Situasi politik yang genting pernah terjadi di era salaf. Kegentingannya bahkan sampai menyebabkan perang saudara. Jika hari ini umumnya perang politik hanya terjadi sebatas di media, maka di era salaf pernah sampai terjadi perang senjata. Kaum muslimin tentu saja resah dengan kegentingan politik yang mereka rasakan. Tempat mereka mencurahkan keresahannya tiada lagi selain para ulama yang tidak memihak kepada kubu politik mana pun. Di antara mereka adalah Abu Barzah al-Aslami.
Abu Barzah al-Aslami (w. 65 H/685 M) adalah seorang shahabat mulia yang bernama lengkap Nadllah ibn ‘Ubaid ibn al-Harits al-Aslami Abu Barzah. Ia adalah seorang Anshar dari Madinah yang kemudian menetap di Bashrah sejak masa ‘Ali ibn Abi Thalib t. Ia juga ikut bersama ‘Ali berperang di Nahrawan memerangi kaum Khawarij (separatis). Hadits yang ia riwayatkan kepada tabi’in ada 46 hadits (al-A’lam liz-Zarkali).
Imam adz-Dzahabi sedikit mengulas tentang akhlaqnya dalam Siyar A’lamin-Nubala`. Di antara yang menonjol darinya adalah ia hidup dengan sangat sederhana. Di setiap pagi dan petang ia selalu membagikan tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada faqir miskin, anak-anak yatim, dan ibu-ibu janda. Setiap malam ia selalu shalat malam dan membangunkan keluarganya. Dalam shalat shubuh ia konsisten membaca al-Qur`an sebanyak 60-100 ayat di setiap raka’atnya. Ini persis sama dengan hadits yang diriwayatkannya dari Nabi saw sebagaimana ditulis dalam Bulughul-Maram bab al-mawaqit no. 166.
Di masa-masa awal kekhilafahan Islam, ketika umat Islam merasakan kegentingan politik yang luar biasa, ia selalu menjadi rujukan pertanyaan. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Abul-Minhal dan ditulis oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.
عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ قَالَ لَمَّا كَانَ ابْنُ زِيَادٍ وَمَرْوَانُ بِالشَّأْمِ وَوَثَبَ ابْنُ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ وَوَثَبَ الْقُرَّاءُ بِالْبَصْرَةِ فَانْطَلَقْتُ مَعَ أَبِي إِلَى أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَيْهِ فِي دَارِهِ وَهُوَ جَالِسٌ فِي ظِلِّ عُلِّيَّةٍ لَهُ مِنْ قَصَبٍ فَجَلَسْنَا إِلَيْهِ فَأَنْشَأَ أَبِي يَسْتَطْعِمُهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ يَا أَبَا بَرْزَةَ أَلَا تَرَى مَا وَقَعَ فِيهِ النَّاسُ فَأَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ إِنِّي احْتَسَبْتُ عِنْدَ اللَّهِ أَنِّي أَصْبَحْتُ سَاخِطًا عَلَى أَحْيَاءِ قُرَيْشٍ إِنَّكُمْ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ كُنْتُمْ عَلَى الْحَالِ الَّذِي عَلِمْتُمْ مِنْ الذِّلَّةِ وَالْقِلَّةِ وَالضَّلَالَةِ وَإِنَّ اللَّهَ أَنْقَذَكُمْ بِالْإِسْلَامِ وَبِمُحَمَّدٍ ﷺ حَتَّى بَلَغَ بِكُمْ مَا تَرَوْنَ وَهَذِهِ الدُّنْيَا الَّتِي أَفْسَدَتْ بَيْنَكُمْ إِنَّ ذَاكَ الَّذِي بِالشَّأْمِ وَاللَّهِ إِنْ يُقَاتِلُ إِلَّا عَلَى الدُّنْيَا وَإِنَّ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ وَاللَّهِ إِنْ يُقَاتِلُونَ إِلَّا عَلَى الدُّنْيَا وَإِنْ ذَاكَ الَّذِي بِمَكَّةَ وَاللَّهِ إِنْ يُقَاتِلُ إِلَّا عَلَى الدُّنْيَا
Dari Abul-Minhal ia berkata: Ketika Ibn Ziyad dan Marwan berkuasa di Syam, Ibnuz-Zubair berkuasa di Makkah, dan para qurra` berkuasa di Bashrah, aku (Minhal) dan ayahku pergi menemui Abu Barzah al-Aslami sehingga masuk rumahnya. Saat itu ia sedang duduk di tempat duduknya yang tinggi dan terbuat dari bambu juga beratap (pertanda cuaca sangat panas—Fathul-Bari). (Kata Minhal) Kemudian mulailah ayahku bertanya tentang hadits kepadanya. Ia berkata: “Wahai Abu Barzah, tidakkah anda perhatikan apa yang tengah terjadi pada umat hari ini?” Maka hal pertama yang aku dengar, ia berkata: “Sungguh aku berharap pahala dari Allah ketika sungguh aku hari ini marah kepada beberapa kelompok Quraisy. Kalian wahai bangsa Arab, dahulu ada dalam kehinaan, minoritas, dan kesesatan, sehingga Allah menyelamatkan kalian dengan Islam dan Muhammad saw. Lalu sampailah kepada kalian apa yang kalian lihat ini, yakni dunia ini yang telah merusak hubungan di antara kalian. Sungguh yang di Syam itu, demi Allah, mereka tidak berperang melainkan karena dunia. Sungguh orang-orang yang ada di hadapan kalian ini (Bashrah), demi Allah, mereka tidak berperang melainkan karena dunia. Dan sungguh yang ada di Makkah, demi Allah, mereka tidak berperang melainkan karena dunia.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab idza qala ‘inda qaum syai`an tsumma kharaja fa qala bi khilafihi no. 7112).
