Antara Poligami, Selingkuh, dan Pacaran
Masyarakat memang sudah sekuler; menihilkan agama dari kehidupan duniawi. Akibatnya dipandang sama jeleknya saja poligami, selingkuh, dan pacaran, padahal secara syari’at poligami halal sementara selingkuh dan pacaran haram. Yang lebih aneh lagi adalah yang memilih selingkuh atau pacaran secara sembunyi-sembunyi daripada poligami secara terang-terangan.
Maka seorang lelaki yang bersitri lebih dari satu, dalam kacamata feminisme sama halnya dengan seorang perempuan yang bersuami lebih dari satu. Jika untuk poliandri (bersuami lebih dari satu) dianggap sebuah cela, lalu mengapa poligami tidak dianggap sebuah cela. Bagi kaum feminis sama saja apakah lelaki yang memiliki lebih dari satu pasangan hidup itu dilegalkan oleh agama melalui perkawinan (poligami) ataupun tidak dilegalkan agama yakni selingkuh atau pacaran; kedua-duanya sama-sama perbuatan bejat, zhalim, dan tidak adil. Semuanya adalah sebentuk pengkhianatan terhadap cinta sejati, sebab cinta sejati dalam kacamata feminis hanya untuk satu orang pasangan, tidak boleh lebih dari satu orang.
Dampaknya seorang lelaki yang sudah menikah dan mencintai seorang perempuan memilih untuk berhubungan secara sembunyi-sembunyi, karena secara terang-terangan yang dilegalkan syari’at (poligami) dianggap sebagai perbuatan bejat. Bahkan tidak jarang anggapan perbuatan bejat terhadap poligami tersebut datangnya dari istrinya sendiri. Padahal secara syari’at hubungan cinta secara sembunyi-sembunyi tersebut hukumnya jelas haram, sementara poligami hukumnya halal. Ini semua terjadi ketika syari’at diabaikan, sehingga muncullah pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya tidak terjadi.
Padahal Islam sejatinya tidak menempatkan perempuan sebagai pihak yang tertindas. Hanya pemikiran sesat saja yang menilai peran perempuan dalam rumah tangga sebagai penindasan. Islam menempatkan perempuan sesuai fitrahnya. Kaum ibu derajatnya tiga kali lebih tinggi daripada kaum ayah karena faktor mengandung bayi, melahirkan, dan menyusui (merujuk hadits dahulukan ibumu, ibumu, ibumu, baru kemudian ayahmu). Kedekatan secara emosional dengan anak-anak menjadi perhatian yang besar dari Islam terkait fitrah perempuan ini. Perempuan juga tidak dibebani Allah swt dengan kewajiban memberi nafkah, melainkan wajib diberi nafkah. Maka fitrah kaum perempuan adalah di rumah, dekat dengan anak-anak, meski tidak diharamkan beraktivitas di luar rumah. Secara fitrah perempuan itu merasa nyaman dipimpin bukan memimpin, maka tepat sekali kalau syari’at membimbing mereka untuk menjadi perempuan yang taat kepada suami sebagai pemimpinnya. Ketika fitrah ini diingkari maka seorang perempuan akan keluar dari batas-batasnya, sehingga mereka melanggar batas dan kehilangan jati diri kemanusiaannya. Inilah yang Allah swt tegaskan dalam firman-Nya:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) (QS. an-Nisa’ [4] : 34).
Bahkan untuk kaum lelaki pun jika dibolehkan memilih antara mencari nafkah atau diberi nafkah; antara sibuk di luar atau cukup sibuk di rumah; antara memimpin atau dipimpin; atau antara jauh dari anak-anak atau dekat dengan anak-anak, pasti akan memilih pilihan yang kedua. Akan tetapi kaum lelaki diciptakan Allah swt untuk pilihan yang pertama, itulah fitrah lelaki ketika ia diciptakan. Hanya orang bodoh dan rakus saja yang menilai perempuan dengan perannya yang diatur syari’at dalam kehidupan rumah tangga sebagai penindasan. Perempuan-perempuan yang rakus dengan dunia tersebut tidak layak menyandang status sebagai perempuan.
Dalam kaitan fitrah ini pula lelaki dibolehkan—sebatas dibolehkan, bukan disunnahkan apalagi diwajibkan—beristri lebih dari satu. Syarat yang diberikan syari’at sangat jelas; adil. Jika tidak bisa adil, maka tidak boleh melanggar batas, cukup satu istri saja (QS. An-Nisa` [4] : 3). Bahkan meski adil secara sempurna tidak mungkin diwujudkan, al-Qur`an tetap mewajibkan bersikap adil sampai batas maksimal, dan jangan memperlihatkan pilih kasih secara transparan. Yang terakhir ini hukumnya jelas haram. Jadinya kalau poligami dengan cara seperti ini maka hukum poligaminya menjadi haram.
وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ وَإِن تُصۡلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ١٢٩
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa` [4] : 129).
Sementara pacaran apalagi selingkuh hukumnya jelas haram. Meski pacaran tidak sampai berbuat zina, tetapi itu sudah masuk zina yang tersembunyi atau mendekati zina, dan hukumnya terlarang atau haram.
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ
Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan asusila, baik yang nampak darinya maupun yang tersembunyi (QS. al-An’am [6] : 151).
Hadits Sa’ad ibn ‘Ubadah menjelaskan salah satu bentuk fahisyah yang tidak terang-terangan itu sebagai berikut:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ وَاللهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Dari al-Mughirah, ia berkata: Sa’ad ibn ‘Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku lihat seorang lelaki sedang berduaan bersama istriku, pasti aku penggal ia dengan pedang, bukan dengan belahan sisinya (tetapi dengan mata pedangnya. Maksudnya pukulan untuk membunuh, bukan pukulan biasa—Fathul-Bari).” Pernyataan Sa’ad tersebut lalu dilaporkan kepada Rasulullah saw. Beliau pun menyatakan: “Kenapa kalian heran dari kecemburuan Sa’ad. Demi Allah, aku pun lebih pencemburu daripada itu. Dan Allah lebih pencemburu daripada aku. Oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan asusila, baik yang tampak atau tersembunyi.” (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw la syakhsha aghyaru minal-‘Llah no. 7416).
Jadi meskipun yang diancamkan Sa’ad kepada istrinya itu tidak termasuk zina hubungan badan, baru sebatas berduaan dengan lelaki lain, Nabi saw membenarkan kemarahan Sa’ad tersebut, dan beliau kemudian mengategorikannya pada perbuatan fahisyah atau zina yang tidak terang-terangan.
Inilah jalan yang diberikan syari’at, sangat jelas mana yang halal dan haram. Umat Islam sudah semestinya memillih jalan yang halal, itu pun dengan syarat yang harus siap dipenuhi, dan jangan memilih jalan yang haram. Wal-‘Llahu a’lam.