Do’a Penentu Ibadah Mabrur
Semua ibadah, khususnya haji, kemabrurannya di antaranya ditentukan oleh do’a yang dipanjatkan; apakah do’a yang berorientasi duniawi atau ukhrawi? Itu semua bermuara pada apa yang ada dalam hatinya; berorientasi duniawi ataukah ukhrawi? Itu juga yang kelak akan menjadi orientasi hidupnya selepas ibadah; duniawi ataukah ukhrawi? Do’a yang dipanjatkan benar-benar dapat memotret jelas semua itu.
Mabrur sebagaimana dijelaskan oleh para ulama bermakna maqbul; diterima, atau alladzi la yukhalithuhu itsm; yang tidak bercampur dengan dosa, atau al-khalish; yang tulus, ikhlash (Hadyus-Sari Muqaddimah Fathul-Bari). Merujuk pada asal katanya, birr yang bermakna ‘kebaikan’, berarti mabrur adalah yang terkumpul padanya semua kebaikan dan tidak ada kejelekan.
Dalam hadits setidaknya ada dua yang disebut mabrur, yakni haji mabrur dan bai’ mabrur (jual beli mabrur). Ini berarti bahwa istilah mabrur tidak mutlak tertuju pada haji saja, melainkan pada ibadah di luar haji. Atau bukan tertuju pada ibadah mahdlah (ibadah yang murni didasarkan pada aturan Allah) seperti haji saja, tetapi juga ibadah ghair mahdlah seperti jual beli.
Di antara sekian penunjang kemabruran suatu ibadah, surat al-Baqarah yang membahas tuntunan tentang haji, menginformasikan salah satu faktor yang akan menentukan diterima atau tidaknya ibadah hajinya kelak di akhirat. Ayat-ayat yang dimaksud adalah:
فَإِذَا قَضَيۡتُم مَّنَٰسِكَكُمۡ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَذِكۡرِكُمۡ ءَابَآءَكُمۡ أَوۡ أَشَدَّ ذِكۡرٗاۗ فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ ٢٠٠ وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّمَّا كَسَبُواْۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٢٠٢
Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya (QS. al-Baqarah [2] : 200-202).
Ibn ‘Abbas menjelaskan, orang-orang Arab jahiliyyah setelah manasik haji selesai punya tradisi menyebut-nyebut kehebatan leluhur mereka. Mereka berbangga-bangga dengan garis keturunan mereka. Di samping itu, mereka suka berdo’a tetapi dengan do’a yang hanya berorientasi duniawi. Yang mereka mohonkan hanya kesenangan dan keinginan duniawi, tidak ada permohonan untuk akhiratnya sama sekali. Orang-orang seperti inlah yang disebutkan Allah swt dalam ayat di atas: “Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.”
Maka Allah swt memerintahkan umat Islam untuk mengganti tradisi menyebut kehebatan leluhur mereka dengan menyebut-nyebut kemahakuasaan Allah swt. Au asyadda dzikran, bahkan harus lebih hebat, banyak, dan khusyu’ dibanding tradisi jahiliyyah dalam menyebut-nyebut leluhur mereka (lafazh au dalam ayat di atas bukan bermakna ‘ragu’, tetapi li tahqiqil-khabar; untuk penekanan berita, sehingga diterjemahkan ‘atau bahkan harus lebih’).
Dalam do’a pun jangan meniru orang-orang jahiliyyah yang hanya memohon untuk urusan dunia saja, tetapi juga harus memohon untuk kebaikan di akhirat dan dijauhkan dari neraka. Orang-orang seperti inilah yang ibadahnya maqbul atau mabrur: “Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan” (Tafsir Ibn Katsir).
Tentu yang dimaksud bukan berarti orang-orang jahiliyyah hanya berdo’a Rabbana atina fid-dunya saja diulang-ulang. Demikian halnya orang-orang beriman bukan berarti harus berdo’a Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirah hasanah wa qina ‘adzaban-nar saja diulang-ulang, tidak boleh yang lainnya. Dua do’a di atas hanya merupakan gambaran dari Allah swt tentang dua model do’a; yang satu model do’a orang-orang jahiliyyah, dan yang satunya lagi model do’a orang-orang beriman. Orang-orang jahiliyyah dalam berdo’anya hanya memohon untuk urusan duniawi saja. Bahkan dalam do’a itu tidak disebutkan hasanah-nya. Artinya mereka langsung meminta ini dan itu untuk kesenangan duniawinya. Berbeda dengan orang-orang beriman yang diajari Allah swt untuk menyebutkan hasanah dalam do’anya, tanpa perlu merinci apa-apa saja dari dunia yang diinginkannya. Sebab memang seringkali yang diinginkan oleh manusia dari dunia sebenarnya tidak hasanah untuknya. Demikian halnya seringkali yang tidak diinginkan oleh manusia dari dunia justru hasanah untuknya. Sebagaimana Allah swt ingatkan:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٢١٦
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. al-Baqarah [2] : 216).
فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡٔٗا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. an-Nisa` [4] : 19).
Maka dari itu, dalam do’a-do’a yang dicontohkan oleh Nabi saw tidak ditemukan satu pun permohonan ingin banyak uang, rumah bagus, mobil dan sepeda motor baru, naik jabatan, usaha maju, dan recehan-recehan duniawi lainnya. Do’a-do’a yang Nabi saw ajarkan semuanya normatif seputar hasanah di dunia dan akhirat, misalnya ‘afiyah (keselamatan) dalam urusan agama, dunia, harta dan keluarga; ilmu bermanfaat dan rizqi yang thayyib; memohon keselamatan; memohon hidayah, taqwa, dan kecukupan harta; memohon dijauhkan dari dicabut nikmat dan disegerakan siksa; memohon ishlah (keberesan) agama, dunia dan akhirat; memohon dijaga dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan bawah; dan sebagainya. Sebab apakah benar uang banyak, usaha maju, jabatan naik, rumah bagus, dan kendaraan baru akan menjamin hasanah di dunia. Nabi saw sendiri justru pernah bersabda:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan bagi kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah dunia dianugerahkan kepada kalian sebagaimana kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian saling bernafsu untuk memperolehnya sebagaimana mereka, sehingga akibatnya kalian binasa sebagaimana mereka (Shahih al-Bukhari bab al-jizyah walmuwada’ah no. 3158).
Jadi jelas do’a yang dipanjatkan akan menggambarkan bagaimana sebenarnya dalaman diri kita; apakah masih tersisa karakter jahiliyyah ataukah sudah iman sepenuhnya. Dan itu pulalah yang akan menjadi salah satu penentu kemabruran ibadah yang diamalkan, khususnya ibadah haji.
Jika hanya do’a-do’a duniawi yang dipanjatkan atau minimalnya diprioritaskan itu pertanda masih banyak tersimpan hasrat-hasrat duniawi dalam diri. Ini jelas harus diwaspadai mengingat Allah swt sudah mengingatkan:
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرۡثَ ٱلۡأٓخِرَةِ نَزِدۡ لَهُۥ فِي حَرۡثِهِۦۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرۡثَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ ٢٠
Siapa yang ‘berkeinginan’ keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan siapa yang ‘berkeinginan’ keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat (QS. as-Syura [42] : 20).
Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.