Fiqih Patung dan Gambar

Islam sebagai agama yang kaffah memberi aturan syari’at juga dalam hal patung dan gambar. Sebagian besar patung dan gambar dinyatakan haram oleh Nabi saw, bahkan diancam dengan siksa neraka yang paling besar. Meski demikian dalam beberapa hal, Nabi saw tetap memberikan pengecualian yang membolehkan. Lalu yang bagaimanakah patung dan gambar yang diharamkan, dan yang bagaimana pula patung dan gambar yang dibolehkan?


Patung/gambar dalam bahasa hadits adalah shurah, arti asalnya “bentuk”. Bentuk yang dimaksud bisa dua dimensi (gambar/lukisan) atau tiga dimensi (patung/pahatan). Maka dari itu ancaman dalam hadits tertuju kepada para pemahat, pembuat patung, atau penggambar dan pelukis.
Ancaman siksa untuk para perupa dan pelukis tidak bisa dianggap sepele, sebab Nabi saw menyatakannya sebagai salah satu siksa yang paling dahsyat:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

Sesungguhnya yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah para perupa [pembuat seni rupa; pelukis atau pembuat patung] (Shahih al-Bukhari bab‘adzbul-mushawwirin yaumal-qiyamah no. 5950).

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللهِ

Sesungguhnya yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah yang menyerupai penciptaan Allah (Shahih al-Bukhari bab ma wuthi`a minat-tashawir no. 5954).

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً

Siapa lagi yang lebih zhalim (dosa besar) daripada orang yang berusaha menciptakan seperti penciptaanku. Maka hendaklah mereka menciptakkan biji buah dan biji sawi (Shahih al-Bukhari bab naqdlis-shuwar no. 5953).

الَّذِينَ يَصْنَعُونَ الصُّوَرَ  يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Orang-orang yang yang membuat patung/gambar akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: “Hidupkan yang sudah kamu ciptakan.” (Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5657).

مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِى الدُّنْيَا كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

Siapa yang membuat satu patung/gambar di dunia, akan dibebankan tugas kepadanya untuk meniupkan ruh pada patung/gambar tersebut di hari kiamat, dan ternyata ia tidak bisa meniupkan ruh (Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5663).

عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى الْحَسَنِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ إِنِّى رَجُلٌ أُصَوِّرُ هَذِهِ الصُّوَرَ فَأَفْتِنِى فِيهَا. فَقَالَ لَهُ ادْنُ مِنِّى. فَدَنَا مِنْهُ ثُمَّ قَالَ ادْنُ مِنِّى. فَدَنَا حَتَّى وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ قَالَ أُنَبِّئُكَ بِمَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: كُلُّ مُصَوِّرٍ فِى النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِى جَهَنَّمَ. وَقَالَ إِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَاصْنَعِ الشَّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ لَهُ

