Waktu Shubuh Kurang 8 Menit?

Website resmi Muhammadiyah pada 13 Maret 2021 silam memberitakan bahwa Muhammadiyah resmi mengoreksi waktu shalat shubuh menjadi ditambah 8 menit. Ini berdasarkan keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 pada 20 Desember 2020 silam. Menurut Muhammadiyah, koreksi waktu shubuh ini juga sudah diberlakukan di Muhammadiyah sejak tahun 2009. Hal tersebut didasarkan penemuan bahwa waktu shubuh di Indonesia terlalu gelap. Benarkah demikian? Bagaimana dengan akhir waktu sahur bagi yang shaum Ramadlan nanti?


Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 akhir Desember silam memutuskan bahwa waktu shubuh di Indonesia harus ditambah 8 menit. Koreksi waktu shalat shubuh ini didasarkan temuan dari Islamic Science Research Network (ISRN) UHAMKA, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU).
“Mengapa Majelis Tarjih mengangkat persoalan ini karena banyaknya pertanyaan, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahan dunia. Misalnya di Maroko sejumlah pemuda dengan sengaja menyantap makanan di bulan Ramadan pada saat adzan shubuh berkumandang sebagai sikap protes bahwa jadwal resmi masih terlalu pagi,” tutur Syamsul dari Majlis Tarjih dalam Pengajian PP Muhammadiyah pada Jumat (12/03).
Di Indonesia sendiri, masalah awal waktu shubuh baru bergulir saat kedatangan seorang pendakwah asal Timur Tengah. Da’i tersebut heran dengan kondisi shubuh yang masih gelap namun adzan telah berkumandang. Akhirnya masalah ini melahirkan perdebatan di kalangan para ahli dan keresahan di hati masyarakat.
Majelis Tarjih turut menyumbang gagasan ihwal parameter terbit fajar dan memutuskan bahwa dip atau ketinggian matahari berada di -18 derajat di bawah ufuk. Hal ini juga menjadi koreksi dari yang sebelumnya -20 derajat berubah jadi -18 derajat. Artinya, waktu shubuh yang selama ini dipakai terlalu pagi sekitar 8 menit.
Menanggapi putusan Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31, Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin menyatakan kementeriannya masih berpegang pada kriteria waktu shubuh pada posisi matahari -20 (minus dua puluh) derajat.
“Kementerian Agama, melalui Tim Falakiyah menyepakati, kriteria waktu shubuh di posisi matahari -20 (minus dua puluh) yang digunakan dalam pembuatan jadwal shalat Kementerian Agama, sudah benar sesuai fikih dan sains,” kata Kamaruddin di Jakarta, Senin (21/12/2020), dan disiarkan oleh situs resmi Kemenag.
Menurut Kamaruddin, Tim Falakiyah Kementerian Agama terdiri atas pakar dari berbagai lembaga, seperti Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Universitas Islam di Indonesia. Para pakar falak dari PBNU, Persis, PUI, dan Al-Irsyad, pun dilibatkan di dalamnya.
“Kriteria tersebut berdasar hasil observasi rukyat fajar yang dilakukan oleh Tim Falakiyah Kemenag di Labuan Bajo pada tahun 2018 dan hasil observasi rukyat fajar di Banyuwangi yang dilakukan oleh peneliti dari Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama,” terang Kamaruddin. “Kami sampaikan kepada masyarakat untuk tidak ragu menggunakan jadwal shalat yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI,” dia menambahkan.
Dalam blog resmi pribadinya tdjamaluddin.wordpress.com, Prof. Thomas Djamaludin menjelaskan, bahwa pada 23-25 April 2018 dilaksanakan Temu Kerja Hisab Rukyat Kementerian Agama RI di Labuan Bajo, sekaligus dimanfaatkan untuk pengamatan fajar guna menentukan waktu shubuh. Itu terkait dengan sudah adanya fatwa saat itu bahwa waktu shubuh terlalu pagi. Labuan Bajo dijadikan pilihan karena tergolong minim polusi cahaya. Cahaya lampu kota belum terlalu banyak, sehingga galaksi Bima Sakti (Milky Way) pun terlihat dengan jelas dengan mata telanjang.
Tim melakukan pengukuran dengan menggunakan SQM (Sky Quality Meter), kamera, dan secara visual sebelum fajar sampai matahari terbit. Pengukuran SQM dilakukan oleh Hendro Setyanto (astronom pengelola Imah Nong) pada 24 April 2018 dan Rukman Nugraha (astronom BMKG) pada 25 April 2018. Pemotretan dengan kamera DSLR dilakukan AR Sugeng Riyadi (astronom amatir, Kepala Observatorium Assalam) dan diolah oleh Dr. Rinto Anugraha (Dosen Fisika UGM, Pengajar Falak di UIN Semarang). Saya melakukan pengamatan visual dan mendokumenasikan dengan kamera HP. Hasilnya, munculnya fajar pada saat ketinggian matahari -20 derajat mempunyai dukungan data pengamatan, jadi jadwal shalat yang dikeluarkan Kementerian Agama tidak terlalu cepat.
Tim melakukan pemotretan pada jam 04.40 WITA (Waktu Indonesia Tengah) pada saat matahari -21º, lalu jam 04.44 WITA pada saat matahari -20º, dan berturut-turut kemudian jam 04.48 matahari -19º, jam 04.52 matahari -18º, jam 04.56 matahari -17º, sampai jam 05.00 matahari -16º. Dari bukti foto diketahui bahwa pada saat matahari -21º belum ada fajar yang terbit. Baru pada ketinggian matahari -20º terdeteksi cahaya fajar yang memanjang di ufuk timur, dan itu artinya sudah masuk waktu shubuh. Pada jam 04.52 ketika matahari -18º fajar sudah lebih terang kembali dan umurnya sudah 8 menit. Pada jam 05.00 ketika matahari -16º lingkungan sekitar sudah mulai terlihat jelas. Jadi dari data pengamatan ini sudah tepat bahwa waktu shubuh itu mengukurnya dari posisi ketinggian matahari -20º. Kalau dalam hadits disebutkan ketika selesai shalat sudah bisa melihat lingkungan sekitar, itu berarti sekitar 15 menit berikutnya sebagaimana pengamatan di Labuan Bajo di atas.
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menilai waktu shubuh terlalu pagi, sebagaimana dipaparkan di atas, itu karena mengukurnya dari lingkungan yang sudah terkena polusi cahaya sehingga tidak bisa menentukan fajar secara akurat. Padahal merujuk hadits-hadits Nabi saw tentang penentuan awal waktu shalat khususnya shubuh, harus di tempat yang rendah atau tidak ada sama sekali polusi cahaya seperti Madinah pada zaman Nabi saw. Apalagi jika rujukannya hanya pemuda-pemuda di Maroko atau beberapa pendakwah yang tidak dikenal sebagai seorang peneliti astronomi, tentu dasarnya tidak terlalu kuat. Meski demikian, apa yang diputuskan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah tersebut tetap harus diakui sebagai sebuah ijtihad yang wajib dihargai tanpa memvonis sesat. Hanya ketika ada fakta ilmiah yang lebih akurat tentu yang lebih akurat ini harus dijadikan pegangan. Apalagi dalam kaitannya dengan waktu sahur untuk shaum yang dituntut kehati-hatian dengan mengakhiri lebih awal sebelum adzan shubuh.
Hadits-hadits Nabi saw sendiri memerintahkan shalat shubuh harus dilaksanakan di awal waktu agar pahalanya lebih besar, sehingga shalat qabla shubuh pun harus dilaksanakan seringkas mungkin. Hadits Nabi saw lainnya menyebutkan bahwa shalat shubuh dimulai ketika masih gelap, masing-masing jama’ah tidak mengenal yang di sampingnya hingga selesai shalat shubuh. Hadits-hadits yang dimaksud mudah ditemukan dalam Bulughul-Maram bab mawaqitus-shalat; waktu shalat. Semua hadits tersebut menunjukkan bahwa waktu shubuh pada saat ketinggian matahari -20 derajat itu lebih akurat.

أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ

Shalat shubuhlah pada awal waktu shubuh, karena itu lebih besar bagi pahala kalian (Musnad Ahmad bab hadits Rafi’ ibn Khadij no. 15819, Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab waqtis-shubhi no. 424; Sunan at-Tirmidzi abwab as-shalat bab ma ja`a fil-isfar bil-fajr no. 154; Sunan an-Nasa`i kitab al-mawaqit bab al-isfar no. 548; Sunan Ibn Majah abwab mawaqitus-shalat bab waqti shalatil-fajri no. 672; Shahih Ibn Hibban kitab as-shalat bab mawaqitus-shalat no. 1489-1491).

فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لاَ يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

Beliau saw shalat fajar/shubuh ketika fajar mulai menyingsing dan orang-orang hampir tidak mengenali orang-orang yang bersama mereka… (Shahih Muslim kitab al-masajid bab auqatis-shalawatil-khams no. 1424-1425 dari hadits Abu Musa ra).

عن جَابِرٍ قال: …وَالصُّبْحَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ

Dari Jabir, ia berkata: “…Sementara shubuh Nabi saw mengerjakan shalatnya ketika masih gelap.” (Shahih al-Bukhari kitab mawaqitus-shalat bab waqtil-maghrib no. 560 dan bab waqtil-‘isya no. 565; Shahih Muslim kitab al-masajid bab istihbabit-tabkir bis-shubhi fi awwali waqtiha [anjuran menyegerakan shubuh di awal waktunya] no. 1492).

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ … يَنْفَتِلُ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حِينَ يَعْرِفُ الرَّجُلُ جَلِيسَهُ, وَيَقْرَأُ بِالسِّتِّينَ إِلَى الْمِائَةِ.

Dari Abu Barzah al-Aslami, ia berkata: “Rasulullah saw selesai dari shalat shubuh ketika seseorang mampu mengenali orang yang duduk di sampingnya. Beliau biasanya membaca 60 hingga 100 ayat.” (Shahih al-Bukhari kitab mawaqitus-shalat bab waqtiz-zhuhr ‘indaz-zawal no. 541; Shahih Muslim kitab al-masajid bab istihbabit-tabkir bis-shubhi fi awwali waqtiha [anjuran menyegerakan shubuh di awal waktunya] no. 1494).
Wal-‘Llahu a’lam