Su`uz-zhan Para Shahabat

Ada satu ‘sunnah’ di kalangan para shahabat yang tampaknya jelek tetapi sebenarnya bagus, yakni su`uz-zhan (berburuk sangka) kepada orang-orang (kaum lelaki) yang tidak hadir shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah di masjid. Meski tampaknya su`uz-zhan itu jelek, tetapi sebenarnya bagus untuk membedakan mana yang masuk golongan shahabat dan mana yang sebenarnya masuk golongan munafiq. Sebab memang Nabi saw sendiri yang menyatakan salah satu pembeda orang munafiq dan mukmin sejati itu adalah hadir atau tidak shalat berjama’ah shubuh dan ‘isya di masjid. Mungkinkah sunnah su`uz-zhan ini ditradisikan saat ini?
Riwayat tentang tradisi su`uz-zhan para shahabat terhadap orang yang absen dari shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah ditulis oleh Imam Ibn Khuzaimah (311 H), Ibn Hibban (w. 354 H), at-Thabrani (w. 360 H), dan al-Hakim (405 H) dalam kitab-kitab hadits mereka, dan dinilai shahih oleh para ulama hadits kontemporer seperti Syaikh al-Albani (w. 1420 H/1999 M), Syu’aib al-Arna`uth (w. 1437 H/2016 M), dan al-A’zhami (w. 1438 H/2017 M). Riwayat tersebut bersumber dari shahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (10 SH-73 H/613-692 M) sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الرَّجُلَ فِي الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ أَسَأْنَا بِهِ الظَّنَّ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar ra, ia berkata: “Kami (para shahabat) apabila tidak menemukan seorang lelaki dalam shalat shubuh dan ‘isya, maka kami su`uz-zhan kepadanya.” (Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikr atsqalis-shalat ‘alal-munafiqin no. 1458, Shahih Ibn Hibban dzikr ma kana yutakhawwafu ‘ala man takhallafa ‘anil-jama’ah no. 2099, al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani bab riwayat Sa’id ibn al-Musayyib min Ibn ‘Umar no. 13085, al-Mustadrak al-Hakim wa min kitab al-imamah wa shalatil-jama’ah no. 764. Penilaian shahih dari para ulama hadits kontemporer ada dalam ta’liq kitab-kitab hadits tersebut).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab ma yakunu minaz-zhan menjelaskan:
وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يَغِيب إِلَّا لِأَمْرٍ سَيِّئ إِمَّا فِي بَدَنه وَإِمَّا فِي دِينه
Maksudnya, tidak mungkin orang itu tidak hadir (shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah) melainkan karena sesuatu yang jelek, baik yang menimpa badannya ataupun agamanya.
Su`uz-zhan terkait badannya artinya sakit atau sedang terluka. Su`uz-zhan yang ini bagus untuk semakin memperat tali ukhuwwah di kalangan shahabat. Jadinya bisa saling mengabsen jika ada seorang shahabat tidak hadir dalam shalat shubuh atau ‘isya berjama’ah karena diduga kuat sedang sakit atau terluka. Mereka yang sangat menjunjung tinggi sunnah tersebut pasti akan menjenguk shahabat yang diduga kuat sakit atau sedang terluka tersebut. Jadinya budaya saling memperhatikan sesama ikhwah benar-benar terbangun di kalangan shahabat. Tetapi tentunya ini berlaku bagi shahabat yang memang tidak ada cacat dalam agamanya, yakni mereka yang absen dari shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah hanya sesekali saja, tidak berulang kali. Sebab sebagaimana disinggung al-Hafizh Ibn Hajar di atas, su`uz-zhan para shahabat di atas bisa berlaku juga dalam hal keberagamaan seseorang. Maksudnya jadi diragukan keshahabatannya karena ternyata memiliki akhlaq munafiq atau mungkin juga sudah menjadi orang munafiq yang sebenarnya. Ini tentunya berlaku bagi mereka yang bukan sesekali absen dari shalat shubuh dan ‘isya berjama’ah, melainkan berulang kali. Su`uz-zhan para shahabat ini didasarkan pada ajaran Nabi saw sendiri:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Sungguh shalat yang paling berat bagi orang munafiq adalah shalat ‘isya dan shubuh. Andai saja mereka tahu pahala yang ada pada keduanya pasti mereka datang (ke masjid) walau harus merangkak (Shahih Muslim kitab al-masajid bab fadlli shalatil-jama’ah no. 1514; Shahih al-Bukhari bab fadllil-‘isya fil-jama’ah no. 657).
