Sejarah sudah mengajarkan bahwa perpecahan umat Islam tidak berawal dari perselisihan aqidah apalagi fiqih, melainkan berawal dari perselisihan politik kekuasaan. Dari sini barulah merembet pada perselisihan aqidah dan perpecahbelahan umat yang notabene dosa besar dan bisa menghanguskan amal-amal shalih. Maka dari itu umat harus belajar untuk bersikap dewasa dalam menghadapi setiap perselisihan agar tidak merembet pada perpecahbelahan umat.
Imam al-Bukhari menyoroti secara khusus persoalan ini dalam kitab Shahihnya dengan menuliskan satu tarjamah (judul bab):
بَاب خَوْفِ الْمُؤْمِنِ مِنْ أَنْ يَحْبَطَ عَمَلُهُ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ وَمَا يُحْذَرُ مِنْ الْإِصْرَارِ عَلَى النِّفَاقِ وَالْعِصْيَانِ مِنْ غَيْرِ تَوْبَةٍ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى{وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ}
Bab: Ketakutan seorang mukmin amalnya hancur tanpa ia sadari dan waspada terjebak dalam nifaq dan maksiat tanpa taubat berdasarkan firman Allah ta’ala: “…dan mereka tidak meneruskan perbuatan zhalimnya itu karena keadaan mereka mengetahui.”
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, secara khusus judul bab ini ditujukan untuk membantah Murji`ah; satu kelompok ahli bid’ah yang menyatakan bahwa iman tidak akan rusak dengan amal-amal dosa. Murji`ah mengajarkan bahwa para pelaku maksiat tetap dinilai beriman sempurna selama masih tertanam iman dalam hati mereka. Maka Imam al-Bukhari membantah tegas kesesatan keyakinan mereka. Seorang mukmin itu harus selalu merasa takut amalnya akan hangus akibat dosa-dosa yang diamalkan. Iman belum cukup aman jika tidak disertai amal-amal yang jauh dari dosa.
Maka dari itu Imam al-Bukhari melanjutkan pernyataannya dengan keharusan “waspada terjebak dalam nifaq dan maksiat tanpa taubat berdasarkan firman Allah ta’ala: “…dan mereka tidak meneruskan perbuatan zhalimnya itu karena keadaan mereka mengetahui.” (mengutip ayat dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 135).
Ayat tersebut jelas mewajibkan setiap mukmin bertaubat dari amal-amal buruknya dan tidak terus menerus mengamalkannya dengan merasa nyaman iman tidak akan terganggu amal buruk. Nyatanya amal-amal buruk yang terus-menerus diamalkan akan menghalangi orang-orangnya dari surga yang seluas langit dan bumi.
Penekanan pada “perselisihan” sebagai amal yang akan menghancurkan amal-amal shalih itu didasarkan pada istidlal Imam al-Bukhari atas dua hadits yang beliau tuliskan, yaitu:
عَنْ زُبَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا وَائِلٍ عَنْ الْمُرْجِئَةِ فَقَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Dari Zubaid, ia berkata: Aku bertanya kepada Abu Wa`il tentang kelompok Murji`ah. Ia menjawab: ‘Abdullah (ibn Mas’ud) mengajarkan hadits kepadaku bahwasanya Nabi saw bersabda: “Mencaci seorang muslim itu fasiq dan memeranginya kafir.” (Shahih al-Bukhari bab khaufil-mu`min min an yahbatha ‘amaluhu no. 48).
Sebagaimana disinggung di atas, secara khusus Imam al-Bukhari menyoroti khusus idelogi Murji`ah dalam bab ini. Hadits di atas dijadikan dalil untuk membantah pemahaman Murji`ah karena Nabi saw menilai keimanan bisa rusak (yanqushu) meski tidak sampai hilang (keluar dari Islam) dengan sebab mencaci (fasiq) dan memerangi (kafir). Fasiq dan kafir itu dosa besar yang lebih besar daripada maksiat biasa sebagaimana disebutkan hierarkinya dalam QS. al-Hujurat [49] : 7. Dosa-dosa besar itu tidak akan dapat dihapuskan dengan amal shalih selain harus ditinggalkan (QS. an-Nisa` [4] : 31 dan an-Najm [53] : 32). Hadits-hadits juga menyebutkan para pelaku dosa besar itu akan masuk neraka jika tidak dikehendaki diampuni Allah swt meski tidak akan selama-lamanya jika masih ada keyakinan la ilaha illal-‘Llah dalam hatinya.
Akan tetapi hadits ini menurut al-Hafizh Ibn Hajar sekaligus membantah Khawarij yang meyakini bahwa pelaku dosa besar dikategorikan kafir keluar dari Islam dan akan kekal di neraka. Yang benar ketika amal kafir diamalkan oleh orang beriman maka tidak menghilangkan keimanannya tersebut, melainkan sebatas merusak (yanqushu) saja. Kafirnya bukan kafir i’tiqadi melainkan sebatas kafir ‘amali. Dalilnya firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 85 dan al-Hujurat [49] : 9 (Fathul-Bari). Jadi maksud sabda Nabi saw “memerangi muslim termasuk kafir” harus diselaraskan dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2] : 85 dan al-Hujurat [49] : 9, yakni bahwa kafirnya kafir ‘amali, bukan kafir i’tiqadi keluar dari Islam sebagaimana diyakini Khawarij.
