Waspada Penyakit Ingin Diberi!

Penyakit “ingin diberi” dalam bahasa haditsnya isyraf nafsi. Penyakit ini beda sedikit dengan penyakit “meminta-minta”, meski kedua-duanya sama-sama sebagai penyakit hati. Menjelang berakhirnya Ramadlan, kedua penyakit ini sering mewabah di tengah-tengah masyarakat muslim. Setiap muslim wajib mewaspadainya; waspada jangan sampai terjangkiti, dan waspada dalam menangani orang-orang yang sudah terjangkitinya.
Penyakit hati sebagaimana disebutkan di atas, dahulu pernah menjangkiti shahabat Hakim ibn Hizam, bahkan sudah sedemikian parah karena ia sudah sampai berani meminta-minta. Hakim ibn Hizam sendiri menuturkannya dengan jujur sebagai berikut:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ لِي يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِطِيبِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
Dari Hakim ibn Hizam ra, ia berkata: Aku pernah meminta kepada Nabi saw dan beliau memberiku. Aku meminta lagi, beliau pun memberi lagi. Aku meminta lagi, beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda kepadaku: “Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kebersihan hati, ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri, dia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab hadzal-mal khadlirah hulwah no. 6441).
Dalam kitab az-zakat masih dari Shahih al-Bukhari, disebutkan bahwa sesudah mendengar nasihat dari Nabi saw tersebut, Hakim langsung mengerti dan ingin segera terlepas dari penyakit hati yang diingatkan oleh Nabi saw tersebut dengan menyatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا
Wahai Rasulullah, demi Yang mengutusmu dengan haq, saya tidak akan meminta lagi kepada seorang pun sesudahmu sampai aku meninggal dunia (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472).
Nabi saw dalam hadits Hakim di atas jelas menyebutkan isyraf nafsi sebagai penyakit hati. Arti asal isyraf itu adalah naik ke atas agar terlihat oleh orang lain. Dalam konteks hadits di atas adalah memperlihatkan diri ingin diberi. Imam an-Nawawi menjelaskan:
قَالَ الْعُلَمَاء: إِشْرَاف النَّفْس تَطَلُّعُهَا إِلَيْهِ وَتَعَرُّضُهَا لَهُ وَطَمَعُهَا فِيهِ
Para ulama menjelaskan: Isyraf nafsi adalah menampakkan diri, menyodorkannya, bernafsunya jiwa terhadap sesuatu (Syarah Shahih Muslim).
Nabi saw menyamakan penyakit ini dengan penyakit orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang. Mungkin yang hari ini disebut dengan penyakit maag. Meski sudah makan, ia tidak pernah merasa kenyang. Maka ia akan makan lagi dan makan lagi, tetapi tidak pernah merasa kenyang. Letak kesamaannya, meski ia memperlihatkan diri ingin diberi, dan kemudian ia diberi, tetapi itu tidak pernah akan menjadikannya merasa berkecukupan. Jadinya ia memperlihatkan diri ingin diberi lagi, dan lagi, dan lagi. Ia terus berkeluh kesah lagi, merajuk lagi, dan curhat lagi. Terus saja demikian tidak ada akhirnya. Kondisi seperti ini Nabi saw sebutkan sebagai hidup yang tidak berkah, yakni tidak pernah ada baiknya sampai akhir hayatnya. Sungguh sengsara jadinya.
Adapun obatnya, Nabi saw menegaskan dalam nasihatnya kepada Hakim di atas, harus ada niatan untuk menjadi orang yang tangannya di atas (sebagai pemberi dan penderma) dan tidak pernah ingin lagi tangan di bawah. Itulah yang juga dilakukan Hakim setelah mendengar nasihat Nabi saw tersebut. Sehingga ia kemudian tercatat sebagai seorang shahabat yang kaya. Dalam riwayat Ishaq ibn Rahawaih disebutkan, ketika meninggal dunia pada masa Mu’awiyah, Hakim ibn Hizam menjadi orang Quraisy yang paling banyak meninggalkan harta warisannya (Fathul-Bari).
Tentu tidak berarti bahwa menerima pemberian jadi haram hukumnya. Yang haram itu menerima pemberian dengan dengan isyraf nafsi, atau apalagi sampai meminta. Cara efektif agar tidak ada sama sekali perasaan isyraf nafsi dan keinginan meminta adalah dengan bertekad sepenuhnya ingin menjadi orang yang tangannya di atas. Kepada ‘Umar ibn al-Khaththab, Nabi saw pernah memberikan nasihat sebagai berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
Rasulullah saw pernah memberiku satu pemberian (hak amil zakat). Aku berkata: “Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dariku.” Jawab Nabi saw: “Terimalah. Jika datang kepadamu dari harta seperti ini meskipun sedikit, dan kamu tidak memperlihatkan diri ingin diberi atau meminta, terimalah. Apa yang tidak diberikan, maka janganlah kamu menginginkannya.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man a’thahul-‘Llah syai`an min ghairi mas`alah no. 1473).
Penyakit ingin diberi itu disebutkan al-Qur`an sebagai sifat orang-orang munafiq. Cara menghilangkannya adalah dengan ridla sepenuhnya terhadap apa yang telah Allah swt berikan. Dengan ridla seperti ini niscaya hidup akan selalu terasa cukup, dan Allah swt pun pasti akan memberinya dari arah yang ia tidak duga-duga.
وَمِنۡهُم مَّن يَلۡمِزُكَ فِي ٱلصَّدَقَٰتِ فَإِنۡ أُعۡطُواْ مِنۡهَا رَضُواْ وَإِن لَّمۡ يُعۡطَوۡاْ مِنۡهَآ إِذَا هُمۡ يَسۡخَطُونَ ٥٨ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ رَضُواْ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ سَيُؤۡتِينَا ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَرَسُولُهُۥٓ إِنَّآ إِلَى ٱللَّهِ رَٰغِبُونَ ٥٩
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh-sungguh rida dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka) (QS. at-Taubah [9] : 58-59).
Dalam ayat lain Allah swt mengingatkan bahwa kunci rizki itu adalah taqwa dan tawakkal. Logikanya, orang yang bertaqwa pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi orang yang senantiasa berinfaq, sebagaimana umumnya orang-orang yang bertaqwa. Apa yang ia tidak mampu ia serahkan kepada Allah swt dengan tawakkal. Mustahil ada orang yang berusaha sekuat tenaga lalu usahanya sia-sia. Allah swt yang Maha Pemberi rizki tidak mungkin mengabaikannya. Maka dari itu Allah swt sendiri menjanjikan akan memberinya rizki.
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِ
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya (QS. at-Thalaq [65] : 2-3).
Wal-‘Llahu A’lam.