan (tadarus khusus di bulan Ramadlan). Yang dimaksud tadarus ‘am adalah yang dijelaskan oleh hadits Abu Hurairah berikut:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ اِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهِ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Dan tidaklah suatu kaum berkumpul dalam rumah-rumah Allah (masjid) untuk membaca dan bertadarus al-Qur’an, kecuali ketenangan pasti akan turun kepada mereka, rahmat Allah melingkupi mereka, malaikat-malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang ada di dekat-Nya/para malaikat (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an no. 7028; Sunan Abi Dawud kitab al-witr bab fi tsawab qira`atil-Qur`an no. 1457; Sunan at-Tirmidzi abwab al-qira`at no. 2945).
Dalam hadits di atas Nabi saw jelas menyebutkan tadarus sebagai amal lain di samping membaca al-Qur`an. Artinya bahwa tadarus tidak sebatas membaca al-Qur`an yang ditunjuk oleh kata yatluna/tilawah. Imam al-‘Azhim Abadi menjelaskan:
(يَتْلُونَ كِتَابَ الله وَيَتَدَارَسُونَهُ): أَيْ يَشْتَرِكُونَ فِي قِرَاءَة بَعْضهمْ عَلَى بَعْض وَيَتَعَهَّدُونَهُ خَوْفَ النِّسْيَان
(Membaca dan bertadarus al-Qur`an): Yaitu bersama-sama membaca, sebagiannya membaca di hadapan sebagian lainnya, dan menghafalkannya agar tidak lupa (‘Aunul-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud bab fi tsawab qira`atil-Qur`an).
Sementara Imam al-Mubarakfuri menjelaskan:
(وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ) التَّدَارُسُ قِرَاءَةُ بَعْضِهِمْ عَلَى بَعْضٍ تَصْحِيحًا لِأَلْفَاظِهِ أَوْ كَشْفًا لِمَعَانِيهِ قَالَهُ اِبْنُ الْمَلَكِ. وَقَالَ الْجَزَرِيُّ فِي النِّهَايَةِ: تَدَارَسُوا الْقُرْآنَ أَيْ اِقْرَءُوهُ وَتَعَهَّدُوهُ لِئَلَّا تَنْسَوْهُ يُقَالُ دَرَسَ يَدْرُسُ دِرَاسَةً وَأَصْلُ الدِّرَاسَةِ الرِّيَاضَةُ وَالتَّعَهُّدُ لِلشَّيْءِ اِنْتَهَى. وَقَالَ الْقَارِي فِي الْمِرْقَاةِ: وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالتَّدَارُسِ الْمُدَارَسَةَ الْمَعْرُوفَةَ بِأَنْ يَقْرَأَ بَعْضُهُمْ عَشْرًا مَثَلًا وَبَعْضُهُمْ عَشْرًا آخَرَ وَهَكَذَا فَيَكُونَ أَخَصَّ مِنْ التِّلَاوَةِ أَوْ مُقَابِلًا لَهَا. وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ شَامِلٌ لِجَمِيعِ مَا يُنَاطُ بِالْقُرْآنِ مِنْ التَّعْلِيمِ وَالتَّعَلُّمِ اِنْتَهَى
(Mereka bertadarus al-Qur`an di antara mereka) Tadarus adalah sebagian orang membaca di hadapan sebagian lainnya sambil membenarkan lafazh-lafazhnya atau menyingkap makna-maknanya. Demikian dikemukakan oleh Ibnul-Malak. Al-Jazari berkata dalam an-Nihayah: “Bertadaruslah al-Qur`an” maknanya bacalah dan hafalkanlah agar tidak lupa. Ada yang menjelaskan asal katanya darasa-yadrusu-dirasah, dan makna asal dirasah itu adalah latihan dan merutinkan sesuatu. Sementara al-Qari menjelaskan dalam al-Mirqah, mungkin yang dimaksud tadarus itu adalah mudarasah yang sudah dikenal, dimana seseorang membaca 10 ayat misalnya, lalu yang lainnya 10 ayat lainnya, dan demikian seterusnya. Jadi maknanya lebih khusus atau berbeda dengan tilawah/membaca biasa. Tetapi yang paling jelas makna tadarus mencakup semua yang berkaitan dengan al-Qur`an, baik mengajarkannya atau mempelajarinya. Demikianlah (Tuhfatul-Ahwadzi syarah Sunan at-Tirmidzi).
