Kontemporer

Zina Dilegalkan oleh UIN Yogya (!?)

Perzinaan dalam model samen leven (hidup berkeluarga tanpa ikatan pernikahan/kumpul kebo) dilegalkan oleh sebuah disertasi di UIN Yogya, akhir Agustus silam (28/8/2019), karena dianggap sama dengan ma malakat aimanuhum (hidup bersama hamba sahaya tanpa akad nikah). Akibat kesalahan metodologi penelitian, maka akibatnya pun salah menyimpulkan. Metode islamic studies yang digunakan dalam disertasi tersebut sudah pasti akan menilai al-Qur`an dengan kerangka pemikiran Barat. Padahal al-Qur`an sudah dijelaskan makna dan praktiknya oleh Nabi saw dalam sunnah, dikuatkan oleh penjelasan para shahabat dan ulama-ulama sesudahnya, kemudian dirumuskan metodologinya yang sesuai ajaran Nabi saw tersebut dalam metodologi tafsir.

Meski kontroversi salah satu disertasi yang diluluskannya kemudian ditanggapi secara resmi oleh pihak UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan menyatakan disertasi tersebut harus direvisi, tetap saja tidak ada pernyataan tegas bahwa disertasi itu salah sehingga harus direvisi total atau bahkan tidak diluluskan. Tidak ada pernyataan resmi dari UIN Yogya bahwa revisi itu harus sampai pada mengoreksi metodologi dan mengkritik pemikiran Syahrur yang dijadikan dasar teori disertasi tersebut untuk dijelaskan bahwa teori tersebut lemah secara ilmiah. UIN Yogya tetap mengakui “keilmiahan” disertasi tersebut berdasarkan metodologi islamic studies (metodologi penelitian Islam khas Barat), meski kemudian hasilnya diserahkan kepada masyarakat, dalam hal ini MUI dan Pemerintah. Proses disertasi itu sendiri tentunya melalui tahapan-tahapan yang panjang mulai dari sidang proposal penelitian, bimbingan oleh para promotor, seminar disertasi sebelum diuji, sidang tertutup ujian disertasi, dan kemudian sidang terbuka hasil penelitian disertasi. Diloloskannya disertasi tersebut dari tahap ke tahap menunjukkan permufakatan pimpinan UIN Yogya atas disertasi yang salah fatal secara metodologis.
Islamic Studies adalah metodologi penelitian agama Islam dengan pendekatan filsafat (khususnya hermeneutika), ilmu sosial, dan ilmu budaya; bukan dengan pendekatan sunnah atau ilmu tafsir. Sebagai contoh, hukum waris dan rumah tangga dalam Islam harus direvisi total karena bertentangan dengan teori kesetaraan gender; sebuah teori yang sudah diilmiahkan oleh Barat melalui ilmu sosial. Hukum jihad kepada orang kafir harus dihapus karena bertentangan dengan teori hak asasi manusia (HAM) dalam hal agama dan negara; sebuah teori yang juga sudah diyakini kebenarannya secara mutlak tanpa perlu diperdebatkan lagi di kalangan Barat. Demikian halnya menjadi LGBT diyakini sebagai hak hidup setiap manusia yang tidak boleh diintervensi agama; ini juga didasarkan pada teori HAM Barat. Termasuk disertasi UIN Yogya yang didasarkan pada teori Syahrur ini yang menyimpulkan bahwa hidup berkeluarga tanpa ikatan nikah (samen leven/kumpul kebo) juga merupakan hak manusia yang tidak boleh diintervensi oleh masyarakat apalagi sampai dipersekusi.
Karakter metodologi penelitian Barat itu sendiri menilai keilmiahan sebuah ilmu itu dengan asas “kesepakatan” manusia (positivisme). Dasar kesepakatan itu sendiri adalah akal dan indera, sebab ini yang menurut mereka pasti disepakati. Bukan norma atau bahkan wahyu, karena pasti tidak akan ada kesepakatan. Sebagai contoh kesimpulan “gula itu manis” ini adalah ilmiah karena semua orang pasti sepakat. “Gajah lebih besar daripada kucing” ini juga ilmiah karena semua orang pasti sepakat. Tetapi pernyataan “perempuan berjilbab lebih terhormat daripada yang tidak berjilbab” ini tidak ilmiah karena tidak disepakati. Bahkan orang Islamnya sendiri pun tidak sepakat. Demikian juga jika dinyatakan “al-Qur`an adalah wahyu” ini tidak ilmiah karena hanya orang Islam saja yang meyakininya, sementara kalangan non-muslim tidak meyakininya. Maka dari itu dasar ilmiah itu bukan wahyu atau norma sebab pasti tidak akan ada kesepakatan, melainkan akal dan indera.