Hadits kedua yang dijadikan dalil oleh Imam al-Bukhari:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ يُخْبِرُ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ وَإِنَّهُ تَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ وَالتِّسْعِ وَالْخَمْسِ
Dari Anas, ia berkata: ‘Ubadah ibn as-Shamit memberitahuku bahwasanya Rasulullah saw keluar untuk memberitahukan lailatul-qadar. Tiba-tiba berdebat hebat dua orang muslim. Beliau lalu bersabda: “Sungguh aku keluar untuk memberi tahu kalian kapan lailatul-qadar. Tetapi sungguh fulan dan fulan malah berdebat hebat sehingga dihapus (ilmunya). Saya berharap itu jadi lebih baik bagi kalian. Carilah malam itu pada malam ketujuh, kesembilan, dan kelima.” (Shahih al-Bukhari bab khaufil-mu`min min an yahbatha ‘amaluhu no. 49).
Wajhul-istidlal (aspek penggunaan dalil) dari hadits ini adalah perdebatan hebat dua orang muslim di hadapan Nabi saw sehingga menghilangkan ilmu yang semula sudah diturunkan kepada Nabi saw. Ini menunjukkan bahwa perselisihan yang tidak disikapi dengan kedewasaan bisa merusak amal dan ilmu. Sesuatu hal yang cukup rentan terjadi di majelis-majelis ilmu dan melibatkan para praktisi ilmu.
Dengan dua hadits di atas diketahui bahwa maksud Imam al-Bukhari dengan judul bab di atas “hangus amalnya” bukan berarti menjadi kafir keluar dari Islam, melainkan akan turut memberatkan timbangan dosa-dosa besar dan meringankan timbangan amal kebaikan. Demikian al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dalam Fathul-Bari. Jika demikian maka neraka sudah pasti mengintai meski ada jaminan tidak akan selamanya sepanjang ada keimanan bersemayam di hati. Inilah yang harus ditakuti karena siksa neraka tidak bisa dianggap sepele; satu hari dosa di dunia disiksa selama 1000 sampai 50.000 tahun di neraka.
Istidlal Imam al-Bukhari dengan dua hadits di atas cukup untuk dijadikan kewaspadaan oleh setiap muslim bahwa perselisihan akan menghancurkan amal. Terlebih hal ini dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat al-Hujurat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٢
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari (QS. al-Hujurat [49] : 2).
Untuk melengkapi istidlal haditsnya, Imam al-Bukhari juga ber-istidlal dengan atsar dari para ulama Salaf, sebagai berikut:
وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
Ibrahim at-Taimi (w. 110 H) berkata: “Tidaklah aku bandingkan perkataanku dengan amalku melainkan karena aku takut menjadi seorang pendusta.”
وَقَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
Ibn Abi Mulaikah (w. 117 H) berkata: “Aku bertemu dengan 30 shahabat Nabi saw semuanya merasa takut ada kemunafiqan dalam dirinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sudah selevel iman Jibril dan Mikail.”
وَيُذْكَرُ عَنْ الْحَسَنِ مَا خَافَهُ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا أَمِنَهُ إِلَّا مُنَافِقٌ
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) ia berkata: “Tidak ada yang merasa cemas dengannya kecuali seorang mu`min. Dan tidak merasa aman darinya kecuali orang munafiq.”
Ciri kemunafiqan itu sendiri disebutkan dalam hadits:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Ada empat perkara, yang jika empat perkara ini ada pada seseorang, maka orang tersebut munafiq tulen. Tapi kalau hanya ada sebagian saja, maka hanya sebagian munafiq yang ada padanya sampai ia meninggalkannya: Apabila diamanati khianat, berbicara dusta, berjanji ingkar, dan apabila berselisih melebihi batas (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab ‘alamatil-munafiq no. 34).
Ciri munafiq yang keempat harus menjadi perhatian utamanya, karena ketika perselisihan itu mengarah pada kebencian dan perpecahan, berarti sudah termasuk munafiq ‘amali. Hadits-hadits tentang keharusan mencintai sesama muslim dan tidak menzhaliminya banyak bertebaran dalam periwayatan. Ayat-ayat al-Qur`an demikian juga banyak menyinggungnya, di antaranya yang dimaklumatkan dalam surat al-Munafiqun [63] : 7-8.
Akhlaq buruk munafiq dan juga fasiq sebagaimana sudah diuraikan di atas harus menjadi perhatian besar umat Islam semua. Jangan sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan sebab perselisihan sedikit, berpecah belah umat sampai berkeping-keping. Cukup disikapi dengan dewasa, penuh husnuzhan, menjauhi caci maki, tidak merendahkan, dan jika diperlukan berdialog dengan cara terbaik (bil-lati hiya ahsan).
Wal-‘Llahu a’lam.