Islam sudah moderat dari sejak lahirnya. Umat Islam Indonesia pun sudah sangat moderat dari sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Maka moderasi beragama yang digaungkan beberapa pihak termasuk Kementerian Agama RI sering dipertanyakan oleh umat tentang agenda terselubung di baliknya. Dari sejak 2021 sebagian agenda terselubung tersebut sudah difatwa sesat MUI. Yang terbaru akhir Mei 2024 kemarin tentang salah kaprah toleransi dalam salam lintas agama dan perayaan keagamaan luar Islam.
Fatwa MUI yang mengkritik salah kaprah moderasi beragama merupakan salah satu hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII pada 28-31 Mei 2024 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center, Kecamatan Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Dalam forum Ijtima Ulama tersebut dibahas tiga tema besar: Masalah-masalah kenegaraan (masail asasiyah wathaniyah), masalah fiqih dan hukum Islam tematik kontekstual (masail waqi’iyah mu’ashirah), dan masalah hukum dan perundang-undangan (masail qanuniyyah). Dalam tema masalah-masalah kenegaraan dibahas fiqih hubungan antar-negara dan fiqih antar-umat beragama.
Tema fiqih hubungan antar-negara menyoroti kedudukan negara bangsa (nation state) dan hubungan antar-negara bangsa tersebut yang saat ini berlaku di dunia. Menurut MUI:
Pada dasarnya, sejak masa-masa awal Islam, konsep negara-bangsa (nation-state) sudah diaplikasikan melalui Piagam Madinah yang disepakati oleh seluruh komponen bangsa di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW., Namun demikian belum ada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur secara rinci. Oleh karenanya, para ulama salaf tidak membahas konsep negara-bangsa. Konsep negara-bangsa (syu’ûb) telah diperkenalkan oleh al-Qur`an dalam surat al-Hujurat [49]: 13.
Maka segala peraturan yang mengikat di antara negara-negara bangsa tersebut, menurut MUI: “wajib dipatuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk semua negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebagai anggota PBB, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.”
Terkait kedaulatan di setiap negara khususnya Palestina, MUI menyerukan sebagai berikut:
- Setiap warga negara wajib mewujudkan kemerdekaan dan menentang segala bentuk penjajahan, serta wajib mendukung upaya bangsa lain mewujudkan kemerdekaan, seperti mendukung perjuangan bangsa Palestina mewujudkan kemerdekaan melawan penjajahan Israel.
- Mendukung negara atau pihak yang melakukan agresi, genosida dan/atau penjajahan atas suatu bangsa adalah pengingkaran dan pengkhianatan terhadap komitmen keislaman, komitmen kemerdekaan serta bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional.
- Negara wajib menghentikan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung, dengan negara agresor atau penjajah, serta memberikan sanksi kepada pihak yang secara nyata atau sembunyi-sembunyi mendukung, bersimpati, dan bekerja sama dengan penjajah.
Poin fatwa no. 5 menguatkan fatwa MUI sebelumnya tentang boikot produk-produk dari Israel dan pendukungnya. Di point fatwa ini lebih tegas lagi, Negara yang dalam UUD-nya tegas menolak segala bentuk penjajahan, menurut MUI, harus memberikan sanksi tegas kepada setiap pihak yang malah mendukung penjajah seperti Israel.
Terkait hubungan antar agama, MUI menegaskan prinsip ta’awun yang harus dibangun meski dengan kaum non-muslim. Akan tetapi dalam hal keyakinan keagamaan, Islam sudah tegas mengajarkan lakum dinukum wa liya din. MUI menyatakan: “Antarumat beragama tidak boleh mencampuri dan/atau mencampuradukkan ajaran agama lain.”
Maka terkait fiqih salam lintas agama, MUI memfatwakan:
- Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
- Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
- Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
- Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.
- Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan/atau salam nasional atau salam lainnya yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi.
Bulletin At-Taubah sendiri sudah pernah membahas panjang lebar dalil-dalil yang mengharamkan salam lintas agama ini pada Edisi: 7/Th. 8/15 November 2019 yang tulisan lengkapnya juga bisa diakses di website: https://attaubah-institute.com/salam-semua-agama-mengingkari-tauhid/.
Hal lainnya yang selalu jadi problem dalam toleransi antar-umat beragama adalah dalam hal merayakan perayaan keagamaan agama lain. Sering tidak bisa dibedakan mana yang masuk wilayah muamalah sehingga diperbolehkan bahkan dianjurkan, dan mana yang sudah masuk ranah aqidah sehingga statusnya jadi haram. Dalam hal ini MUI mengeluarkan fatwa:
- Setiap agama memiliki hari raya sebagai hari besar keagamaan yang biasanya disambut dengan perayaan oleh penganutnya.
- Setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka. Bentuk toleransi beragama adalah:
- Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.
- Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan, seperti: mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
- Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam angka nomor 3 dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama.
Tema-tema yang disorot oleh fatwa poin 3 di atas sudah sangat sering dibahas oleh Bulletin At-Taubah. Rujuk misalnya tulisan-tulisan di website www.attaubah-institute.com : Bedah Makna Hadits Tasyabbuh, Batasan Toleransi Antaragama dan Madzhab, Tidak Selamat Natal, Gonjang-ganjing Selamat Natal, Jangan Terkecoh Ikhtilaf Ulama, Imlek Perayaan Syirik, Imlek Hari Raya Agama Konghucu, Tradisi Kafir Halloween, dan Suroan Kontemporer.
Hasil Ijtima Ulama VIII 2024 yang mengkritik konsep moderasi beragama ini merupakan tambahan kritik dari kritik sebelumnya yang disampaikan dalam Ijtima Ulama VII 2021 atas larangan pengajaran jihad dan khilafah di Indonesia, termasuk Peraturan Menteri (Permen) tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Yang jadi sorotan kritik MUI adalah dalam hal frasa “persetujuan korban” yang menjadi definisi kekerasan seksual karena itu melabrak nilai-nilai agama dan Pancasila. Frasa tersebut bisa menjadi celah dilegalkannya zina di lingkungan Perguruan Tinggi karena tidak termasuk kekerasan seksual. Seyogianya yang diatur oleh Permen adalah penyimpangan seksual dan perbuatan asusila. Demikian kritik MUI atas praktik moderasi beragama yang salah kaprah dalam forum Ijtima Ulama VII 2021 (silahkan rujuk: https://attaubah-institute.com/mui-vs-menteri-agama/).
Umat Islam patut bersyukur masih memiliki MUI yang berani mengeluarkan fatwa tegas mengoreksi hal-hal yang menyimpang dalam kehidupan di negeri ini. Dan tentunya syukur itu ditindaklanjuti dengan kepatuhan dan sosialisasi gencar ke tengah-tengah masyarakat, khususnya kalangan pejabat sebagai pihak yang paling sering melanggar fiqih toleransi sebagaimana sudah dijelaskan dalam fatwa di atas.
Wal-‘Llahu a’lam.