Dari karakter utamanya tersebut, maka kemudian lahir karakter turunannya, yakni penelitian ilmiah itu harus empiris-objektif; sebatas menjelaskan, dan tidak boleh menghakimi benar dan salahnya berdasarkan norma atau wahyu. Sebab jika sampai menghakimi benar atau salah berdasarkan norma atau wahyu, pasti tidak akan ditemukan kesepakatan, dan dalam hal tersebut berarti tidak ilmiah. Penelitian ilmiah hanya menjelaskan secara ilmiah (berdasarkan metodologi yang digunakan) apa dan bagaimana sebuah persoalan tersebut kedudukannya. Tidak boleh sampai menghakimi ini benar dan salah.
Ilmu-ilmu yang disepakati oleh akal dan indera manusia itu sendiri adalah ilmu alam (sains), ilmu sosial, dan ilmu budaya/humaniora. Maka inilah dasar-dasar ilmu untuk penelitian ilmiah, termasuk penelitian ilmiah agama Islam, demikian Islamic studies khas Barat mengajarkan. Sementara wahyu dengan segenap turunannya seperti ilmu tafsir, hadits, dan ushul fiqh, tidak dinilai ilmiah, sebab tidak diakui sebagai ilmu oleh semua ilmuwan.
UIN Yogya sendiri dari sejak dipimpin oleh Amin Abdullah telah menyatakan diri sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang menerapkan metode sirkuler dalam format “jaring laba-laba” sebagai basis metodologi penelitian ilmiahnya. Metode sirkuler adalah metode yang mendudukkan kesemua metodologi studi Islam—baik dari warisan ulama Islam seperti tafsir, hadits, dan ushul fiqh, ataupun metodologi yang dikembangkan Barat melalui ilmu sosial dan humaniora—dalam kedudukan sederajat dan saling mengisi, tanpa ada yang diunggulkan di atas yang lainnya, apalagi dinyatakan sebagai satu-satunya metodologi yang valid dengan membatalkan metodologi lainnya (M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 218-224).
Makanya jangan heran—meski tentu harus ada kemarahan/kebencian karena Allah swt—jika akan selalu lahir dari UIN Yogya dan PTAI lainnya yang semadzhab penelitian-penelitian yang menyimpang dari Islam, sebab memang basis metodologinya metodologi Barat, yang menurut UIN Yogya ilmiah, dan tidak bisa disalahkan oleh metodologi tafsir dan semacamnya. Masing-masing metodologi ada kamarnya sendiri. Tafsir tidak bisa mengintervensi metodologi Barat, demikian juga sebaliknya. Bukan tidak ada hasil penelitian dari UIN Yogya yang turut menguatkan Islam, tentunya ada dan masih cukup banyak, tetapi kedudukannya sebagai hasil penelitian berstatus sama dengan hasil penelitian yang menggunakan metodologi Barat. UIN Yogya juga tidak mungkin mengkompromikan antara hasil penelitian tafsir dan hasil penelitian hermeneutika yang bertentangan, sebab dari awal dirumuskan, metode sirkuler tidak mengenal eksklusifitas dan hegemoni. Jika yang dinyatakan benar hasil penelitian hermeneutika saja, berarti eksklusif, tidak inklusif. Demikian halnya jika yang dinyatakan benar hasil penelitian tafsir, berarti ada hegemoni tafsir atas hermeneutika. Penelitian ilmiah di UIN Yogya sebatas meneliti secara ilmiah berdasarkan metodologi yang digunakan, dan hasilnya tidak boleh diintrvensi oleh metodologi lainnya, apalagi oleh masyarakat umum berdasarkan norma dan agama yang tentunya sangat tidak ilmiah.