Nabi saw membatasi shalat yang berat bagi orang munafiq pada shalat ‘isya dan shubuh disebabkan al-Qur`an sendiri menjelaskan bahwa orang munafiq itu shalatnya malas dan lalai karena riya, yakni formalitas saja ketika terlihat oleh orang lain. Jika tidak terlihat orang lain, mereka tidak hadir shalat. Di zaman Nabi saw dimana belum ada listrik dan situasi malam pasti gelap, orang-orang munafiq umumnya tidak hadir shalat ‘isya dan shubuh karena situasinya masih gelap, tidak akan diketahui oleh orang lain bahwa mereka tidak hadir. Meski sebenarnya asumsi mereka itu salah, karena faktanya para shahabat, sebagaimana dinyatakan Ibn ‘Umar di atas, mengetahui siapa-siapa saja orang yang tidak hadir shalat ‘isya dan shubuh berjama’ah. Meski situasinya gelap tidak berarti tidak ada penerangan sama sekali. Di sini terlihat jelas kebodohan orang-orang muanfiq tersebut. Dalam hatinya bermaksud bersiasat hendak menipu Allah swt dan orang-orang beriman, tetapi sebenarnya justru mereka sendiri yang tertipu. Disangkanya Nabi saw dan para shahabat tidak akan tahu, padahal mereka sendiri yang sebenarnya tidak tahu bahwa Nabi saw dan para shahabat mengetahuinya.
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢
Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah, tetapi justru Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali (QS. an-Nisa` [4] : 142. Ayat semakna disinggung juga dalam QS. at-Taubah [9] : 54 dan al-Ma’un [107] : 4-6).
Penjelasan al-Hafizh di atas terkait su`uz-zhan shahabat tersebut dikuatkan oleh atsar dari ‘Abdullah ibn Mas’ud ra sebagai berikut:
قال ابن مسعود: لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
Ibn Mas’ud berkata: “Sungguh aku telah menyaksikan di antara kami (shahabat) tidak ada yang meninggalkan shalat (berjama’ah) kecuali seorang munafiq yang benar-benar telah diketahui kemunafiqannya atau seseorang yang sakit. Tapi ada juga seseorang yang sakit berjalan di antara dua lelaki (dituntun—pen) sampai mendatangi shalat.” Dan ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kami jalan-jalan hidayah, dan di antara jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ketika diadzankan padanya.” (Shahih Muslim kitab al-masajid wa mawadli’ as-shalat bab shalatul-jama’ah min sunanil-huda no. 1045)
Pernyataan Ibn Mas’ud ra ini menegaskan bahwa para shahabat memang su`uz-zhan-nya antara dua terhadap mereka yang absen shalat berjama’ah; sakit atau munafiq. Hanya Ibn Mas’ud ra di sini memberikan catatan bahwa orang yang sedang sakit pun umumnya tetap datang meski harus dituntun oleh dua orang shahabat lainnya. Sehingga ia sendiri tidak ragu menyebutkan orang yang terbiasa tidak hadir shalat berjama’ah dengan menegaskan: “Munafiq yang benar-benar telah diketahui kemunafiqannya.” Ibn Mas’ud ra di sini juga bahkan tidak membedakan di antara shalat yang lima, dengan tidak mengkhususkan pada shalat ‘isya dan shubuh saja, melainkan memberlakukannya pada semua shalat berjama’ah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Abud-Darda` ra ketika ia pulang ke rumahnya dalam keadaan marah karena su`uz-zhan kepada orang-orang yang banyak tidak hadir shalat berjama’ah di masa akhir hidupnya. Sebagaimana diceritakan oleh istrinya, Ummud-Darda`:
قالت أُمَّ الدَّرْدَاءِ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَهُوَ مُغْضَبٌ فَقُلْتُ مَا أَغْضَبَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا أَعْرِفُ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا
Ummud-Darda` ra pernah bercerita: Pada suatu hari Abud-Darda` pernah pulang dalam keadaan sangat marah. Aku pun bertanya: “Apa yang membuatmu terlihat marah?” Ia pun menjawab: “Demi Allah, aku tidak pernah tahu dari umat Muhammad sesuatu pun melainkan mereka selalu shalat berjama’ah.” (Shahih al-Bukhari bab fadlli shalatil-fajri fi jama’ah no. 650)
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, kemungkinan besar kemarahan Abud-Darda` itu terjadi di masa kekhilafahan ‘Utsman ibn ‘Affan, sebab di zaman Nabi saw dan syaikhain (Abu Bakar dan ‘Umar), umat Islam secara umum masih bagus dalam mengamalkan syari’at agamanya. Mulai di masa ‘Utsman ada beberapa kaum muslimin yang sering absen shalat berjama’ah. Itulah yang menyebabkan Abud-Darda` marah. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa shalat berjama’ah itu syi’ar utama dari syari’at Islam untuk umatnya. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa Abud-Darda` su`uz-zhan dan bahkan sampai marah. Menurut al-Hafizh ini jadi dalil yang jelas bahwa marah ketika melihat zaman yang berubah menjadi jelek dibenarkan oleh syari’at. al-Hafizh bahkan memberikan catatan tambahan, jika di zaman shahabat saja sudah seperti itu kebobrokan umat dalam mengabaikan shalat berjama’ah, maka apatah lagi pada zamannya saat itu (abad 8 H). Demikian halnya apatah lagi jika dibandingkan dengan umat di abad 15 H saat ini!?
