Zakat untuk Orangtua Yang Terlilit Utang

Ustadz maaf mau bertanya. Bagaimana kalau uang zakat anak digunakan untuk membayar utang ibu/bapak apakah sah dan boleh? Ibu dan bapaknya berutang untuk kebutuhan sehari hari, bukan untuk konsumtif. Jadi anak ingin membayarkan utang orangtuanya dengan uang zakat anaknya? 0822-8222-xxxx
Fiqih zakat dalam kaitan ini intinya tidak boleh menyalurkan zakat kepada orang yang wajib dinafkahi, sebagaimana dinyatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar:

الَّذِي يَمْتَنِعُ إِعْطَاؤُهُ مِنْ الصَّدَقَةِ الْوَاجِبَةِ مَنْ يَلْزَمُ الْمُعْطِيَ نَفَقَتُهُ وَالْأُمُّ لَا يَلْزَمُهَا نَفَقَة وَلَدِهَا مَعَ وُجُودِ أَبِيهِ

Orang yang terlarang diberi shadaqah wajib (zakat) adalah orang yang mesti diberi nafkah oleh pemberi zakat. Dan ibu tidak wajib memberi nafkah kepada anaknya jika ayahnya masih ada (Fathul-Bari bab az-zakat ‘alaz-zauj).
Pernyataan al-Hafizh di atas terkait hadits Zainab istri Ibn Mas’ud yang hendak menunaikan zakat perhiasan perak kepada faqir miskin, tetapi kemudian dianjurkan oleh Ibn Mas’ud agar diberikan kepadanya saja untuk menafkahi dirinya dan anaknya karena Ibn Mas’ud seseorang yang miskin. Zainab yang keheranan dianjurkan oleh suaminya tersebut untuk bertanya kepada Nabi saw, dan beliau menjawab:

صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

Ibn Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu lebih berhak mendapatkan shadaqah tersebut/zakat perhiasan (Shahih al-Bukhari bab az-zakat ‘alal-aqarib no. 1462).
Jika zakat disalurkan kepada yang wajib dinafkahi maka itu berarti tidak membayar zakat, karena ketika ia memberi kepada anak istrinya, misalnya, itu adalah nafkah bukan zakat, meski diniatkan zakat. Ini adalah amal hailah (tipu daya) untuk menghilangkan salah satu kewajiban, dan hukumnya haram. Sementara istri ke suami dan anaknya tidak ada kewajiban memberi nafkah, maka dari itu boleh disalurkan kepada suami dan anak. Terkecuali jika suaminya sudah meninggal dan ibu menjadi orangtua tunggal maka ibu haram memberikan zakat kepada anaknya.
Kaitan anak dan orangtua juga demikian. Jika anak masih tanggungan nafkah orangtuanya, dalam hal ini ayahnya, maka tidak boleh seorang ayah memberikan zakat kepada anaknya. Terkecuali jika anak itu sudah menikah dan tidak lagi menjadi tanggungan nafkahnya, maka diperbolehkan orangtua menyalurkan zakat kepada anaknya, tentunya karena pertimbangan anak sebagai salah satu ashnaf zakat seperti faqir miskin atau terlilit utang. Hal ini pernah terjadi antara Yazid dengan putranya, Ma’an yang saat itu sudah berkeluarga mandiri. Ma’an ra menceritakan:

كَانَ أبي يَزيدُ أخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا، فَوَضعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ في الْمَسْجِدِ، فَجِئْتُ فأَخذْتُها فَأَتَيْتُهُ بِهَا. فقالَ: واللهِ مَا إيَّاكَ أرَدْتُ. فَخَاصَمْتُهُ إِلى رسولِ اللهِ ﷺ فقَالَ: لكَ مَا نَوَيْتَ يَا يزيدُ، ولَكَ ما أخَذْتَ يَا مَعْنُ

Ayahku, Yazid mengeluarkan beberapa dinar untuk shadaqah dan menitipkannya kepada seseorang (amil) di masjid. Lalu aku datang dan mengambilnya (ketika diberi oleh amil tersebut). Aku datang kepada ayahku sambil membawa shadaqah tersebut. Lalu ayahku berkata: “Demi Allah, bukan kepada kamu yang aku inginkan.” Lalu aku mengadukannya kepada Rasulullah saw dan beliau bersabda: “Bagimu pahala yang kamu niatkan wahai Yazid, dan silahkan bagimu apa yang telah kamu ambil hai Ma’an.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab idza tashaddaqa ‘ala-bnihi wa huwa la yasy’uru no. 1422).
Maka dari anak kepada orangtua pun demikian. Jika orangtuanya bukan tanggungan nafkahnya, maka sah zakat anak disalurkan kepada orangtuanya yang faqir miskin atau terlilit utang. Akan tetapi jika menyimak pertanyaan di atas, alangkah lebih baiknya jika orangtua dijadikan tanggungan nafkah anak agar sempurna dalam birrul-walidain. Dan ketika seperti itu maka orangtua tidak boleh menjadi mustahiq zakat anaknya. Wal-‘Llahu a’lam.