Fiqih Media Sosial
Banyak kalangan mendesak agar ulama ikut merespon keresahan masyarakat tentang banyaknya sampah hoax (berita palsu/lelucon) di dunia media sosial. Kemenag RI sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Lukman Hakim Saifudin awal Januari silam, mengaku sedang serius mengkaji fiqih bermedia sosial agar dijadikan panduan oleh umat dalam bermedia sosial. Tulisan berikut ini akan mencoba mengulasnya berdasarkan metode ijtihad sebagaimana berlaku dalam fiqih.
Mengingat media sosial merupakan media informasi, komunikasi, sekaligus hiburan, maka dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah yang dirujuk pun difokuskan pada dalil-dalil yang mengulas seputar informasi, komunikasi, dan hiburan.
Fiqih seputar Informasi
Dalam konteks informasi, Islam mengharamkan seseorang terlalu latah menyebarkan informasi tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu. Tabayyun artinya meneliti bayyinah. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam ar-Raghib al-Ashfahani, bayyinah adalah ad-dilalatul-wadlihah ‘aqliyyatan kanat au mahsusatan; bukti/keterangan yang jelas, baik logis (dicerna akal) atau empiris (terindera). Artinya, setiap muslim harus meneliti ulang sampai melihatnya langsung, mendengarnya, menghadirinya, merasakannya, atau menciumnya langsung, atau ada data-data rujukan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika ini tidak dilakukan, artinya haram setiap muslim meyakini kebenaran berita yang diterima, apalagi jika sampai menyebarkannya.
Orang yang latah menyebarkan informasi disebut fasiq dan munafiq oleh al-Qur`an. Artinya jika ada seorang muslim yang berbuat seperti itu maka ia sudah berbuat fasiq dan nifaq, meski tentu secara status belum menjadi orang fasiq/munafiq 100%, tergantung dari kadar perbuatannya tersebut. Allah swt mengingatkan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. al-Hujurat [49] : 6).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan, berdasarkan riwayat Ahmad, ayat ini turun terkait kekeliruan shahabat al-Walid ibn ‘Uqbah dalam kasus zakat Banil-Mushthaliq. Pada saat pimpinan mereka, al-Harits ibn Dlirar (kelak menjadi mertua Rasulullah saw dari istrinya, Juwairiyyah ummul-mu`minin ra) masuk Islam, ia meminta kepada Rasul saw untuk mengirimkan petugas guna mengambil zakat dari Banil-Mushthaliq. Sekembalinya al-Harits ke Banil-Mushthaliq, petugas Rasulullah saw yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Maka al-Harits pun berinisiatif untuk mengumpulkan sendiri dan menyetorkannya langsung ke Madinah, karena berasumsi mungkin petugas Rasulullah saw mengalami gangguan teknis di jalan. Maka berangkatlah al-Harits beserta rombongan ke Madinah untuk menyetorkan zakat. Al-Walid ibn ‘Uqbah yang diutus Rasul saw mengambil zakat bertemu dengan al-Harits di perjalanan. Melihat rombongan al-Harits yang banyak, ia bergegas kembali ke Madinah dan melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa al-Harits membawa pasukan untuk menyerang dan mereka menolak membayar zakat. Rasulullah saw pun segera menyiapkan pasukan untuk menyambut mereka. Ketika dua rombongan bertemu, al-Harits langsung memperkenalkan dirinya dan niatan yang sebenarnya. Sehingga nyatalah kekeliruan al-Walid ibn ‘Uqbah. Pada saat itulah turun ayat 6 surat al-Hujurat di atas.
Berdasarkan asbabun-nuzul di atas berarti yang dituju sebagai fasiq adalah seorang shahabat yang keliru. Tentu maksudnya bukan berarti shahabat orang fasiq. Hanya terkait kekeliruannya tersebut, ia sudah berbuat fasiq. Jadi artinya al-Qur`an menilai fasiq kepada siapa saja yang terlalu cepat menyimpulkan dan berasumsi tanpa tabayyun terlebih dahulu, apalagi jika sampai menyebarkannya. Menghadapi orang-orang yang berkarakter seperti itu, maka setiap muslim wajib melakukan tabayyun, agar kemudian tidak terjerumus pada perbuatan memfitnah orang lain tanpa dasar (bi jahalah) sehingga berujung pada penyesalan.