Adapun Imam an-Nawawi tidak banyak menguraikan makna tadarus, tetapi beliau cukup menyimpulkan:
وَفِي هَذَا دَلِيل لِفَضْلِ الِاجْتِمَاع عَلَى تِلَاوَة الْقُرْآن فِي الْمَسْجِد، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجُمْهُور
Ini menjadi dalil yang jelas atas keutamaan berjama’ah dalam membaca al-Qur`an di masjid. Ini adalah madzhab kami (Syafi’i) dan madzhab jumhur/mayoritas (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an).
Dari uraian di atas bisa diketahui bahwa tadarus yang dimaksud dalam hadits di atas adalah tadarus secara umum karena tidak dibatasi waktunya seperti halnya tadarus Ramadlan. Maknanya adalah kegiatan belajar mengajar al-Qur`an secara bersama-sama, mulai dari membaca, menghafal, sampai menjelaskan makna-maknanya. Jika dikaitkan dengan makna asal kata tadarus sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, terlihat jelas bahwa pengertian ‘membaca’ dan ‘menghafal’ al-Qur`an selalu melekat pada kata tadarus ini. Di samping itu ada penegasan ‘bersama-sama’-nya.
Tadarus Ramadlan
Model kedua dari tadarus adalah tadarus Ramadlan yang secara khusus dilaksanakan di sepanjang bulan Ramadlan. Hadits yang menjelaskannya adalah hadits Ibn ‘Abbas sebagai berikut:
وَكَانَ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Jibril menemui Nabi pada setiap malam bulan Ramadlan untuk tadarus al-Qur`an dengannya (Shahih al-Bukhari kitab bad’il-wahyi bab kaifa kana bad’u al-wahyi ila Rasulillah no. 6).
إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ سَنَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْقُرْآنَ
Sesungguhnya Jibril menemuinya pada setiap tahun di bulan Ramadlan sampai berlalu (bulan Ramadlan itu). Rasulullah saw menyetorkan (bacaan) al-Qur`an kepadanya (Shahih Muslim kitab al-fadla`il bab kana an-nabiy ajwada an-nas bi al-khair min ar-rih al-mursalah no. 6149).
Tadarus Ramadlan ini lebih khusus daripada tadarus ‘am sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karena memang dilaksanakan setiap malam di sepanjang bulan Ramadlan sampai akhir bulan. Modelnya, dijelaskan oleh hadits kedua riwayat Muslim yang menjelaskan maksud hadits pertama riwayat al-Bukhari, yakni bahwa tadarus/mudarasah itu adalah setoran bacaan al-Qur`an kepada Jibril, atau sebagaimana tersirat dalam riwayat al-Bukhari di atas, Jibril yang membacakan al-Qur`an kepada Nabi saw dan beliau menyimaknya. Mengingat Nabi saw tidak bisa membaca teks/tulisan, dan mengingat al-Qur`an memang dituntut untuk dihafal, maka tentu setoran bacaan al-Qur`an yang dimaksud adalah setoran hafalan al-Qur`an juga. Pemahaman ini persis sama dengan makna asal dari tadarus/mudarasah itu sendiri sebagaimana telah dijelaskan di atas.
al-Hafizh Ibn Hajar pensyarah Shahih al-Bukhari pun tidak jauh beda memaknai tadarus/mudarasah al-Qur`an sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Dalam syarahnya atas hadits-hadits tadarus/mudarasah, al-Hafizh menjelaskan:
…
وَاسْتِحْبَاب الْإِكْثَار مِنْ الْقِرَاءَة فِي رَمَضَان وَكَوْنهَا أَفْضَل مِنْ سَائِر الْأَذْكَار، إِذْ لَوْ كَانَ الذِّكْر أَفْضَل أَوْ مُسَاوِيًا لَفَعَلاَهُ. فَإِنْ قِيلَ: الْمَقْصُود تَجْوِيد الْحِفْظ، قُلْنَا الْحِفْظ كَانَ حَاصِلاً
(Pelajaran yang dikandung oleh hadits ini adalah)…dan dianjurkan memperbanyak membaca al-Qur`an pada bulan Ramadlan. Membaca al-Qur`an ini juga lebih utama dbandingkan semua dzikir yang ada. Sebab jika dzikir lebih utama atau sederajat dengan membaca al-Qur`an, pasti Nabi saw dan Jibril akan melakukannya. Jika ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud tadarus itu adalah memperbarui hafalan, menurut pendapat kami: Hafalan itu secara otomatis akan dihasilkan (dengan memperbanyak membaca). (Fathul-Bari bab kaifa kana bad’u al-wahyi ila Rasulillah).
