Hukum Menjual dengan Harga Sangat Tinggi

Bagaimana hukum menjual dengan harga yang sangat tinggi, padahal harga belinya murah? Termasuk para pedagang cabai rawit hari ini yang menjual dengan harga sangat tinggi di luar kewajaran? 0899-9003-xxxx
Prinsipnya kembali pada ‘an taradlin; saling ridla antara penjual dan pembeli (QS. an-Nisa [2] : 29). Jika memang ada saling kerelaan di antara penjual dan pembeli, maka dengan harga tinggi berapa pun yang disepakati, jual belinya sah. Penjual tentunya tidak akan mematok harga tinggi jika memang tidak akan ada yang berani membelinya. Demikian halnya pembeli tidak akan berani membeli dengan harga tinggi jika memang barang yang dijual tidak layak dihargai tinggi. Harga-harga barang yang ditransaksikan sangat tergantung pada supply and demand (ketersediaan barang dan permintaan). Jika memang barang langka sementara permintaan tinggi, otomatis harga akan melambung tinggi. Para penjual otomatis akan berani memasang harga tinggi, demikian halnya pembeli berani membeli dengan harga tinggi.
Hal yang sama berlaku dalam harga kebutuhan pokok termasuk sayuran yang seringkali melambung tinggi secara tiba-tiba dan sulit untuk turun kembali. Hal itu disebabkan ketersediaan barang sedikit sementara permintaan tinggi. Terlebih untuk barang-barang kebutuhan pokok dan sayuran sangat tergantung juga dengan modal dan hasil produksi. Misalnya, jika ada kejadian gagal panen, maka otomatis petani akan menaikkan harga sayuran untuk menutupi biaya produksi. Demikian halnya jika ternyata stok barang di pasar melimpah maka otomatis petani tidak punya daya tawar untuk menjual dengan harga tinggi. Para pedagang termasuk pembeli pasti akan mencari barang yang dijual dengan harga lebih murah, dan itu akan mudah karena stok barang melimpah.
Dalam kaitan inilah maka ketika harga-harga kebutuhan pokok di Madinah pada zaman Nabi saw melambung tinggi, dan para shahabat pada saat itu mendesak Nabi saw untuk menurunkan harga-harga, Nabi saw dengan tegas menolaknya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Dari Anas, ia berkata: Harga kebutuhan pokok pernah naik tinggi pada zaman Rasulullah saw. Maka orang-orang menuntut: “Wahai Rasulullah saw, turunkan harga untuk kami.” Rasul saw menjawab: “Sesungguhnya Allah lah Yang Mengendalikan harga, Yang Menahan, Yang Membuka, Yang Maha Pemberi rizki. Dan sungguh aku ingin agar ketika bertemu Rabbku tidak ada seorang pun di antara kalian yang menuntutku karena terzhalimi darah dan hartanya.” (Sunan at-Tirmidzi kitab al-buyu’ bab at-tas’ir no. 1314; Sunan Abi Dawud kitab al-ijarah bab fit-tas’ir no. 3453).
Apa yang Nabi sampaikan di atas memberitahukan kepada masyarakat bahwa urusan harga itu berjalan secara alami, dan itu berada di bawah taqdir Allah swt. Jika permintaan banyak sementara barang sedikit otomatis harga akan naik. Kalau kemudian Nabi saw menurunkan harga secara paksa, tentu akan ada pihak-pihak yang terzhalimi. Dan ini yang tidak diharapkan Nabi saw karena kelak di hari kiamat beliau akan dituntut oleh pihak yang terzhalimi atas keputusan zhalimnya.
Tetapi ini tidak berarti bahwa Pemerintah tidak boleh intervensi pasar sama sekali. Jika naiknya harga-harga kebutuhan pokok tersebut karena kezhaliman para spekulan atau penimbun barang, maka Pemerintah harus turun tangan mengatasi masalah ini dan para spekulan tersebut harus dihukum. Pemerintah bisa melakukan operasi pasar demi menjamin rasa aman masyarakat bahwa stok barang kebutuhan pokok aman sehingga tidak perlu panik. Nabi saw dalam hal ini menyatakan dengan tegas:
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
Tidak ada yang menimbun melainkan ia berdosa (Shahih Muslim kitab al-musaqah bab tahrimul-ihtikar fil-aqwat no. 3013).