Sementara gelar munafiq, Allah swt berikan pada surat an-Nisa` ketika membahas karakter orang-orang munafiq:
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
Dan apabila datang kepada mereka (orang munafiq) suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS. an-Nisa` [4] : 83).
Imam Muslim meriwayatkan satu hadits yang panjang dari ‘Umar ibn al-Khaththab terkait asbabun-nuzul ayat di atas. Intinya bermula dari hoax (berita palsu) yang disebarkan oleh orang-orang munafiq di Madinah bahwa Nabi saw sudah menthalaq istri-istrinya. Padahal Nabi saw hanya menjauhi istri-istrinya selama satu bulan. ‘Umar sendiri dapat informasi tersebut dari para shahabat yang ramai memperbincangkannya di masjid Nabawi. Maka ‘Umar langsung menemui ‘Aisyah dan Hafshah. Setelah tidak mendapatkan jawaban yang jelas, ‘Umar langsung menemui Nabi saw di tempat pengasingannya dan bertanya: “Apakah benar bahwa anda sudah menthalaq istri-istri anda?” Nabi saw menjawab: “Tidak.” ‘Umar berkata: “Tadi saya masuk masjid dan para shahabat ramai memperbincangkan bahwa anda telah menthalaq istri-istri anda. Bolehkah saya beritahukan kepada mereka bahwa anda tidak menthalaq istri-istri anda?” Jawab Nabi saw: “Terserah kamu.” Lalu ‘Umar mendatangi pintu masjid dan berteriak dengan suara yang sangat lantang: “Rasulullah saw tidak menthalaq istri-istrinya!” Terkait ini turunlah ayat di atas (Shahih Muslim kitab at-thalaq bab fil-ila no. 3764).
Memang layak dikategorikan sifat munafiq sebab sifat utama orang munafiq itu pendusta. Dan orang yang latah menyebarkan informasi, kata Nabi saw, sudah pasti terjerumus dalam dusta:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Seseorang cukup dinilai berdusta ketika ia menyampaikan semua yang ia dengar (Shahih Muslim bab an-nahyi ‘anil-hadits bi kulli ma sami’a no. 7).
Dalam hadits al-Mughirah ibn Syu’bah, Nabi saw menyebutnya qila wa qala (baru dikatakan/katanya, sudah berani mengatakannya):
وَكَانَ ﷺ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ وَمَنْعٍ وَهَاتِ وَعُقُوقِ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدِ الْبَنَاتِ
“Nabi saw melarang qila wa qala, banyak bertanya, menghambur-hamburkan harta, pelit tapi rajin meminta, durhaka kepada ibu, dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab ma yukrahu min qila wa qala no. 6473).
Secara khusus, terkait informasi yang merusak nama baik seorang muslim, maka harus disikapi dengan husnuzhan dan meminta empat orang saksi. Dalam kasus fitnah yang menimpa ‘Aisyah, Allah swt mengingatkan:
لَّوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ ظَنَّ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمۡ خَيۡرٗا وَقَالُواْ هَٰذَآ إِفۡكٞ مُّبِينٞ ١٢ لَّوۡلَا جَآءُو عَلَيۡهِ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَۚ فَإِذۡ لَمۡ يَأۡتُواْ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُوْلَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ ١٣
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta (QS. an-Nur [24] : 12-13).
