Ibadah

Hukum Shalat Tahajjud Berjama’ah

Ada yang mempermasalahkan shalat Tahajjud berjama’ah karena berkeyakinan hukumnya bid’ah. Mohon penjelasan dalilnya apakah shalat Tahajjud itu boleh dilaksanakan secara berjama’ah? 08526043xxxx

Imam al-Bukhari menulis satu bab khusus: shalatin-nawafil jama’ah (bolehnya shalat sunat berjama’ah). Haditsnya ada tiga: (1) Hadits Anas. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar yang dimaksud adalah ketika Nabi saw shalat sunat berjama’ah di rumah Ummu Sulaim, ibunya Anas, bersama Anas, anak yatim lain, dan Ummu Sulaim. (2) Hadits ‘Aisyah. Menurut al-Hafizh, yakni shalat malam Rasulullah saw pada bulan Ramadlan secara berjama’ah di masjid. (3) Hadits ‘Itban dimana Nabi saw shalat di waktu dluha di rumah ‘Itban lalu diikuti berjama’ah oleh Abu Bakar, ‘Itban, dan keluarganya. Ini semua adalah dalil bahwa shalat sunat, khususnya shalat dluha (merujuk hadits Anas dan ‘Itban) dan shalat malam (merujuk hadits ‘Aisyah), hukumnya boleh/mubah dikerjakan secara berjama’ah.

Hadits lainnya yang lebih spesifik menyebut Tahajjud berjama’ah adalah: (1) Hadits Ibn Mas’ud dimana ia merasa kapok berjama’ah Tahajjud dengan Rasulullah saw karena ternyata beliau shalatnya lama sekali, sampai-sampai Ibn Mas’ud ingin kabur seandainya tidak malu oleh beliau (Shahih al-Bukhari bab thulil-qiyam fi shalatil-lail no. 1135). (2) Hadits Hudzaifah dimana ia ikut berjama’ah shalat malam kepada Nabi saw dan beliau membaca surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa` (Shahih Muslim bab istihbab tathwilil-qira`ah fi shalatil-lail no. 1850). (3) Hadits Ibn ‘Abbas dimana ia ikut berjama’ah shalat malam kepada Nabi saw ketika bermalam di rumah Maimunah, istri Nabi saw yang juga bibi Ibn ‘Abbas (Shahih al-Bukhari bab idza lam yanwil-imam an ya`umma no. 699). (4) Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id yang menganjurkan seorang suami berjama’ah shalat malam bersama istrinya agar dicatat sebagai ahli dzikir (Sunan Abi Dawud bab al-hatsts ‘ala qiyamil-lail no. 1453).

Untuk hadits ‘Aisyah itu sendiri bisa ditambahkan sedikit catatan bahwa yang dilaksanakan oleh Nabi saw pada malam Ramadlan itu adalah shalat Tahajjud biasa, bukan shalat Tarawih, sebab Nabi saw mengerjakannya tengah malam sampai akhir malam. Nabi saw juga shalat sendiri tanpa mengajak shahabat untuk ikut berjama’ah, sebagaimana biasanya beliau shalat malam. Hanya memang ketika para shahabat ikut berjama’ah, Nabi saw tidak melarang mereka, seperti halnya hadits Ibn Mas’ud, Hudzaifah, dan Ibn ‘Abbas di atas. Ini berbeda dengan Tarawih yang mulai diadakan di zaman ‘Umar dimana pelaksanaannya selalu di awal malam, masyarakat diajak untuk ikut berjama’ah, dan dirutinkan setiap malam sepanjang bulan Ramadlan.

Maka dari itu ‘Aisyah ra dalam hadits yang populer menyatakan: “Nabi saw tidak pernah menambah raka’at shalat malam lebih dari 11 raka’at, baik di bulan Ramadlan atau di luar Ramadlan.” Pernyataan ‘Aisyah ra “baik di bulan Ramadlan atau luar Ramadlan” menunjukkan status shalat malamnya sama, yakni Tahajjud, sebagaimana malam-malam di luar Ramadlan. Jika faktanya Nabi saw tidak melarang berjama’ah, maka hukumnya berarti boleh shalat Tahajjud berjama’ah.

Itulah sebabnya ‘Umar sendiri menyebut Tarawih yang digagas olehnya itu sebagai “bid’ah yang baik” karena memang di zaman Nabi saw tidak pernah dirutinkan setiap malam, tidak pernah masyarakat dianjurkan untuk ikut berjama’ah, dan tidak pernah dirutinkan juga dari awal malam. Akan tetapi jumhur ‘ulama sepakat ini boleh diamalkan, karena pada dasarnya ada contoh dari Nabi saw yang pernah mengamalkan shalat malam (baca: bukan tarawih) secara berjama’ah. Di samping itu, shalat malam bulan Ramadlan jadi bisa dilaksanakan oleh kaum muslimin dengan lebih bersemangat, dibanding jika shalat malam itu dilaksanakan seperti biasa di akhir malam dan tidak dengan berjama’ah (Fathul-Bari kitab shalatit-tarawih).

Maka dari itu, pihak yang mempersoalkan shalat Tahajjud berjama’ah sudah semestinya mempersoalkan juga shalat Tarawih berjama’ah. Jika shalat Tahajjud berjama’ah dipersoalkan padahal tidak dirutinkan setiap malam, sementara Tarawih berjama’ah yang setiap malam sebulan penuh tidak dipersoalkan, ini adalah sebentuk inkonsistensi berpikir, ketidakajegan dalam metodologi, atau kekeliruan faham dalam ushul fiqih. Jika alasan kemasalahatan agar kaum muslimin melaksanakan shalat malam Ramadlan setiap malam dalam format Tarawih diterima padahal jelas tidak diamalkan di zaman Nabi saw, sementara alasan agar anak-anak muda dilatih shalat malam dengan bacaan yang panjang sebagaimana sunnah Nabi saw tidak diterima, ini jelas merupakan sebentuk kekeliruan pemahaman.

Sesuatu yang boleh/mubah/halal, tetapkanlah sebagai boleh, jangan kemudian diharamkan dengan dalih bid’ah, sebab bisa termasuk mengharamkan yang halal yang diancam oleh Allah swt dalam QS. al-Ma`idah [5] : 87 dan at-Tahrim [66] : 1. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button