Riwayat-riwayat tentang su`uz-zhan para shahabat di atas dijadikan dalil oleh al-Hafizh Ibn Hajar bahwa tidak semua su`uz-zhan haram. Ada pengecualian kebolehan su`uz-zhan terhadap orang-orang yang memang terbiasa berakhlaq buruk, di antaranya orang-orang yang terbiasa tidak hadir shalat shubuh atau ‘isya berjama’ah. Su`uz-zhan terhadap mereka tidak berdosa. Jika memang berdosa, Nabi saw yang mengetahui tradisi tersebut pasti akan menyalahkannya. Seandainya Nabi saw tidak mengetahui tradisi ini pun, tetap tidak salah karena memang Nabi saw sendiri yang memberi jalan untuk su`uz-zhan terhadap orang-orang yang tidak hadir shalat ‘isya dan shubuh berjama’ah melalui sabdanya di atas. Demikian halnya para shahabat mulia tentu tidak akan abai dari amar ma’ruf nahyi munkar seandainya tradisi su`uz-zhan ini salah. Mereka pasti akan saling menegur di antara sesama mereka untuk tidak su`uz-zhan sebagaimana yang mereka lakukan ketika shahabat Ka’ab ibn Malik disangka buruk oleh sebagian shahabat karena tidak ikut perang Tabuk:
فقالَ وَهُوَ جَالِسٌ في القوْمِ بتَبُوك: ما فَعَلَ كعْبُ بْنُ مَالكٍ؟ فقالَ رَجُلٌ مِن بَنِي سلمِة: يا رَسُولَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ، وَالنَّظرُ في عِطْفيْه. فَقال لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئس مَا قُلْتَ، وَاللَّهِ يا رَسُولَ اللهِ مَا عَلِمْنَا علَيْهِ إِلاَّ خَيْراً، فَسكَت رَسُولُ اللهِ ﷺ
Beliau (Nabi saw) bertanya ketika duduk di tengah-tengah rombongan di Tabuk: “Apa yang sedang dilakukan Ka’ab ibn Malik?” Seseorang dari Bani Salamah menjawab: “Wahai Rasulullah, ia tertahan oleh dua selendangnya dan melihat-melihat kedua sisinya (kiasan dari kesombongan—pen).” Mu’adz ibn Jabal lalu berkata kepadanya: “Jelek sekali yang kamu katakan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak tahu tentang dirinya melainkan kebaikan.” (Shahih al-Bukhari bab hadits Ka’ab ibn Malik no. 4418).
Yang membedakannya tentu karena Ka’ab hanya baru kali itu saja tidak ikut perang bersama Rasulullah saw padahal hukumnya fardlu ‘ain, sementara su`uz-zhan dari para shahabat di atas ditujukan kepada orang-orang yang memang terbiasa atau berulang kali tidak hadir shalat berjama’ah shubuh dan ‘isya.
Imam al-Bukhari juga memberikan isyarat akan bolehnya su`uz-zhan kepada orang-orang yang dikenal berakhlaq buruk dalam kitab Shahihnya dengan dalil hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِينَ
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Nabi saw pernah bersabda: “Aku tidak mengira si fulan dan si fulan mengerti sedikit pun dari agama kita.” Al-Laits (salah seorang perawi hadits ini) berkata: “Dua orang yang dimaksud adalah orang munafiq.” (Shahih al-Bukhari bab ma yakunu minaz-zhan no. 6067).
Penjelasan dari al-Laits ini tentunya untuk menepis anggapan bahwa Nabi saw su`uz-zhan terhadap umatnya sendiri. Yang benar tentu Nabi saw su`uz-zhan kepada orang yang memang sudah dikenal kemunafiqannya. Su`uz-zhan kepada orang yang seperti ini dibenarkan.
Sementara jika seseorang belum dikenal melakukan perbuatan jelek berulang kali, masih baru sesekali saja, maka berlaku hukum zhann secara umum, yakni boleh seseorang ber-su`uz-zhan terhadapnya tetapi jangan diyakini benar dahulu atau dijadikan bahan ghibah di antara sesama kaum muslimin. Jika demikian adanya, inilah yang diharamkan Allah swt dalam QS. al-Hujurat [49] : 12. Yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim adalah tabayyun lalu berusaha ishlah dan kembali menjalin ukhuwwah (QS. al-Hujurat [49] : 6-10).
Hal ini juga seyogianya dijadikan bahan muhasabah oleh siapa pun yang merasa diprasangka buruk oleh kaum muslimin. Meski diri berhak untuk membela dari perbuatan zhalim orang lain, alangkah baiknya jika diawali terlebih dahulu oleh introspeksi, bisa jadi itu disebabkan memang diri sendiri yang berulang kali berbuat jelek dan kesalahan sehingga wajar saja jika umat su`uz-zhan terhadapnya. Sesudah itu segera bertaubat dan memperbaiki diri, niscaya su`uz-zhan dari umat akan hilang dengan sendirinya.
Wal-‘Llahu a’lam.