Penjelasan Ibn Hajar ini menunjukkan bahwa tadarus Ramadlan tidak hanya khusus bagi Nabi saw dan Jibril as saja. Sebab pada intinya amaliah tadarus itu harus ada sepanjang tahun, apalagi di bulan Ramadlan yang selevel Nabi saw sendiri mencontohkan tadarus khusus Ramadlan. Jadi dengan adanya teladan Nabi saw dalam hal tadarus khusus di bulan Ramadlan, justru menuntut setiap muslim untuk melakukan tadarus khusus di bulan Ramadlan mengikuti teladan Nabi saw.
Jadi jelasnya tadarus/mudarasah al-Qur`an itu adalah setoran bacaan dan hafalan al-Qur`an. Bukan sebatas membaca al-Qur`an sendirian sampai tamat selama bulan Ramadlan; jika sudah tamat maka selesai juga tadarus-nya meski Ramadlan masih menyisakan beberapa hari lagi. Apalagi jika tadarus/mudarasah itu dipahami sebagai aktivitas kajian ilmu agama Islam di bulan Ramadlan atau ceramah tarawih. Ini jelas keliru, sebab yang Nabi saw lakukan dengan Jibril bukan berceramah masing-masing di antara mereka secara bergantian. Makna istilah tadarus/mudarasah itu juga tidak ada yang mengarah ke sana. Kajian ilmu atau ceramah tarawihnya memang tidak salah; yang salah jika aktivitas tersebut dianggap cukup sebagai amaliah tadarus mengikuti sunnah Nabi saw.
Apa yang dilakukan oleh Nabi saw dengan Jibril berdua juga menandakan pentingnya setoran bacaan/hafalan al-Qur`an ini, sebab memang bacaan/hafalan al-Qur`an harus ada yang mampu memperhatikan baik dan benarnya. Untuk sekelas Nabi saw maka yang pantas memperhatikannya itu adalah Jibril as. Maka idealnya setiap orang setoran kepada seorang pembimbing yang sudah teruji bacaannya, sebagaimana halnya Nabi saw kepada Jibril as. Yang lebih baik lagi jika pembimbing tersebut—untuk masa sekarang ini—memiliki sanad bacaan al-Qur`an dari para imam. Akan tetapi ini tampaknya masih sangat sulit dilakukan mengingat keterbatasan orang yang memiliki sanad tersebut. Idealnya juga setiap orang diperhatikan bacaannya sebanyak 30 juz oleh seorang pembimbing. Ini juga tampaknya masih sulit mengingat jumlah ustadz yang sudah mahir membaca al-Qur`an masih sangat minim dibanding dengan banyaknya jama’ah yang harus diperhatikan setoran bacaannya. Maka minimalnya masjid, majelis ta’lim, pesantren, dan ma’had menyelenggarakan program tadarus ini dengan pola kelompok-kelompok terbatas. Sementara tugas setiap muslim adalah memastikan dirinya mengikuti kelompok-kelompok tadarus/mudarasah al-Qur`an tersebut selama bulan Ramadlan sampai selesai 30 juz.
Idealnya juga tadarus/mudarasah al-Qur`an ini bukan hanya setoran bacaan, tetapi juga hafalan, sebagaimana ditunjukkan oleh para ulama yang telah menyingkap makna tadarus di atas. Akan tetapi yang ini pun tampaknya masih sulit mengingat budaya menghafal al-Qur`an di masyarakat muslim sampai saat ini—meski sudah mulai ada semangat yang lebih baik—masih sangat minim. Maka dari itu tadarus/mudarasah al-Qur`an dalam bentuk setoran bacaan al-Qur`an 30 juz menjadi satu-satunya alternatif minimal dalam mengamalkan tadarus Ramadlan ini.
Wal-‘Llahu a’lam.