Dari Sa’id ibn Abil-Hasan, ia berkata: Ada seseorang datang kepada Ibn ‘Abbas lalu berkata: “Sungguh aku ini seorang tukang pembuat patung/gambar seperti ini. Berilah fatwa untukku.” Ibn ‘Abbas berkata kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Ia pun mendekat. Ibn ‘Abbas berkata lagi kepadanya: “Mendekatlah kepadaku.” Ia pun mendekat sampai Ibn ‘Abbas meletakkan tangannya di kepala penanya itu, sambil berkata: Aku akan beritahukan kepadamu apa yang aku dahulu dengar dari Rasulullah saw: “Setiap pembuat patung/gambar di neraka akan Allah jadikan untuknya dari setiap patung/gambar yang ia buat satu jiwa yang akan menyiksanya di Jahannam.” Ibn ‘Abbas berkata: “Jika kamu terpaksa tetap menjadi pembuat patung/gambar, maka buatlah pohon atau yang tidak ada ruh nya.” (Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5662).
Maksud setiap patung/gambar akan diberikan nafsan dalam hadits di atas, menurut Imam an-Nawawi, ada dua: Pertama, patung/gambar yang ia buat itu kelak diberikan ruh oleh Allah swt, dan sesudah hidup maka patung/gambar itu akan menyiksa para pembuatnya. Kedua, akan diciptakan satu sosok makhluk baru dari setiap patung/gambar yang dibuat itu kemudian makhluk tersebut menyiksa pembuatnya (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim). Jadi semakin banyak patung/gambar yang dibuat seorang seniman, maka semakin banyak juga yang akan menyiksanya kelak pada hari kiamat.
Hadits Ibn ‘Abbas ini menunjukkan bahwa profesi seniman di bidang seni rupa atau lukis sudah ada sejak zaman awal Islam. Mereka pun sesudah mengetahui adanya larangan-larangan di atas memohon fatwa dan nasihat dari para ulama, yang dalam konteks hadits di atas kepada shahabat Ibn ‘Abbas. Dengan cukup santun dan tidak membuat penanya malu, juga tidak dengan menjelek-jelekkannya, Ibn ‘Abbas memberikan saran kepada penanya untuk berhenti dari profesi tersebut. Jika memang sudah terlanjur bergelut di dunia tersebut, cukup dengan menggambar atau memahat benda-benda yang tidak bernyawa seperti pohon dan semacamnya. Ini merupakan tuntunan Islam yang jelas untuk para seniman rupa dan lukis/gambar untuk diikuti agar hidupnya sesuai dengan syari’at.
Dari hadits-hadits di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم تَصْوِير الْحَيَوَان وَأَنَّهُ غَلِيظ التَّحْرِيم، وَأَمَّا الشَّجَر وَنَحْوه مِمَّا لَا رُوح فِيهِ فَلَا تَحْرُم صَنْعَته، وَلَا التَّكَسُّب بِهِ، وَسَوَاء الشَّجَر الْمُثْمِر وَغَيْره، وَهَذَا مَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مُجَاهِدًا فَإِنَّهُ جَعَلَ الشَّجَر الْمُثْمِر مِنْ الْمَكْرُوه. قَالَ الْقَاضِي: لَمْ يَقُلْهُ أَحَد غَيْر مُجَاهِد، وَاحْتَجَّ مُجَاهِد بِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُق خَلْقًا كَخَلْقِي. وَاحْتَجَّ الْجُمْهُور بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيُقَال لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ أَيْ اِجْعَلُوهُ حَيَوَانًا ذَا رُوح كَمَا ضَاهَيْتُمْ، وَعَلَيْهِ رِوَايَة : وَمَنْ أَظْلَم مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُق خَلْقًا كَخَلْقِي. وَيُؤَيِّدهُ حَدِيث اِبْن عَبَّاس رَضِيَ اللَّه عَنْهُ الْمَذْكُور فِي الْكِتَاب: إِنْ كُنْت لَا بُدّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَر وَمَا لَا نَفْس لَهُ

