Menguatkan Tawakkal

Kunci kekuatan tawakkal ada pada keyakinan yang kuat kepada Allah swt. Semakin yakin seseorang akan Kemahakuasaan Allah swt, maka akan semakin kuat juga tawakkalnya kepada Allah swt. Semakin kuat tawakkal seseorang kepada Allah swt, maka akan semakin tenteram pula hidupnya. Limpahan cinta Allah swt dalam wujud anugerah, barakah, dan pengabulan do’a akan semakin menenteramkan hidupnya dari hari ke harinya.


Pada suatu hari, ketika Ibn ‘Abbas—seorang shahabat yang masih berusia remaja di masa Nabi saw hidup; semoga Allah meridlainya dan kedua orangtuanya—dibonceng oleh Nabi saw, ia diberi nasihat oleh beliau sebagai berikut:

يَا غُلَامُ أَوْ يَا غُلَيِّمُ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِنَّ فَقُلْتُ بَلَى فَقَالَ اِحْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ اِحْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ تَعَرَّفْ إِلَيْهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ وَإِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ قَدْ جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ فَلَوْ أَنَّ الْخَلْقَ كُلَّهُمْ جَمِيعًا أَرَادُوا أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ عَلَيْكَ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ وَإِنْ أَرَادُوا أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ عَلَيْكَ لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ وَاعْلَمْ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Wahai anak muda. Perhatikan, aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang bermanfaat.” Kata Ibn ‘Abbas: “Baik.” Nabi saw bersabda: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Ingatlah Dia di waktu lapang niscaya Dia akan ingat kepadamu di waktu sempit. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Telah kering pena dengan apa yang telah terjadi. Seandainya seluruh makhluk hendak memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu yang Allah tidak menetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu. Dan seandainya mereka hendak mencelakakan dirimu dengan sesuatu yang Allah tidak menetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu. Dan ketahuilah bahwa di dalam kesabaran ketika menghadapi hal yang engkau benci terdapat banyak kebaikan, bahwa pertolongan itu datang setelah kesabaran, kelapangan itu datang setelah kesempitan, dan kemudahan itu datang setelah kesulitan.” (Musnad Ahmad bab hadits Ibn ‘Abbas no. 2804).
Imam Ibn Rajab al-Hanbali—seorang ulama besar madzhab Hanbali, murid dari Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah—dalam kitabnya, Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, menjelaskan bahwa kandungan inti dari nasihat Nabi saw di atas terletak pada pesan untuk bergantung pada taqdir dengan sepenuh hati (tawakkal). Yakni bahwa apapun yang menimpa diri, itu semua adalah kehendak Allah, baik yang dikategorikan manfaat ataupun madlarat. Bahwa apapun yang datang dari orang lain dan menimpa seseorang, itu hakikatnya bukan datang dari orang tersebut, melainkan dari Allah swt. Manfaat apapun yang diberikan orang lain kepada seseorang, pada hakikatnya datang dari Allah swt. Jika Allah swt tidak menghendaki, manfaat itu tidak akan jadi datang kepadanya. Demikian halnya madlarat yang menimpa seseorang, pada hakikatnya datang dari Allah swt, meski pada zhahirnya disebabkan seseorang. Jika Allah swt tidak menghendaki, tidak ada seorang pun yang bisa menimpakan madlarat kepada siapa pun.
Maka dari itu bergantung kepada Allah swt secara sepenuhnya (tawakkal) merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh, tidak ada yang lainnya. Bersedih hati dan mengeluh atas apa yang lepas dari genggaman, pertanda bahwa seseorang tidak tawakkal kepada Allah swt. Marah dan dendam atas apa yang tidak jadi dimiliki juga pertanda bahwa seseorang tidak yakin semuanya sudah ada dalam kehendak Allah swt. Padahal tegas sekali Nabi saw menyatakan: “Telah kering pena dengan apa yang telah terjadi. Maksudnya, sebagaimana dijelaskan Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul-Ahwadzi, telah dituliskan semua taqdir yang akan terjadi dalam kitab di al-Lauhul-Mahfuzh. Dalam riwayat lain diungkapkan dengan: Pena telah diangkat dan shuhuf telah kering.Maksudnya, menurut al-Mubarakfuri, ini adalah sebuah gambaran dari telah selesainya taqdir ditetapkan Allah swt. Maka semua yang terjadi tidak akan pernah melenceng dari apa yang dituliskan oleh Allah swt dalam shuhuf (lembaran-lembaran) taqdir.
Terkait hal ini, Allah swt sudah menegaskan dalam salah satu firman-Nya:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢ لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Al-Hadid [57] : 22-23).
Maka Nabi saw pun dalam petuahnya kepada Ibn ‘Abbas di atas, menyatakan bahwa sabar dalam menghadapi yang tidak disenangi merupakan satu-satunya jalan. Itulah yang akan mendatangkan kebaikan. Berduka cita dan marah hanya akan menyisakan kesengsaraan. Sabar akan mendatangkan pahala dan ganti yang lebih baik untuk orang yang melakukannya, sementara duka cita dan dendam hanya akan mendatangkan dosa dan siksa bagi pelakunya. Pertolongan dari Allah swt hanya akan diberikan kepada seseorang jika ia sabar dan tawakkal. Tanpa itu, seseorang tidak mungkin ditolong oleh Allah swt. “Dan ketahuilah bahwa di dalam kesabaran ketika menghadapi hal yang engkau benci terdapat banyak kebaikan, bahwa pertolongan itu datang setelah kesabaran, kelapangan itu datang setelah kesempitan, dan kemudahan itu datang setelah kesulitan,” demikian tegas Nabi saw dalam sabdanya di atas.
Nasihat ini juga menjadi penjelas dari firman Allah swt:

 فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا ٦

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. al-Insyirah [94] : 5-6).
Maksudnya adalah, hadapi dengan kesabaran. Tanpa kesabaran, kesulitan tetap akan menjadi kesulitan. Tidak akan pernah menjadi kemudahan. Tetapi dengan kesabaran, kesulitan akan berubah menjadi kemudahan. Maka dari itu, dalam firman selanjutnya Allah swt juga menegaskan:

 فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ ٧  وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرۡغَب ٨

Maka apabila kamu telah selesai (dari urusan dunia), maka bersungguh-sungguhlah dalam ibadah, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (QS. al-Insyirah [94] : 7-8).
Cara yang harus ditempuh agar sabar dan tawakkal kepada Allah swt kuat, sebagaimana Nabi saw nasihatkan kepada Ibn ‘Abbas di atas adalah dengan (1) menjaga Allah dan (2) selalu memohon pertolongan kepada Allah swt.
Para ulama hadits semuanya sama dalam menjelaskan makna “menjaga Allah” adalah dengan menjaga syari’at-Nya, aturan-Nya, perintah dan larangan-Nya. Menjaga sepenuhnya agar tidak ada syari’at yang terlewatkan, aturan yang tidak dipatuhi, perintah yang tidak dipenuhi, dan larangan yang dilanggar.
Sementara memohon kepada Allah swt menggambarkan rutinitas seorang hamba yang tidak pernah jauh dari Rabbnya. Dirinya selalu dekat dan bersimpuh di hadapan-Nya. Tidak pernah jauh ataupun lupa dari Kemahakuasaan-Nya. Inilah yang akan menguatkan tawakkal kepada Allah swt. Wal-‘Llahu a’lam.