Pernikahan dengan Wali Ustadz
Ada satu pernikahan yang tidak diizinkan oleh orangtua calon mempelai istri. Kemudian kedua mempelai itu menikah dengan dinikahkan oleh seorang Ustadz. Apakah pernikahan tersebut sah? 0812-2424-xxxx
Status wali dalam pernikahan adalah syarat sah pernikahan. Hanya Imam Abu Hanifah saja yang menyatakan izin wali bukan sebagai syarat sah. Beliau mengqiyaskannya dengan akad jual beli yang dinilai sah dilakukan seorang perempuan meski tidak ada izin walinya. Akan tetapi pendapat jumhur tentu lebih kuat karena hadits-hadits menyatakan tidak sah nikah tanpa wali dan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri dikategorikan perempuan pelacur. Dikuatkan oleh QS. Al-Baqarah [2] : 232 yang melarang para wali (yakni ‘ashabah; ayah, saudara lelaki, atau keluarga dari pihak ayah) menolak perempuan yang di bawah kewaliannya menikah dengan mantan suaminya jika caranya jelas ma’ruf. Seandainya kedudukan wali tidak wajib maka tidak akan ada ayat ini yang melarang wali menolak pernikahan perempuan yang di bawah kewaliannya. Tentunya perempuan yang dimaksud bisa saja menikah sendiri tanpa restu walinya (Fathul-Bari bab man qala la nikah illa bi waliy).
Larangan untuk wali menolak perempuan yang di bawah kewaliannya menikah dengan lelaki yang diridlainya juga menjadi ketentuan syari’at. Jadinya adil; perempuan menikah harus seizin wali dan wali wajib mengizinkan perempuan yang di bawah kewaliannya untuk menikah sepanjang pernikahan itu ma’ruf.
Hadits Nabi saw juga memberikan tuntunan bahwa seorang perempuan berhak untuk menolak dinikahkan dengan calon suami yang tidak disukainya. Bahkan kalau pernikahannya sudah terjadi, perempuan berhak untuk mengajukan gugat cerai.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ
Dari Ibn ‘Abbas ra: “Ada seorang perempuan muda datang kepada Nabi saw dan mengadukan bahwa ayahnya sudah menikahkannya dengan seseorang yang tidak ia sukai. Nabi saw kemudian memberikan pilihan kepadanya [untuk lanjut pernikahannya atau cerai].” (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Abbas ra no. 2469 dan Sunan Abi Dawud bab fil-bikr yuzawwijuha abuha wa la yasta`miruha no. 2096).
Dalam kasus para wali berseteru, misalkan antara kakak pertama dan kakak kedua dalam hal mengizinkan pernikahan ketika ayahnya sudah meninggal dunia, maka walinya bisa diambil alih oleh sulthan (Pemerintah).
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنْ اشْتَجَرُوا، فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya bathal. Jika seorang lelaki menyentuhnya maka perempuan berhak menerima mahar atas apa yang ia sentuh dari farjinya. Dan jika mereka berselisih maka sulthan adalah wali bagi yang tidak ada walinya (Musnad Ahmad bab musnad as-shiddiqah ‘Aisyah ra no. 24372)
Maka berdasarkan keterangan-keterangan di atas, pertanyaan dari anda harus diteliti terlebih dahulu, mengapa wali mempelai perempuan tidak memberikan izin; apakah karena alasan yang sesuai syari’at atau tidak. Jika alasan wali tidak memberikan izin tersebut sudah sesuai syari’at, misalnya calon mempelai perempuan hendak menikah dengan orang fasiq atau kafir, maka berarti pernikahannya tidak sah. Akan tetapi jika wali tidak mengizinkan itu tidak sesuai dengan syari’at, misalkan karena wali orang fasiq atau kafir yang tidak rela anaknya menikah dengan orang baik, maka pernikahan yang tidak diizinkan wali itu bisa dinilai sah jika walinya diambil alih oleh Pemerintah. Jika Pemerintah juga tidak memberikan izin maka Ustadz bisa dinilai sebagai pengganti Pemerintah dalam keadaan darurat.
Meski demikian kewajiban shilaturahim; menyambungkan hubungan dengan keluarga/wali terutama orangtua, berlaku sesudah akad nikah bahkan sampai akhir hayat. Wal-‘Llahu a’lam