Hadits-hadits ini tegas mengharamkan memahat/menggambar makhluk hidup, dan haramnya haram yang keras. Adapun pohon dan semacamnya yang tidak ada ruhnya, maka tidak haram membuatnya dan menjadikannya sebagai ladang usaha, baik itu pohon yang berbuah atau tidak. Ini adalah madzhab ulama seluruhnya kecuali Mujahid, sebab Mujahid memakruhkan pohon yang berbuah. Al-Qadli menjelaskan, tidak ada yang mengatakan seperti ini selain Mujahid. Argumentasi Mujahid adalah firman Allah ta’ala: “Siapa lagi yang lebih zhalim (dosa besar) daripada orang yang berusaha menciptakan seperti penciptaanku.” Sementara jumhur berargumentasi dengan sabda Nabi saw: “Dikatakan kepada mereka: “Hidupkan yang sudah kamu ciptakan.” Yakni jadikanlah makhluk hidup yang memiliki ruh sebagaimana kalian berusaha hendak menyamainya. Demikian juga riwayat: “Siapa lagi yang lebih zhalim (dosa besar) daripada orang yang berusaha menciptakan seperti penciptaanku.” Dikuatkan juga oleh hadits Ibn ‘Abbas yang disebutkan di kitab (di atas): “Jika kamu terpaksa tetap menjadi pembuat patung/gambar, maka buatlah pohon atau yang tidak ada ruh nya” (Syarah an-Nawawi bab tahrim tashwir shuratil-hayawan).
Dari penjelasan di atas diketahui juga bahwa penyebab Nabi saw mengharamkan dengan keras dan mengancamnya dengan siksa yang paling berat karena memang ada unsur syiriknya. Sebagaimana diketahui, siksa yang paling besar itu hanya ditujukan kepada mereka yang berbuat syirik. Syiriknya terletak dalam aspek ada kebanggaan bisa menandingi perbuatan Allah swt yang hanya khusus menjadi wewenangnya saja, yakni menciptakan makhluk. Maka dari itu tantangan dari Allah swt kelak pada hari kiamat, silahkan hidupkan patung/gambar yang sudah dibuat tersebut.
Meski demikian, ini pun tidak berarti bahwa seniman yang tidak ada niat syirik kemudian tidak termasuk larangan. Nabi saw melarang patung dan gambar makhluk hidup tanpa mengaitkannya dengan niat. Jadi terlepas niat syiriknya ada atau tidak ada, ia pada hakikatnya telah berbuat syirik. Jika ia betul-betul menikmatinya, berarti kadar syiriknya berat. Jika ia tidak menyadarinya, berarti kadar syiriknya tidak terlalu berat. Tetapi tetap saja ia telah berbuat sesuatu yang mendekati syirik, meski ia tidak menyadarinya.
Pengecualian Kebolehan
Hadits-hadits yang mengharamkan memahat/menggambar tidak hanya yang berlaku umum/muthlaq seperti yang ditulis di atas saja. Ada juga di antaranya yang memberikan pengecualian kebolehan. Pengecualian tersebut yang ditemukan dalam hadits ada dua, yaitu:
Pertama, patung dan gambar yang tidak terpajang, seperti sebagai tikar atau bantal.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي (وَعَلَّقْتُهُ عَلَى بَابِهَا) فِيهَا تَمَاثِيلُ (فِيهِ الْخَيْل ذَوَات الْأَجْنِحَة) فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ  هَتَكَهُ وَقَالَ أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ (يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ) قَالَتْ فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ (فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَىَّ)

Dari ‘Aisyah ra ia berkata: Rasulullah saw pulang dari safar dan saya menutupi sebuah ruangan kecil (pada pintunya) dengan korden yang ada gambarnya (kuda bersayap). Ketika Rasulullah saw melihatnya beliau mencabutnya sambil berkata: “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menandingi ciptaan Allah (akan dikatakan kepada mereka: hidupkan apa yang kalian buat!).” ‘Aisyah berkata: “Maka kami menjadikannya satu atau dua bantal hamparan (dan beliau tidak menyalahkannya).” (Shahih al-Bukhari bab ma wuthi`a minat-tashawir no. 5954, 5955, 5957 dan Shahih Muslim bab la tadkhulul-mala`ikat baitan no. 5642, 5645).
Kedua, patung dan gambar sebagai mainan.

