al-Qur'an

Fadhilah Membaca al-Qur`an Meski Belum Paham

Kitab suci al-Qur`an harus dibaca, dipahami, dipelajari, diamalkan, dan diajarkan. Tetapi sebelum jauh melangkahi semuanya, amal membaca tentunya yang pertama. Amal membaca ini memang tidak boleh berhenti sampai membaca saja, harus ada usaha untuk melanjutkan pada amal-amal berikutnya. Tetapi juga jangan patah asa hanya karena masih berkutat belajar membaca, sebab membaca al-Qur`an itu, meski sebatas membacanya saja dan belum memahaminya, tetap memiliki fadhilah yang berlimpah.

Membaca al-Qur`an, meski baru sebatas membacanya saja, belum sampai memahaminya, bahkan meskipun hati mengingkarinya, tetap memiliki keutamaan sebagaimana disabdakan Nabi saw ketika menceritakan perumpamaan orang munafiq yang membaca al-Qur`an:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur`an seperti jeruk limau; baunya harum rasanya juga enak. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur`an seperti kurma; rasanya manis tetapi tidak wangi. Perumpamaan seorang munafiq yang membaca al-Qur`an seperti daun kemangi (surawung); baunya wangi tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan seorang munafiq yang tidak membaca al-Qur`an seperti paria (pare/peria); tidak wangi dan rasanya pahit (Shahih al-Bukhari bab dzikrit-tha’am no. 5007, Shahih Muslim bab fadhilah hafizhil-qur`an no. 1328).

Dalam riwayat lain yang ditulis di bab fadllil-qur`an ‘ala sa`iril-kalam (keutamaan al-Qur`an di atas semua pembicaraan) dalam kitab Shahih al-Bukhari disebutkan dengan istilah “fajir”; orang durhaka yang membaca al-Qur`an.

وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا

Dalam riwayat lain di bab man ra`a bi qira`atil-qur`an (orang yang riya dengan bacaan al-Qur`an) untuk kategori mukminnya dibedakan antara mukmin yang membaca al-Qur`an dan mengamalkannya dengan mukmin yang tidak membaca al-Qur`an tetapi mengamalkannya.

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَالْمُؤْمِنُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالتَّمْرَةِ

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, mengamalkan itu konsekuensi dari status mukmin seseorang sehingga tidak perlu dipahami adanya “mukmin yang membaca al-Qur`an tetapi tidak mengamalkannya” dan “mukmin yang tidak membaca al-Qur`an serta tidak pula mengamalkannya”. Dua kategori terakhir itu sudah tidak masuk kategori mukmin lagi melainkan munafiq atau fajir, sehingga sudah cukup dengan disebutkan kategori munafiq/fajir pada dua karakter berikutnya. Orang mukmin itu pasti mengamalkan al-Qur`an, hanya ada yang sudah maksimal dan ada yang masih minimal. Dengan mengimaninya pun seorang mukmin sudah masuk kategori mengamalkannya meski tentu belum maksimal.

Pembedaan “rasa” dan “bau wangi” untuk “iman” dan “membaca al-Qur`an” dalam perumpamaan hadits di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sangat tepat karena rasa lebih melekat dibanding bau wangi. Bau wangi ada kalanya habis tetapi rasa akan tetap ada melekat. Sama halnya dengan keimanan yang akan selalu melekat pada diri seseorang, meski kadang malas membaca al-Qur`an. Bahkan orang munafiq dan fajir sekalipun jika ia membaca al-Qur`an wanginya itu akan tetap ada. Demikian halnya orang yang baru sebatas mampu membacanya, meski belum sampai memahami dan seterusnya. Ia pada hakikatnya sudah mewangikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Wangi itu akan menyegarkan diri seseorang juga orang-orang di sekitarnya yang turut menikmatinya. Sama halnya dengan al-Qur`an yang akan selalu menyegarkan pembacanya juga orang-orang di sekitarnya yang menikmati bacaannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal (QS. al-Anfal [8] : 2).

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ  ١٢٤

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafiq) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (QS. at-Taubah [9] : 124).

Betapa seorang mukmin tidak merasa segar dengan bacaan al-Qur`an, dari setiap hurufnya akan memberatkan timbangan amal baiknya, yang jika diperbanyak terus akan menghapuskan amal-amal buruknya.

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ: الم حَرْفٌ وَلكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ.

Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (al-Qur’an) maka baginya satu kebaikan, dan setiap satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan: ALIF LAM MIM itu satu huruf, tetapi ‘ALIF’ satu huruf. ‘LAM’ satu huruf dan ‘MIM’ satu huruf (Sunan at-Tirmidzi kitab fadla`il al-Qur`an bab ma ja`a fiman qara`a harfan minal-qur`an no. 3158).

Bacaan al-Qur`an juga akan menjadikan pembacanya memperoleh syafa’at (pertolongan dari pihak lain) pada hari kiamat. Syafa’at yang puncak adalah masuk surga langsung tanpa disiksa. Sementara minimalnya dipercepat pindah dari neraka ke surga.

اِقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَاِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِاَصْحَابِهِ

Bacalah al-Qur`an, karena sesungguhnya al-Qur`an itu akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya (Shahih Muslim bab fadlli qiraatil-qur`an wa surat al-baqarah no. 1910).

Ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain yang menyebutkan bahwa hanya Nabi Muhammad saw saja yang berhak memberikan syafa’at dengan izin Allah swt, sebab Nabi saw sendiri menegaskan kepada orang-orang zhalim yang tidak akan diberinya syafa’at sebagaimana difirmankan Allah swt dalam al-Qur`an: “Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku ini telah menjadikan Al-Qur’an sesuatu yang dijauhi” (QS. al-Furqan [25] : 30). Jadi syafa’at Nabi saw itu tergantung sejauh mana interaksi dengan al-Qur`an, minimalnya dalam membacanya.

Dalam hadits lain, Nabi saw menjelaskan syafa’at al-Qur`an sebagai berikut:

إِنَّ الْقُرْآنَ يَلْقَى صَاحِبَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يَنْشَقُّ عَنْهُ قَبْرُهُ كَالرَّجُلِ الشَّاحِبِ فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِى فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ. فَيَقُولُ لَهُ هَلْ تَعْرِفُنِى فَيَقُولُ مَا أَعْرِفُكَ. فَيَقُولُ أَنَا صَاحِبُكَ الْقُرْآنُ الَّذِى أَظْمَأْتُكَ فِى الْهَوَاجِرِ وَأَسْهَرْتُ لَيْلَكَ وَإِنَّ كُلَّ تَاجِرٍ مِنْ وَرَاءِ تِجَارَتِهِ وَإِنَّكَ الْيَوْمَ مِنْ وَرَاءِ كُلِّ تِجَارَةٍ فَيُعْطَى الْمُلْكَ بِيَمِينِهِ وَالْخُلْدَ بِشِمَالِهِ وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الْوَقَارِ وَيُكْسَى وَالِدَاهُ حُلَّتَيْنِ لاَ يُقَوَّمُ لَهُمَا أَهْلُ الدُّنْيَا فَيَقُولاَنِ بِمَ كُسِينَا هَذِهِ فَيُقَالُ بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ

Sesungguhnya al-Qur`an akan menemui ahlinya pada hari kiamat ketika kubur telah terbelah seperti seseorang yang berwajah pucat pasi. Ia bertanya kepada ahli al-Qur`an itu: “Apakah kamu mengenaliku?” Ia menjawab: “Aku tidak mengenalimu.” Ia bertanya lagi: “Apakah kamu mengenaliku?” Ia menjawab: “Aku tidak mengenalimu.” Al-Qur`an berkata: “Aku adalah sahabatmu, al-Qur`an, yang dahulu selalu membuat kering tenggorokanmu di siang hari dan terjaga (begadang) di malam hari. Setiap pedagang tentulah mengharapkan keuntungan dari perdagangannya, dan kamu pada hari ini mendapatkan keuntungan semua jenis perdagangan.” Kemudian diberikan untuknya kerajaan di tangan kanannya dan keabadian di tangan kirinya. Lalu dipasangkan di atas kepalanya mahkota kehormatan. Kemudian dipakaikan pada kedua orang tuanya dua pakaian indah yang belum pernah dipakai penduduk bumi. Keduanya lalu bertanya: “Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dijawab: “Dengan usahamu mendekatkan anakmu pada al-Qur`an (atau: karena anakmu mengambil [menguasai] al-Qur`an.) (Musnad Ahmad bab hadits Buraidah al-Aslami no. 22950. Silsilah al-Ahadits as-Shahihah al-Albani, 6 : 792 no. 2829)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button