Beratnya Menjadi Al-Muqsith
Sebagai orang yang pasti mendapatkan anugerah cinta Allah swt sekaligus mampu merasakan cinta yang mendalam kepada Allah swt, lika-liku kehidupan seorang al-Muqsith sangat tidak mudah. Ia diibaratkan oleh Nabi saw seperti orang yang disembelih tanpa pisau. Meski demikian, kesulitan yang dirasakannya tersebut akan dibayar dengan balasan yang setimpal, bahkan lebih indah dari yang diperkirakannya.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, saking langkanya al-muqsith atau orang yang adil dalam segala hal, maka ketika Nabi saw menjelaskan tujuh orang yang istimewa di hari kiamat nanti, pemimpin yang adil ini ditempatkan dalam urutan yang pertama. Alasannya jelas, karena kelangkaan sekaligus kemaslahatan yang diakibatkan olehnya mencakup dunia akhirat; mencakup kewajiban kepada Allah swt dan manusia; mencakup urusan agama dan ekonomi, politik, sosial, budaya dan semacamnya.
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ…
Ada tujuh orang yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya. Pertama, imam yang adil… (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab fadlli man jalasa fil-masjid yantazhirus-shalat no. 660).
Imam adil yang dimaksud Nabi saw dalam sabdanya di atas, menurut al-Hafizh, yang paling utama tentu pemimpin negara atau pemerintahan. Di samping itu, termasuk juga pemimpin-pemimpin lainnya dalam setiap dimensi kehidupan manusia, sampai pada level keluarga. Sabda Nabi saw dalam hadits lain menjelaskannya:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Sesungguhnya orang-orang al-muqsith berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar cahaya sebelah kanan ar-Rahman ‘azza wa jalla. Dan kedua tangan-Nya itu kanan. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil dalam keluarga dan apa yang mereka urus/pimpin (Shahih Muslim kitab al-imarah bab al-imam al-‘adil no. 4825).
Dalam hadits di atas jelas sekali Rasulullah saw menyebut yang pertama orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum. Hukum/ahkam dalam konteks syari’at tertuju pada kehakiman dan pemerintahan. Maka dari itu, Imam al-Bukhari membahas dua tema tersebut di kitab Shahihnya dalam satu bab yang sama, al-ahkam. Artinya, yang paling utama dituntut untuk menjadi al-muqsith adalah pemerintah dan hakim di dunia kehakiman. Selanjutnya adalah para pemimpin di keluarga, dan kemudian setiap orang yang diamanahi untuk mengurus suatu urusan, apapun itu urusannya. Ini senafas dengan sabda Nabi saw dalam hadits lainnya:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ. وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ. أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ingatlah, kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. Seorang pemimpin umat adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. Seorang perempuan juga pemimpin bagi keluarga suaminya dan anaknya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya juga pemimpin bagi harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. Ingatlah, kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban terkait kepemimpinannya. (Shahih al-Bukhari kitab al-ahkam bab qaulil-‘Llah ta’ala athi’ul-‘Llah wa athi’ur-rasul wa ulil-amri minkum no. 7138)
Adil sebagaimana dijelaskan ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, berarti memberi sesuai dengan yang semestinya atau mengambil sesuai dengan yang seharusnya. Dengan kata lain ‘tepat, proporsional’. (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an, hlm. 236). Dalam ayat-ayat al-Qur`an yang sudah diuraikan sebelumnya, adil ini konteksnya terkait pengambilan keputusan secara benar, tidak berat sebelah karena terpengaruhi kebencian atau juga kecintaan kepada pihak-pihak tertentu yang akan menyebabkan hati seseorang tidak dalam posisi adil. Maka dari itu, Nabi saw juga mengingatkan dalam hadits:
لاَ يَحْكُمْ أَحَدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Janganlah seseorang menetapkan hukum di antara dua orang dalam keadaan marah (Shahih Muslim bab karahah qadla`il-qadli wa huwa gladlban no. 4587; Shahih al-Bukhari bab hal yaqdlil-qadli au yufti wa huwa ghadlban no. 7158)
Al-Muhallab sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh menjelaskan, karena orang yang marah akan menetapkan hukum dengan tidak tepat, terpengaruh oleh kemarahannya. Jadi apapun keputusannya, jika diambil ketika marah, itu tidak benar. Semestinya seseorang meredakan dahulu amarahnya dan menunda pengambilan keputusannya. Bahkan, menurut Imam as-Syafi’i, berlaku juga dalam hal ini semua faktor yang bisa menganggu ketidakadilan dalam pengambilan keputusan, seperti lelah, lapar, atau hati yang sedang bingung dengan banyak masalah, dan sebagainya. Setiap orang semestinya menunda pengambilan keputusan sampai emosinya stabil (Fathul-Bari).
Terkait kewajiban adil ini, Nabi saw juga mengingatkan:
إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ مَا يَقُولُ الْآخَرُ فَإِنَّكَ سَوْفَ تَرَى كَيْفَ تَقْضِي
Apabila ada dua orang yang meminta diputuskan hukum kepadamu, maka janganlah kamu memutuskan untuk seseorang sehingga kamu mendengar keterangan dari pihak yang satunya lagi, sehingga kamu tahu benar harus memutuskan seperti apa (Musnad Ahmad min musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 1218).
Pesan Nabi saw yang ini sangat urgen dan berlaku untuk semua jenis pengambilan keputusan, tidak hanya di dunia kehakiman saja tentunya. Dalam level keluarga misalnya, jangan memutuskan sesuatu sebelum mendengar dari dua sumber yang terkait. Demikian halnya dalam level dunia kerja, jama’ah masjid, ormas dan orpol Islam, atau kehidupan bertetangga. Seringkali kita lupa menghukumi seseorang tanpa menggali dahulu berita dari dua sumber yang berkonfrontasi.
Di antara yang paling penting dalam konteks adil ini adalah menetapkan hukum berdasarkan ilmu. Jangan berani-berani menetapkan sesuatu tanpa tahu masalah sebenarnya seperti apa atau tanpa tahu ketentuan syari’at dalam persoalan yang dihadapi seperti apa. Nabi saw mengingatkan:
الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ وَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِى النَّارِ فَأَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ
Hakim itu ada tiga. Yang satu masuk surga dan dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah orang yang tahu haq dan memutuskan dengannya. Sementara orang yang tahu haq tapi memutuskan tanpa haq dan orang yang memutuskan untuk persoalan manusia dengan dasar ketidaktahuan, maka ia masuk neraka (Sunan Abi Dawud bab fil-qadli yukhthi’u 3575).
Maka dari itu seseorang yang hendak mengambil keputusan harus berusaha ekstra keras mencari ilmunya dan menganalisanya dengan sekuat tenaga dan pikiran, yakni ijtihad. Jika tidak dengan ijtihad, maka apapun keputusannya, tetap akan menyebabkannya masuk neraka.
Susahnya ijtihad dalam adil ini, kelak ditambah lagi dengan susahnya mendapatkan cemoohan bahkan permusuhan dari pihak yang tidak menerima keputusan. Maka dari itu Nabi saw menggambarkan seorang hakim seperti disembelih tanpa pisau (Subulus-Salam kitab al-qadla no. 1411).
مَنْ وَلِىَ الْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
Siapa saja yang diamanahi menjadi hakim maka sungguh ia telah disembelih tanpa pisau (Sunan Abi Dawud bab fi thalabil-qadla no. 3573). Wal-‘iyadzu bil-‘Llah