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِى سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ. قَالَتْ بَنَاتِى. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ مَا هَذَا الَّذِى أَرَى وَسْطَهُنَّ. قَالَتْ فَرَسٌ. قَالَ وَمَا هَذَا الَّذِى عَلَيْهِ. قَالَتْ جَنَاحَانِ. قَالَ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ. قَالَتْ أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لَهَا أَجْنِحَةٌ قَالَتْ فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw pulang dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu di lemarinya ada tirai, lalu angin bertiup dan menyingkap bagian sisi tirai, terlihatlah mainan anak-anak perempuan milik ‘Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini ‘Aisyah?” Ia menjawab: “Anak-anakku.” Beliau lalu melihat di tengah-tengahnya seekor mainan kuda yang memiliki dua sayap terbuat dari sobekan kain. Beliau bertanya lagi: “Apa ini yang aku lihat di tengah-tengahnya?” Ia menjawab: “Kuda.” Beliau bertanya: “Apa yang ada padanya?” Ia menjawab: “Dua sayap.” Beliau bertanya: “Kuda memiliki dua sayap!?” Ia menjawab: “Tidakkah anda mendengar bahwa kuda-kuda Nabi Sulaiman juga memiliki sayap?” Beliau lalu tersenyum sampai terlihat gigi gerahamnya (Sunan Abi Dawud bab fil-la’ib bil-banat no. 4934).
Dari point pertama dan kedua, bisa diketahui bahwa patung dan gambar yang tidak dibanggakan dan dijadikan hiasan, melainkan sekedar alat untuk permainan atau dijadikan sesuatu yang tidak terpajang, hukumnya diperbolehkan. Termasuk bisa diqiyaskan padanya patung dan gambar sebagai media pendidikan, baik dalam bentuk poster atau di buku dan majalah.
Termasuk dikecualikan juga foto dan video, karena tidak termasuk “menandingi ciptaan Allah”. Foto atau video hanya merekam gambar ciptaan Allah swt, maka dari itu tidak termasuk yang diharamkan. Terkecuali jika sang fotographer memiliki kebanggaan tersendiri sudah menciptakan sesuatu atas hasil karya fotografinya, maka ini sudah termasuk yang dilarang dalam hadits-hadits di atas.
Patung dan Gambar di Masjid
Tetap diharamkan juga patung dan gambar yang dipasang di masjid atau tempat-tempat ibadah. Meski itu adalah patung dan gambar orang-orang shalih atau yang banyak jasanya terhadap Islam. Ini didasarkan pada hadits Nabi saw berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالْحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ فَأُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari ‘Aisyah: Sesungguhnya Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Nabi saw sebuah gereja yang mereka lihat di Habasyah, padanya terdapat patung/gambar. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka itu apabila seorang shalih di antara mereka meninggal dunia, mereka bangun di atas kuburannya masjid dan mereka gambar/pahat padanya gambar/patung mereka. Mereka itulah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah.” (Shahih al-Bukhari bab hal tunbasyu qubur musyrikil-Jahiliyyah no. 427; Shahih Muslim bab an-nahy ‘an bina`il-masajid ‘alal-qubur no. 1209).
Berdasarkan hadits ini, sengaja membuat patung/gambar tokoh untuk dikultuskan di tempat-tempat ibadah hukumnya haram. Jika di luar tempat ibadah, kembali pada hukum patung/gambar makhluk hidup secara umum sebagaimana diulas di atas.
Patung dan Gambar Salib
Secara khusus Nabi saw memberikan penekanan larangan untuk patung/gambar dalam wujud salib. Salib itu sendiri diambil dari bahasa Arab shalîb. Istilah ini banyak dijumpai dalam al-Qur`an dan hadits. ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Gharib al-Qur`an menjelaskan bahwa makna asal sha-la-ba adalah syadid (berat). Punggung disebut oleh al-Qur`an dengan istilah shulbi karena memang biasa memikul yang berat.
Kemudian ada istilah shalab dan ishthilab, kedua-duanya bermakna mengeluarkan lemak dari tulang. Ada juga istilah shalb yang bermakna mengikat seseorang untuk dibunuh secara perlahan. Ada yang menjelaskan asal maknanya: mengikat tulang sulbi (punggung) di batang kayu. Ada juga yang menjelaskan asal maknanya: mengikat lemak. Sementara shalîb adalah batang kayu yang digunakan untuk mengeksekusi hukuman shalb. Istilah shalb dan shalîb inilah yang kemudian banyak digunakan dalam al-Qur`an untuk mengungkapkan sebuah hukuman mati yang dieksekusi dengan perlahan. Ar-Raghib juga tidak lupa menjelaskan bahwa istilah shalîb ditujukan pada sesuatu yang disembah oleh kaum Nashara, sebagai simbol dari kayu yang digunakan untuk menyalib orang yang mereka yakini sebagai Yesus.
Makna shalîb yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan cross (tanda silang, palang, atau kayu bersilang) konsisten disebutkan dalam al-Qur`an. Ini pada hakikatnya untuk mengkritik keyakinan kaum Kristiani yang selalu mengidentikkan salib dengan cross. Padahal sejatinya salib tidak identik dengan cross. Salib intinya sebuah kayu sandaran yang digunakan untuk menghukum seorang kriminal, dan umumnya tidak berpalang.
Konsistensi al-Qur`an yang menyebut salib bukan sebagai cross misalnya ditemukan dalam ayat-ayat yang menjelaskan ancaman Fir’aun kepada tukang sihir yang malah beriman kepada Nabi Musa as dan meninggalkan praktik sihirnya:

فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ

“Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma” (QS. Thaha [20] : 71).
“Pangkal pohon kurma” yang disebutkan oleh Fir’aun itu tentu tidak berbentuk cross/palang, sebab batang pohon kurma tegak lurus. Hukuman salib seperti inilah yang diancamkan Fir’aun dalam ayat-ayat lainnya, yakni QS. al-A’raf [7] : 124 dan as-Syu’ara [26] : 49.
Salib sebagai sebuah hukuman merupakan hukuman yang sudah lama dipraktikkan pada zaman pra-Islam dan kemudian disyari’atkan juga dalam Islam. Sebagai hukuman yang sudah lama dipraktikkan, terlihat dari kisah dua penghuni penjara yang satu sel dengan Nabi Yusuf as, dimana salah satunya akan dihukum salib.
Sementara sebagai sebuah hukuman yang disyari’atkan, ditujukan kepada mereka yang memerangi umat Islam dan atau berbuat fasad (merusak) di muka bumi. Hukuman salib ini hanya salah satu hukuman dari hukuman-hukuman yang ada:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS. al-Ma`idah [5] : 33).
Terkait pengakuan kaum Nashrani bahwa Yesus (Nabi ‘Isa as) mati di tiang salib, al-Qur`an dengan tegas membantahnya:

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa (QS. an-Nisa` [4] : 157).
Maka dari itu semua keyakinan kaum Kristiani terkait salib, sampai mereka kemudian menyembahnya, maka Islam dari sejak diwahyukan kepada Nabi saw jelas-jelas menolaknya. Kalaupun dibuatkan patung sebagai simbol Yesus, maka Islam jelas menolaknya dan meyakini bahwa itu bukan Yesus/’Isa as. Meyakini Yesus pernah disalib di tiang kayu salib adalah sebuah keyakinan kafir yang akan membatalkan Islam.
Oleh karenanya Nabi saw menjelaskan bahwa kelak ketika Yesus/’Isa as turun kembali ke bumi menjelang hari kiamat, di antara misi utamanya adalah menghancurkan salib, karena telah salah kaprah diyakini sebagai dirinya, bahkan sampai disembah. Nabi saw menjelaskan:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَيُوشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً، فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ، وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ، وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ، وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ، حَتَّى تَكُونَ السَّجْدَةُ الْوَاحِدَةُ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Demi zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, hampir dekat masanya Ibn Maryam turun ke tengah-tengah kalian sebagai hakim yang adil. Ia akan menghancurkan salib, memusnahkan babi, menghentikan pajak, dan harta akan mengalir sehingga tidak ada yang akan menerimanya (mustahiq) seorang pun. Satu kali sujud saat itu lebih baik dari dunia dan isinya (Shahih al-Bukhari kitab ahadits al-anbiya bab nuzul ‘Isa ibn Maryam no. 3448; kitab al-buyu’ bab qatlil-khinzir no. 2222; kitab al-mazhalim bab kasris-shalib no. 2476; Shahih Muslim kitab al-iman bab nuzul ‘Isa ibn Maryam no. 408).
Terkait salib dengan Nabi ‘Isa as yang diyakini sebagai Tuhan dan sembahan, maka Nabi saw tidak memberikan toleransi sama sekali. ‘Aisyah ra menjelaskan:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ تَصَالِيبُ إِلَّا نَقَضَهُ