Apa yang sudah ditradisikan oleh para ulama dalam ilmu riwayah merupakan khazanah yang ternilai harganya. Dari sejak awal para ulama menerapkan isnad; meminta dan meneliti sandaran/sumber) dalam menyeleksi berita. Isnad ditujukan pada kredibilitas dan kecermatan sang penyampai informasi, sekaligus akurasi informasi yang disampaikannya dengan cara mengecek ulang, membandingkan, dan melakukan kritik matan/content. ‘Abdullah ibnul-Mubarak, ulama besar Khurasan generasi tabi’ tabi’in dalam hal ini menyatakan:
بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ. يَعْنِى الإِسْنَادَ
Yang membedakan kita dan kaum yang lain adalah tonggak-tonggak ini—yakni isnad (penelitian sumber berita) (Shahih Muslim bab fi annal-isnad minad-din no. 33).
Jika rambu-rambu di atas tidak dihiraukan, setiap muslim harus menyadari bahwa informasi yang diterima dan disebarkannya pada hakikatnya adalah informasi palsu. Ia secara tidak langsung juga sudah termasuk seorang pendusta. Nabi saw sudah mengingatkan:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Siapa yang mengampaikan hadits dariku yang diduga kuat bahwa itu dusta, maka ia termasuk salah seorang pendusta (Shahih Muslim no. 1)
Fiqih seputar Komunikasi
Komunikasi sebagaimana dijelaskan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia mencakup aktivitas pengiriman dan penerimaan pesan atau berita; hubungan; atau kontak antara dua atau beberapa orang. Al-Qur`an telah memberi tuntunan agar komunikasi disampaikan dengan ma’ruf (baik dan datar tanpa melibatkan emosi berlebihan—QS. 2 : 235, 4 : 5, 8, 33 : 32), sadid (tepat—QS. 4 : 9, 33 : 70), layyin (lemah lembut—QS. 20 : 44), baligh (mengena di hati dan tercerna oleh akal—QS. 4 : 63), karim (penuh hormat—17 : 23), dan maisuran (meringankan/menenangkan—QS. 17 : 28).
Dalam melakukan komunikasi, al-Qur`an juga melarang umat Islam untuk terjebak pada enam pantangan yang terdapat dalam surat al-Hujurat [49] : 11-12, yaitu: (1) merendahkan orang lain, (2) menghina, (3) memanggil dengan panggilan yang jelek, (4) banyak berprasangka buruk, (5) tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain, dan (6) ghibah; membicarakan kejelekan orang lain.
Larangan merendahkan orang lain atau sikhr, menurut Imam al-Ghazali adalah menghinakan, merendahkan, dan mengungkit-ungkit aib dan kekurangan sambil menertawakan (Ihya` ‘Ulumid-Din kitab afatil-lisan). Praktik ini sering dirasa tidak berdosa sebab dianggap hanya sebagai candaan semata, tidak serius. Tetapi justru hukumnya tetap haram dan berdosa. ‘Aisyah radliyal-‘Llahu ‘anha pernah mengalaminya sendiri. Maksud hati hanya bercanda semata, tetapi Rasulullah saw malah menegurnya dan mengingatkannya:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: حَكَيْتُ لِلنَّبِيِّ ﷺ رَجُلًا فَقَالَ: مَا يَسُرُّنِي أَنِّي حَكَيْتُ رَجُلًا وَأَنَّ لِي كَذَا وَكَذَا، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ صَفِيَّةَ امْرَأَةٌ، وَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا كَأَنَّهَا تَعْنِي قَصِيرَةً، فَقَالَ: لَقَدْ مَزَجْتِ بِكَلِمَةٍ لَوْ مَزَجْتِ بِهَا مَاءَ البَحْرِ لَمُزِجَ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku pernah menceritakan seseorang kepada Nabi saw dengan bercanda, tetapi beliau bersabda: “Saya tidak senang menceritakan seseorang dengan canda, meskipun aku mempunyai (kelebihan/keunggulan) ini dan itu.” Kata ‘Aisyah: Aku juga pernah berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh Shafiyyah itu perempuan yang berkata dengan isyarat tangannya seperti ini sama dengan orang pendek.” Sabda Nabi saw: “Sungguh kamu telah mengeluarkan perkataan yang seandainya dicampurkan dengan air laut pasti akan larut.” (Sunan at-Tirmidzi abwab shifatil-qiyamah war-raqa`iq wal-wara’ no. 2502-2503; Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fil-ghibah no. 4877. Al-Albani: Hadits shahih).