Maka umat Islam sebenarnya tidak perlu kaget, jika ternyata UIN Yogya tetap saja meluluskan disertasi salah satu mahasiswanya tersebut, meski mereka memohon maaf atas kontroversi yang ditimbulkannya. Sebab bagi mereka apa yang ditulis oleh Abdul Aziz dalam disertasi berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” adalah sebuah penelitian ilmiah dengan metodologi hermeneutika, linguistik, dan pendekatan gender. Mereka hanya sebatas menuntut agar disertasi itu direvisi judulnya menjadi “Problematika Konsep Milk al-Yamin dalam Pemikiran Muhammad Syahrur”. Tidak ada sama sekali tuntutan untuk menyatakan pemikiran Syahrur tersebut salah menurut keilmuan Islam, sebab memang mereka menyadari penelitian disertasi tersebut tidak memakai metodologi kelimuan Islam, melainkan metodologi ilmiah khas Barat. Jadi selama sesuai dengan metodologi ilmiah khas Barat maka tidak bisa dinyatakan salah. Revisi hanya sekedar menginformasikan bahwa konsep milkul-yamin perspektif Syahrur itu hanya sekedar mengandung banyak problem untuk diterapkan di Indonesia.
Sebagaimana diberitakan portal harianjogja.com, Rektor UIN Sunan Kalijaga sekaligus Ketua Sidang Promosi Doktor Abdul Aziz, Prof. Yudan Wahyudi, mengatakan disertasi harus dinilai secara objektif dan adil. “Terlepas dari setuju atau tidaknya para penguji terhadap pandangan Syahrur atau pandangan pribadi Abdul Aziz,” kata Yudian dalam konferensi pers di UIN Sunan Kalijaga, Jumat (30/8/2019).
Yudian mengatakan para penguji menilai Aziz mampu mengeksplorasi konsep, menganalisis dan mengkritiknya. “Saya beri analogi ya, air kalau sudah 100 derajat celsius kan mendidih. Boleh diminum tidak? Beda-beda kan? Dia bisa menganggap boleh, tetapi kami tidak. Dia tetap objektif. Tetapi pada tingkat aksiologi [berdasarkan manfaat dan nilainya] untuk apa [minum air mendidih]? Ini [seks di luar nikah] yang tidak cocok pada bangsa Indonesia atau orang Islam keseluruhan,” kata Yudian.
Terlihat jelas, bahwa Rektor UIN Yogya sebatas merujukkan keilmiahan disertasi pada metodologi yang dianut dan ditempuh dalam penelitian, tanpa mempersoalkan hasilnya yang kontroversi. Rektor UIN Yogya juga mendasarkan kebenaran hasil penelitian pada kesepakatan masyarakat Indonesia, bukan pada al-Qur`an dan sunnah. Jika masyarakat sepakat, silahkan terapkan. Jika tidak, maka tidak bisa diterapkan. Seperti itulah “kerangka ilmiah” versi UIN Yogya.
Dalam pers release resmi yang disampaikannya, Prof. Yudan Wahyudi, menyatakan: “Pemahaman Syahrur tentang milk al-yamin harus ditambah akad nikah, wali, saksi dan mahar. Sebagai konsekuensinya, kata-kata Syahrur: “Jika masyarakat menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak. Dalam konteks Indonesia, dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disahkan menjadi Undang-undang. Tanpa proses ini pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia.”
Abdul Aziz, kata Yudian melanjutkan, telah melakukan penelitian secara objektif dan sesuai aturan akademik. Sebagai peneliti, lanjut Yudian, seseorang dituntut untuk mampu mendeskripsikan pandangan dan menafsirkan apa yang akan diteliti. Dalam hal ini, Abdul Aziz mampu melakukan hal tersebut. “Dan memang, Syahrur memiliki pandangan bahwa milk al-yamin itu tidak hanya budak, tetapi semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual,” ujar Yudian (republika.co.id).
Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Noorhaidi Hasan, tidak mempermasalahkan kritik dari masyarakat atas disertasi yang diluluskannya. “Disertasi (Abdul Aziz) memang nggak ada fatwanya. Ini hanya kajian akademis, menjelaskan what, how and why, itu saja. Nggak ada (fatwa),” jelas Noorhaidi kepada wartawan di aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (3/9/2019), kepada detik.com.
Sebagaimana sudah disinggung di awal, penelitian ilmiah versi Barat tabu untuk memberikan kesimpulan hukum berdasarkan norma dan agama. Maka dari itu, disertasi sebatas meneliti bagaimana pendapat Syahrur dan menyimpulkan yang menurut versinya saja. Tidak boleh mempersoalkan kesimpulan hukumnya dan memaksakan untuk memberlakukannya pada masyarakat. Jadi meskipun kontroversial, tetap diakui ilmiah.
Sang penulis sendiri, Abdul Aziz, mahasiswa program doktoral Interdisciplinary Islamic Studies, di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga sebagai Dosen Fakultas Hukum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, hanya sebatas meminta maaf atas kontroversi yang terjadi. Ia hanya akan merevisi judulnya saja, sementara hasil dan metodologi penelitiannya tidak akan diubah.
Abdul Aziz tidak menyatakan mencabut pernyataan sebelumnya dan hasil penelitiannya. Ia tetap “mengakui” penjelasan Syahrur bahwa ayat-ayat tentang milkul-yamin menjadi dalil hubungan seks yang dihalalkan bukan hanya melalui pernikahan saja (marital), tetapi juga yang non-pernikahan (non-marital) berdasarkan kesepakatan masyarakat sebagaimana halnya hamba sahaya dalam Islam. Jika masyarakat menyepakati hubungan seksual non-marital dalam model samen leven, maka itu juga berarti halal untuk dipraktikkan. Persyaratannya—sebagaimana dijelaskan Syahrur sendiri—hanya sebatas harus dilakukan suka-sama suka dan tanpa tipu muslihat, tidak dipamerkan di tempat umum, tidak dengan yang sedarah, bukan dengan perempuan yang sudah bersuami, dan tidak dalam praktik homoseksual. Kritikan dari Abdul Aziz terhadap pemikiran Syahrur hanya dari aspek bias gender, yakni bahwa teori Syahrur tersebut tetap akan memarginalkan kaum perempuan.
Pernyataannya sebelumnya juga tidak pernah dinyatakan dicabut oleh Abdul Aziz, dimana ia secara terus terang menyatakan bahwa disertasi itu ditulis karena dilatarbelakangi kekhawatiran atas persekusi yang dilakukan sebagian masyarakat kepada mereka yang mempraktikkan kumpul kebo. Ia berikhtiar dengan disertasinya ini ada perubahan UU seputar pernikahan yang tidak hanya mengakomodir hubungan seksual lewat pernikahan saja (marital) tetapi juga yang tidak lewat pernikahan (non-marital) selama itu tidak merugikan masyarakat lainnya (detik.com).
Padahal ayat al-Qur`an dan hadits-hadits sudah tegas menyatakan bahwa keberadaan malakat aimanuhum/milkul-yamin itu hanya dari tawanan perang saja (di antaranya QS. al-Ahzab [33] : 50), atau yang diperjualbelikan dari tawanan perang tersebut (berdasarkan hadits dan ijma’ ulama). Jadi bukan dari hasil kesepakatan masyarakat, melainkan penegasan wahyu. Itupun dengan semangat untuk kemudian dimerdekakan; baik dimerdekakan langsung melalui mekanisme shadaqah atau kifarat, ataupun melakukan hubungan seksual yang dihalalkan sehingga keturunannya kelak tidak menjadi hamba sahaya lagi (bisa dirujuk misalnya hadits-hadits kitabul-‘itqi dalam Bulughul-Maram). Itulah sebabnya hubungan seksual dengan hamba sahaya dihalalkan, di samping hubungan seksual yang melalui jalur pernikahan. Hanya dua hubungan seksual itu saja yang dilegalkan syari’at (QS. al-Mu`minun [23] : 6 dan al-Ma’arij [70] : 30). Selebihnya dari itu termasuk zina yang haram, baik yang bentuknya samen leven/kumpul kebo ataupun yang melalui prostitusi.
Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Back to top button