Sesungguhnya Nabi saw tidak meninggalkan di rumahnya sesuatu pun yang ada salib kecuali beliau akan meniadakannya (Shahih al-Bukhari bab naqdlis-suwar no. 5952).
Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa yang akan segera dihilangkan oleh Rasul saw itu termasuk salib yang ada pada baju (Musnad Ahmad bab musnad as-shiddiqah ‘Aisyah no. 24261). Makanya ketika ada seorang perempuan thawaf di Baitullah memakai selendang yang ada gambar salibnya, ‘Aisyah ra langsung menyuruhnya untuk menanggalkannya:

قَالَتْ دِقْرَةُ أُمُّ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أُذَيْنَةَ: كُنَّا نَطُوفُ بِالْبَيْتِ مَعَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، فَرَأَتْ عَلَى امْرَأَةٍ بُرْدًا فِيهِ تَصْلِيبٌ، فَقَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ: اطْرَحِيهِ اطْرَحِيهِ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَأَى نَحْوَ هَذَا قَضَبَهُ

Diqrah Ummu ‘Abdirrahman ibn Udzainah (seorang tabi’at) berkata: Ketika kami thawaf di Baitullah bersama Ummul-Mu`minin (‘Aisyah), ia ternyata meelihat seorang perempuan yang selendangnya bergambar salib. Maka Ummul-Mu`minin berkata: “Lepaskan ini, lepas! Sungguh Rasulullah saw apabila melihat yang seperti ini pasti akan mencabutnya.” (Musnad Ahmad bab musnad as-shiddiqah ‘Aisyah no. 25091)
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa maksud naqadla itu adalah ‘meniadakan’. Bisa dengan cukup menghilangkan gambar salibnya tanpa merusak dan membuang baju/barang yang ada salibnya. Jika itu ukiran di dinding, maka cukup dengan menghilangkan ukirannya saja, atau mengeriknya, atau cukup dengan memudarkannya saja. Kalaupun dengan menghancurkannya dan membuangnya, maka ini juga tidak disalahkan, terlebih dengan mempertimbangkan riwayat Abu Dawud yang menyebutnya “qabadlahu” bukan “naqadlahu” sebagaimana riwayat al-Bukhari di atas (Fathul-Bari bab naqdlis-shuwar).
Al-Hafizh Ibn Hajar juga menjelaskan bahwa salib yang selalu dihilangkan oleh Nabi saw itu disebabkan statusnya sudah menjadi ‘sembahan’ (berhala) selain Allah swt. Berarti diqiyaskan juga padanya segala simbol, gambar, dan patung yang disembah selain Allah swt. Sebut misalnya rosario, patung Yesus, bunda Maria, Buddha, Ganesha (lambang ITB, sebab itu berhala yang disembah oleh penganut Hindu), Yin-Yang (Korea), candi Borobudur, dan candi-candi lainnya. Termasuk gambar salib yang terdapat dalam lambang klub sepakbola seperti Barcelona, Inter Milan, AC Milan, Brasil, Portugal, dan lainnya. Termasuk juga semua yang mengandung syirik, seperti jimat, keris, cincin, air keramat, ayam hitam (khusus untuk ritual), rampe (bunga-bunga khusus untuk perdukunan), lambang valentine, pohon natal, bintang david, semua yang terkait imlek/cap go meh, kartu ucapan selamat natal, dan semacamnya. Demikian halnya semua yang mengarah pada kufur, sebab termasuk juga yang disembah selain Allah. Misalnya gambar-gambar atau lambang-lambang atheis, komunis, aliran-aliran sesat, setan, dan semacamnya. Termasuk lambang klub sepakbola Manchester United, karena jelas-jelas diniatkan oleh pembuatnya sebagai lambang setan.
Wal-‘Llahu a’lam
nashruddin syarief