Di saat ada orang yang kentut tanpa sengaja di tengah-tengah shahabat lalu para shahabat menertawakannya, Rasul saw sampai menegurnya dalam sebuah ceramah resmi. Sebuah pertanda yang jelas bahwa itu haram. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdullah ibn Zam’ah:
ثُمَّ وَعَظَهُمْ فِي ضَحِكِهِمْ مِنْ الضَّرْطَةِ وَقَالَ لِمَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ
Beliau berceramah menyinggung orang-orang yang tertawa ketika ada yang kentut. Sabda beliau: “Mengapa kalian menertawakan apa yang kalian juga melakukannya.” (Shahih al-Bukhari kitab tafsir al-Qur`an bab surat was-syamsi wa dluhaha no. 4942; Shahih Muslim kitab shifatil-qiyamah wa na’imiha bab an-nar yadkhuluhal-jabbarun no. 7370).
Maka dari itu, Imam an-Nawawi menyatakan: “Hadits ini melarang menertawakan orang lain yang kentut. Semestinya setiap orang mengabaikannya dan terus melakukan apa yang sedang ia lakukan. Perlihatkan bahwa ia seolah-olah tidak mendengarnya.” (Syarah Shahih Muslim bab an-nar yadkhuluhal-jabbarun)
Lebih dilarang lagi jika itu adalah menghina langsung atau memanggil dengan panggilan jelek yang dilarang dalam potongan akhir ayat 11 surat al-Hujurat di atas. Shahabat Abu Dzar pernah mengakui kekhilafannya. Ia pernah memanggil seorang shahabat berkulit hitam dengan: “Ya ibnas-sauda`; hai anak yang berkulit hitam!” (Fathul-Bari). Nabi saw langsung menegurnya:
يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Wahai Abu Dzar apakah kamu menghinanya dengan ibunya? Sungguh kamu adalah orang yang ada dalam dirimu sifat Jahiliyyah.” (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab al-ma’ashi min amril-jahiliyyah no. 30)
Larangan berikutnya adalah terjebak dalam zhann, tepatnya su`u zhann; berprasangka jelek. Harus dijadikan pedoman setiap muslim bahwa su`u zhann itu dosa meski faktanya kemudian benar. Sementara husnu zhann itu baik, meski kemudian faktanya tidak benar. Orang yang berprasangka jelek bisa dipastikan melanjutkannya dengan berusaha sekuat tenaga mencari-cari kesalahan sasarannya. Kalaupun ada kebaikannya, akan selalu ditutup-tutupi. Hanya kejelekannya saja yang diungkit-ungkit. Ini jelas sangat rawan memecah persaudaraan seislam. Maka dari itu Nabi saw menegaskan ulang:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sungguh prasangka itu sedusta-dustanya omongan. Janganlah kalian mencari-cari berita negatif tentang seseorang, memata-matai kesalahan orang lain, saling menipu dalam harga barang jualan, saling dengki, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab ya ayyuhal-ladzina amanu-jtanibu katsiran minaz-zhann no. 6066. Zhann disebut akdzabul-hadits karena kalau dusta, si pendustanya sendiri yakin bahwa itu dusta. Sementara su`u zhann, pelakunya yakin bahwa zhann-nya benar dan dicari-cari pembenarannya, meski sebenarnya dusta).
Larangan terakhir; ghibah, benar-benar tidak memberikan peluang sedikit pun bagi setiap muslim untuk berakhlaq jelek. Sebab baik itu benar atau keliru, kejelekan siapapun yang dibicarakan, sama-sama berdosanya. Jika orang yang dibicarakan itu benar jeleknya, berarti itu ghibah dan haram. Kalaupun orang yang dibicarakan itu sebenarnya tidak jelek, berarti itu dusta dan tetap haram (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah bab tahrimil-ghibah no. 6758).