Yang dimaksud Ibn Ziyad adalah ‘Ubaidullah ibn Ziyad (28-67 H) seorang Amir (Gubernur) Bashrah di masa Khalifah Yazid ibn Mu’awiyah (25-64 H). Ketika Yazid wafat ia terusir dari Bashrah karena mayoritas penduduknya lebih memilih berbai’at kepada ‘Abdullah ibnuz-Zubair (1-73 H) di Makkah. Ibn Ziyad pun pergi ke Syam dan bergabung bersama Marwan ibn al-Hakam (2-65 H). Bashrah kemudian dikuasai oleh qurra` (para penghafal al-Qur`an) yang beraqidah sesat karena mengkafirkan dan memerangi sesama muslim. Mereka dikenal juga dengan sebutan Haruriyyah atau Khawarij. Pada tahun 60-an Hijriyyah peta perpolitikan umat Islam disesaki oleh konflik di antara tiga kekuatan di atas. Umat Islam banyak yang merasa resah dengannya. Di antaranya para tabi’in yang meminta fatwa kepada Abu Barzah al-Aslami sebagaimana disinggung dalam hadits di atas.
Abu Barzah kemudian mengingatkan bahwa dahulu bangsa Arab berada dalam kejahiliyyahan sampai Allah swt menyelamatkan mereka dengan Islam dan Nabi Muhammad saw. Peringatan Abu Barzah ini didasarkan pada firman Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 103 yang memerintahkan umat Islam untuk selalu berjama’ah memegang teguh agama Allah dan jangan berpecah belah. Ini adalah nikmat Allah swt yang tak terhingga dan telah menyelamatkan umat Islam dari kejahiliyyahan di saat mereka saling bermusuhan dan berperang satu sama lainnya. Sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam QS. al-Anfal [8] : 63, uang sebanyak apa pun tidak akan bisa menyatukan hati manusia yang sedang bermusuhan jika Allah swt tidak menurunkan nikmatnya.
Akan tetapi akibat dari kesenangan dunia yang telah dianugerahkan, umat Islam malah berpecah belah kembali sebagaimana mereka dahulu jahiliyyah. Jika memang niatnya karena Allah swt semata, pasti persatuan umat Islam akan selalu jadi prioritas, bukan malah saling mengangkat senjata. Nabi saw sendiri sudah sering mengingatkan bahwa di saat kesenangan duniawi berlimpah dan secara otomatis akan ada banyak hal yang harus diingkari khususnya dari para penguasa, umat harus mampu bersabar menahan diri agar tidak terjadi konflik dan malah menimbulkan banyak korban yang mati seperti orang-orang jahiliyyah. Mereka mati karena perang saudara dan perang merebut kekuasaan dari sesama umat Islam, bukan perang melawan orang kafir demi menegakkan Islam. Jika memang niatnya bukan karena dunia, pasti anjuran Nabi saw untuk selalu mengalah di hadapan para penguasa yang masih muslim akan dijadikan pilihan demi persatuan umat (al-jama’ah) itu sendiri.
Ibn Mas’ud di antaranya meriwayatkan hadits Nabi saw:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُوْراً تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا: فَمَا تَأْمُرُناَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوْا اللهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kalian akan menyaksikan sesudahku budaya mementingkan dunia dan hal-hal lain yang kalian ingkari (tidak terima).” Para shahabat bertanya: “Apa yang akan kau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Berikanlah kepada mereka (para penguasa) hak mereka, dan mintalah kepada Allah hakmu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabi satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7052).
Dalam hadits ‘Umar riwayat al-Isma’ili sebagai syahid hadits Ibn Mas’ud di atas dijelaskan:
بِالْكَفِّ وَالصَّبْر إِنْ أَعْطَوْا الَّذِي لَهُمْ أَخَذُوهُ وَإِنْ مَنَعُوهُ تَرَكُوه
(Umat bisa selamat) Dengan menahan diri dan sabar. Jika mereka (para penguasa) memberi apa yang jadi hak mereka, maka ambil. Jika mereka menahan hak mereka, maka tinggalkan (jangan separatis) [Fathul-Bari]).
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ، إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memecah belah kesatuan umat (jama’ah) sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha, no. 7054).
Maka dari itu, tidak heran jika Abu Barzah pun sampai terpaksa bersumpah bahwa kritikannya kepada kelompok-kelompok Quraisy yang bertikai di atas murni karena mengharapkan keridlaan Allah swt. Ia bersumpah demi Allah bahwa semua yang bertikai karena kekuasaan di Syam, Bashrah, dan Makkah pada zaman itu adalah karena dunia, bukan karena agama.
Sebuah tuntunan yang jelas dari sunnah bahwa apapun dalih agamanya, jika perpolitikan yang dijalani malah memecah belah umat Islam itu sendiri, semuanya pasti—demi Allah—karena dunia, bukan karena agama. Sebab tuntunan agama sangat jelas: “Dan berpeganglah kamu secara berjama’ah kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” Demi ayat ini, sunnah mengajarkan umatnya agar mampu menahan diri, bukan malah memberanikan diri melawan yang ujung-ujungnya mendatangkan perpecahan umat. Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.