Al-Muqsith Semakin Langka
Di tengah-tengah zaman yang serba materialistis seperti saat ini, hampir setiap orang berinteraksi dengan dasar “kepentingan”, bukan “kelayakan” atau “kebenaran”. Orang yang selalu berkata dan bersikap benar, cenderung dijauhi bahkan dimusuhi. Orang-orang yang layak memegang satu amanah tidak pernah diakrabi. Pola interaksi seperti ini hanya mengundang murka Allah swt.
‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kitabnya al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an, menjelaskan bahwa akar kata qisth maknanya adalah “an-nashib bil-‘adl; bagian yang adil/proporsional”. Jika bentuk fi’ilnya qasatha maka artinya “an ya`khudza qistha ghairihi; mengambil bagian orang lain”, yakni zhalim. Sementara jika bentuk fi’ilnya aqsatha maka artinya “an yu’thiya qistha ghairihi; memberikan bagian orang lain”, yakni adil. Atau dengan kata lain “memberikan sesuatu kepada orang yang berhaknya”. Dua istilah yang berbeda ini difirmankan Allah swt dalam al-Qur`an. Qasatha/Qasith yang bermakna zhalim ada di firman-Nya:
وَأَمَّا ٱلۡقَٰسِطُونَ فَكَانُواْ لِجَهَنَّمَ حَطَبٗا ١٥
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahanam (QS. al-Jinn [72] : 15).
Sementara aqsatha/muqsith yang bermakna adil ada dalam tiga firman-Nya sebagai berikut:
فَإِن جَآءُوكَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُمۡ أَوۡ أَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡۖ وَإِن تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيۡٔٗاۖ وَإِنۡ حَكَمۡتَ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِٱلۡقِسۡطِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٤٢
Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka. Jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil (QS. al-Ma`idah [5] : 42).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan, ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi atau munafiq yang mengajukan sengketa hukum kepada Nabi saw karena berharap ada putusan dari beliau yang memuaskan hawa nafsu mereka. Mereka meminta putusan hukuman kepada Nabi saw bukan untuk mencari kebenaran. Maka dari itu Nabi saw diberi kebebasan untuk memberikan putusan hukuman atau tidak. Kalaupun memberikan putusan hukuman, jangan sampai terpengaruh oleh orang-orang zhalim yang mengajukan sengketa hukuman. Jika mereka zhalim, putuskan saja mereka bersalah, meski mereka yang meminta putusan hukuman kepada Nabi saw (Tafsir Ibn Katsir).
طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. al-Hujurat [49] : 9).
Ayat ini ditujukan kepada dua kelompok kaum mukminin yang terlibat dalam konflik bersenjata. Kelompok yang memulai mengangkat senjata harus dipaksa berhenti dan kemudian duduk bersama untuk ishlah/perdamaian. Selanjutnya, dalam proses ishlah tersebut tetapkan putusan untuk kedua pihak dengan adil (Tafsir Ibn Katsir).
لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. al-Mumtahanah [60] : 8).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan, ayat ini tetap memerintahkan orang-orang beriman untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari tanah airnya, misalnya kaum wanita dan orang-orang lemahnya (Tafsir Ibn Katsir).
Dalam dua ayat yang lain, Allah swt mengingatkan hal-hal yang menjadi penghalang dari berbuat adil:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُۥٓاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٣٥
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. an-Nisa` [4] : 135).
Menurut al-Hafizh Ibn Katsir, ayat ini jelas memerintahkan setiap orang beriman konsisten dalam keadilan karena Allah swt, sehingga tidak menyimpang karena terpengaruh cacian ataupun motif-motif lainnya. Jangan segan terhadap orang kaya dan jangan belas kasihan kepada orang miskin. Jangan juga terpengaruh kebencian terhadap satu keluarga atau suku bangsa. Meskipun hukumannya merugikan diri sendiri, orang tua dan kerabat, tetap harus diputuskan dengan adil karena Allah swt (Tafsir Ibn Katsir). Di ayat berikutnya, Allah swt mengulang lagi perintahnya ini untuk memberikan penekanan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Ma`idah [5] : 8).
Ayat-ayat di atas, menuntun setiap orang beriman untuk bersikap adil karena Allah swt dalam setiap mengambil keputusan. Dasarnya bukan hanya like and dislike; suka atau tidak suka, tetapi apakah benar, tepat, proporsional, dan layak secara objektif. Inilah tipologi al-muqsith yang selalu akan merasakan cinta Allah swt. Jika tuntunan ini dijauhi, berarti hanya murka Allah swt yang akan dirasakan, oleh orang-orang beriman sekalipun. Na’udzu bil-‘Llah. Wal-‘Llahu a’lam.