Al-Qur`an juga mengingatkan bahwa tidak mustahil di balik perkataan yang lembut dan memikat, seseorang terjebak pada sifat senang memusuhi orang lain. Jika itu di media sosial, berarti setiap orang harus mewaspadai setiap komunikasi yang secara zhahir terlihat lembut dan memikat, tetapi ternyata sedang menebarkan permusuhan kepada sesama muslim.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعۡجِبُكَ قَوۡلُهُۥ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَيُشۡهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلۡبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ ٢٠٤
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras (QS. al-Baqarah [2] : 204).
Terkait ayat di atas, Nabi saw sendiri lantas menegaskan:
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras dalam permusuhan (Shahih al-Bukhari kitab al-ahkam bab al-aladd al-khashim no. 7188).
Menurut Imam al-Bukhari, al-aladd al-khashim: wa huwa ad-da`im fil-khushumah; orang yang melanggengkan permusuhan. Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian menjelaskannya dalam makna as-syadid fil-khushumah; orang yang sangat senang dan berlebihan dalam permusuhan. Asal kata dari al-aladd itu sendiri adalah al-a’waj; bengkok, menyimpang. Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan: Orang ini adalah orang yang berdusta atau menyimpang dari haq dan tidak pernah istiqamah, selalu mengada-ada dan berbuat dosa. Persis sama dengan hadits tentang ciri orang munafiq: apabila berbicara dusta, berjanji ingkar, dan diamahi khianat.
Artinya bahwa al-aladdul-khisham adalah “orang yang gemar bermusuhan”. Sa’id al-Maqburi menjelaskan, orang ini lidahnya sangat manis tetapi hatinya sebenarnya pahit. Pakaiannya berbulu domba, tetapi hatinya serigala (Tafsir Ibn Katsir surat al-Baqarah [2] : 204). Sama dengan pepatah: Serigala berbulu domba. Berinteraksi bersama-sama dengan orang-orang muslim tetapi ternyata hatinya selalu memendam amarah permusuhan. Sewaktu-waktu ia keluarkan lewat kata-katanya yang manis dan perilakunya yang lembut. Tetapi sebenarnya, di balik perkataannya yang manis dan perilakunya yang santun itu ia menebar permusuhan tanpa pernah mau menempuh jalan menuju ishlah/damai.
Komunikasi seringkali juga melahirkan diskusi dan perdebatan. al-Qur`an sudah mengingatkan agar ketika berdebat atau membalas kritikan atau bahkan hinaan, tetap harus dengan allati hiya ahsan; cara yang terbaik. Sehingga orang yang tadinya memusuhi menjadi teman yang paling setia. Bukan malah sebaliknya; yang semula berteman, malah kemudian menjadi musuh karena suatu perdebatan (QS. 16 : 125, 17 : 53, 29 : 46, 41 : 34).
Imam al-Ghazali dalam hal ini menjelaskan, perdebatan jadi haram jika ditujukan untuk membantah pernyataan orang lain dengan menampakkan kekurangannya, baik dalam hal lafazhnya, maknanya, atau maksud pembicaranya. Perdebatan juga jadi haram jika dilakukan untuk mencemarkan, melemahkan, dan merendahkan orang lain dengan mengritik pernyataannya, juga menisbatkannya pada kekurangan dan kebodohan. Semestinya yang dilakukan oleh seseorang ketika berdebat adalah diam untuk tidak menyanggah; atau bertanya dalam posisi minta penjelasan, bukan membantah dan mengingkari; atau bersikap lembut dalam menjelaskan, bukan dengan mencaci (Ihya` ‘Ulumid-Din kitab afatil-lisan).
