Hari raya qurban semakin dekat. Bagi orang-orang yang bertaqwa, semakin dekatnya waktu qurban akan semakin menggiatkan mereka bersiap-siap menjalankan syari’at qurban. Meski dari tahun ke tahun harga hewan qurban semakin mahal dan mahal. Ini malah menjadi semacam tantangan sendiri bagi mereka apakah mereka mampu membuktikan ketaqwaannya atau tidak.
Ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan syari’at qurban selalu mengaitkannya dengan ketaqwaan, bukan kemampuan, meskipun bertaqwa harus sesuai dengan kemampuan. Ini sebagai sebuah ajaran bahwa mampu dan tidaknya seseorang berqurban tergantung sejauh mana kadar taqwanya. Banyak orang yang menurut kebanyakan orang tidak mampu, tetapi nyatanya mampu berqurban dengan ikhlas. Sebaliknya banyak juga orang yang disebut mampu; rumah punya, mobil punya, sepeda motor punya, pakaian selalu berganti-ganti dengan yang baru, tetapi nyatanya tidak mampu berqurban, dan itu pertanda lemahnya kadar taqwa dalam hatinya. Ayat-ayat berikut jelas mengajarkannya:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Ma`idah [5] : 27).
وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
Dan siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah (hewan qurban), maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al-Hajj [22] : 32)
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS. Al-Hajj [22] : 37).
Bahkan meski setiap tahunnya harga hewan qurban terus melambung tinggi, ini justru menjadi tantangan tersendiri untuk membuktikan ketaqwaan. Allah swt sendiri sudah menyebutkan dalam al-Qur`an bahwa orang yang bertaqwa itu meski dalam keadaan sulit sekalipun selalu bisa saja menyisihkan hartanya untuk ibadah.
وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ
(Surga seluas langit dan bumi itu) disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit (QS. Ali ‘Imran [3] : 133-134).
Harga hewan qurban yang semakin mahal juga tidak jadi kendala karena memang orang yang bertaqwa itu selalu berusaha “mengagungkan” hewan qurban di setiap tahunnya, sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam QS. Al-Hajj [22] : 32 di atas. Salah satu bentuk “mengagungkan” yang disinggung ayat itu sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ra dalam Tafsir Ibn Katsir adalah selalu menggemukkan hewan qurban menjelang ‘Idul Adlha atau sengaja memilih hewan yang paling besar untuk diqurbankan. Dalam konteks hari ini berarti selalu berusaha agar bisa berqurban dengan yang mahal.
Nabi saw sendiri memberikan teladan demikian.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ انْكَفَأَ إِلَى كَبْشَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
Dari Anas: “Sesungguhnya Rasulullah saw memilih dua kambing besar yang bertanduk dan hitam putih bulunya, lalu beliau sembelih dengan tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5554)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ النَّبِيّ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّي اِشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ مَوْجُوءَيْنِ
Dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi saw apabila akan berqurban beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, hitam putih bulunya, dan yang dikebiri” (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw mengutip riwayat ‘Abdur-Razzaq).
Teladan Nabi saw tersebut kemudian diikuti oleh para shahabat, di antaranya Anas ibn Malik ra yang meriwayatkan hadits di atas.
قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ كُنَّا نُسَمِّنُ الْأُضْحِيَّةَ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ يُسَمِّنُونَ
Abu Umamah ibn Sahl berkata: “Kami biasa menggemukkan hewan qurban di Madinah. Demikian juga kaum muslimin lainnya.” (Atsar di atas dituliskan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya kitab al-adlahi bab udlhiyyatin-Nabi saw secara mu’allaq/tanpa menulis sanad lengkapnya).
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ
Anas ibn Malik ra berkata: “Nabi saw berqurban dengan dua kambing besar, dan saya pun berqurban dengan dua kambing besar.” (Shahih al-Bukhari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw no. 5553).
Terkait hadits ini al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
فِي هَذِهِ زِيَادَة قَوْل أَنَس أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ لِلِاتِّبَاعِ، وَفِيهَا أَيْضًا إِشْعَار بِالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ
Dalam riwayat ini ada tambahan pernyataan Anas bahwasanya ia berqurban dengan dua kambing besar sebagai bentuk ittiba’ (mengikuti Nabi saw). Dalam riwayat ini juga terdapat isyarat bahwa beliau merutinkan hal tersebut (Fathul-Bari bab fi udlhiyyatin-Nabi saw).
Maksud mudawamah (merutinkan) tersebut tentu bukan berarti haram/makruh melebihkan dari itu atau mengurangi dari itu, sebab ternyata Nabi saw pernah berqurban dengan seekor sapi untuk beliau dan keluarganya, juga pernah dengan seekor kambing. Hadits-haditsnya sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw pernah berqurban dengan 1 ekor sapi untuk istri-istrinya.” (Shahih al-Bukhari kitab al-adlahi bab al-udlhiyyah lil-musafir wan-nisa` no. 5548)
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ لِيُضَحِّىَ بِهِ
Dari ‘Aisyah ra: Rasulullah saw memerintah untuk dibawakan kambing besar bertanduk, yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Lalu dibawakan kepada beliau untuk diqurbankan (Shahih Muslim kitab al-adlahi bab istihbabid-dlahiyyah no. 5203).
Meski Nabi saw berqurban dengan seekor kambing pun beliau tetap memilih kambing yang paling gemuk atau yang paling mahal. Akan tetapi yang dirutinkannya, selalu berusaha untuk berqurban dengan dua kambing sekaligus, yang gemuk-gemuk. Ini merupakan teladan yang jelas dan merupakan sebuah syari’at bahwa ‘Idul-Adlha harus selalu diagungkan dengan cara memaksimalkan kemampuan dalam berqurban.
Dalil-dalil ini tidak perlu dipertentangkan dengan perintah bertaqwa sesuai kadar kemampuan, karena dalam ayat yang dimaksud perintahnya dilanjutkan dengan ‘tunduk, patuh, dan infaq yang terbaik’. Artinya bertaqwa semampunya itu harus dengan berusaha untuk ‘tunduk, patuh, dan infaq yang terbaik’. Sesudah diupayakan ‘tunduk, patuh, dan infaq yang terbaik’ ternyata masih tidak mampu, maka ketidakmampuannya baru bisa dimengerti.
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ وَأَطِيعُواْ وَأَنفِقُواْ خَيۡرٗا لِّأَنفُسِكُمۡۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٦
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. at-Taghabun [64] : 16).
Maka dari itu, layak dipertanyakan komitmen taqwa orang-orang yang dalam kesehariannya berpenampilan orang kaya tetapi tidak mau berqurban hanya karena alasan mahal. Padahal baju yang dipakainya selalu ingin yang mahal, makan dan minumnya selalu ingin yang mahal, makannya harus selalu sambil wisata kuliner, minum kopinya sudah tidak mau lagi “yang disobek”, kendaraannya juga selalu ingin yang mahal, bahkan yang lebih parah merokoknya pun selalu ingin yang mahal. Tetapi giliran qurban yang seharusnya juga selalu ingin yang mahal, malah berdalih tidak mampu. Berqurban memang harus dengan yang termahal! Wal-‘Llahul-Musta’an