Fiqih seputar Hiburan
Sarana informasi dan komunikasi berpotensi besar menjadi sarana hiburan sudah diingatkan oleh al-Qur`an melalui ayat:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٦ وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِ ءَايَٰتُنَا وَلَّىٰ مُسۡتَكۡبِرٗا كَأَن لَّمۡ يَسۡمَعۡهَا كَأَنَّ فِيٓ أُذُنَيۡهِ وَقۡرٗاۖ فَبَشِّرۡهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٧
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang menghibur untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. (QS. Luqman [31] : 6-7).
Lahwul-hadits artinya adalah hadits yang mengandung lahwun. Hadits artinya perkataan, pesan, termasuk nyanyian (Tafsir Ibn Katsir). Sementara lahwun adalah hiburan yang melupakan seseorang dari hal-hal yang penting (ma yasyghulul-insan ‘amma ya’nihi—al-Mufradat ar-Raghib al-Ashfahani). Dalam konteks hari ini, berarti semua pembicaraan atau nyanyian yang menghibur. Dalam media sosial wujudnya bisa chatting, browsing, broadcast, update status, dan semacamnya. Termasuk juga menyimak video, musik, film, talkshow, infotainment, dan semacamnya.
Ayat di atas mengingatkan bahwa sebagian orang sengaja menciptakan itu semua untuk memalingkan kaum muslimin dari jalan Allah sampai berani menjadikan agama sebagai candaan dan olok-olokan. Dampaknya, terlihat dari ayat sesudahnya, orang yang memprioritaskan lahwul-hadits/hiburan secara otomatis akan jauh dari mendengar ayat-ayat Allah swt. Kalaupun diperdengarkan kepadanya lantunan dan kajian ayat-ayat Allah swt, ia serasa tidak mendengarnya karena tidak mampu menghayatinya dan menikmatinya. Telinganya hanya akan merasa terhibur jika didendangkan musik dan lagu-lagu yang omong kosong. Matanya akan melotot hanya jika menonton hal-hal yang sebenarnya palsu dan bohong, atau menyimak info-info yang tidak berbobot.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya` ‘Ulumid-Din menyebutkan bahwa salah satu bentuk afatul-lisan (bencana lisan) adalah al-kalam fi ma la ya’nik; berbicara/berkomunikasi dalam hal-hal yang tidak penting. Sang Hujjatul-Islam menjelaskan:
“Anda jangan sampai berbicara dalam hal yang tidak penting, sebab itu hanya akan menghabiskan waktu, padahal amal lisan akan dihisab. Anda jadinya mengganti yang baik dengan yang jelek. Seandainya saja anda mencurahkan waktu berbicara itu untuk berpikir, seringkali terbuka untuk anda celah-celah rahmat Allah ketika anda memikirkan keagungan anugerah-Nya. Seandainya juga anda isi dengan tahlil kepada Allah, dzikir, atau tasbih, tentu itu lebih baik bagi anda. Sungguh banyak tidak terhingga kalimat yang dengannya anda akan bisa membangun istana di surga.
Sungguh, siapa orangnya yang mampu mengambil harta karun tetapi ternyata ia hanya mengambil batu biasa yang tidak bermanfaat, maka ia telah rugi serugi-ruginya. Ini adalah perumpamaan orang yang meninggalkan dzikrul-‘Llah karena tersibukkan oleh hal-hal mubah yang tidak bermanfaat. Meskipun ia tidak berdosa, tetapi ia sudah rugi. Sebab ia melewatkan keuntungan yang besar dari dzikrul-‘Llah. Padahal seorang mu`min itu diamnya adalah berpikir, melihatnya adalah mengambil ‘ibrah, dan berbicaranya adalah dzikir.”
Apa yang diuraikan di atas menandakan bahwa meski tidak sampai haram, menghabiskan waktu hanya untuk chatting, browsing, broadcast, update status, dan semacamnya; termasuk juga menyimak video, musik, film, talkshow, infotainment, dan semacamnya yang jauh dari dzikrul-‘Llah hukumnya makruh. Akan sangat bermanfaat jika itu semua diisi dengan dzikir, kegiatan keilmuan, atau membaca dan mengulang-ulang hafalan al-Qur`an. Wal-‘Llahu a’lam.