Shaum Qadla Ramadlan sebelum Shaum Sunat?
Sering saya membaca pernyataan di media sosial bahwa shaum qadla Ramadlan harus didahulukan sebelum shaum sunat. Apakah memang disyari’atkan demikian? 089534137xxxx
Imam al-Bukhari menulis satu tarjamah khusus terkait tema di atas: Bab mata yuqdla qadla Ramadlan; kapan qadla Ramadlan dilaksanakan? Model tarjamah dengan pertanyaan seperti itu, menurut Ibn Hajar, menunjukkan bahwa Imam al-Bukhari tidak bisa memastikan mengingat ada ikhtilaf di kalangan para ulama.
Dalam bab tersebut Imam al-Bukhari mencantumkan beberapa atsar dan satu hadits. Yang terkait dengan pertanyaan anda adalah atsar Sa’id ibn al-Musayyab (tabi’in senior) terkait shaum al-‘asyr (9 hari pertama Dzulhijjah) dimana Sa’id memfatwakan: “La yashluhu hatta yabda`a bi Ramadlan; tidak pantas diamalkan (shaum 9 hari pertama Dzulhijjah) sehingga ia mendahulukan qadla Ramadlan.” Dalam sanad Ibn Abi Syaibah, sebagaimana dijelaskan Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, Sa’id ibn al-Musayyab mengatakan: “La ba`sa an yaqdliya Ramadlan fil-‘asyr; tidak apa-apa ia melaksanakan qadla Ramadlan pada 9 hari pertama Dzulhijjah.” Artinya Sa’id berpendapat bahwa qadla Ramadlan harus didahulukan sebelum shaum 9 hari pertama Dzulhijjah. Bahkan jika tidak sempat sebelumnya, maka pada 9 hari pertama Dzulhijjah tersebut ia amalkan qadla Ramadlan.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, di kalangan shahabat yang memfatwakan harus qadla Ramadlan dahulu adalah ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Ali dan ‘Umar. Hanya ‘Umar sebatas menganjurkan ‘sebaiknya’ (istihbab). Sementara dari tabi’in, selain Sa’id ibn al-Musayyab adalah az-Zuhri dan al-Hasan al-Bashri. Di antara atsar yang dikutip al-Hafizh Ibn Hajar adalah pernyataan Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ إِنَّ عَلَيَّ أَيَّامًا مِنْ رَمَضَان أَفَأَصُوم الْعَشْرَ تَطَوُّعًا؟ قَالَ: لَا اِبْدَأْ بِحَقِّ اللَّه ثُمَّ تَطَوَّعْ مَا شِئْت
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya seorang lelaki bertanya kepadanya: “Sungguh saya masih punya utang beberapa hari shaum Ramadlan. Bolehkah saya shaum sunat 9 hari pertama Dzulhijjah?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak boleh, dahulukan haq Allah, kemudian shaum sunatlah semaumu.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq)
Pernyataan Abu Hurairah di atas sama dengan sabda Nabi saw terkait melunasi utang shaum yang meninggal atau menghajikannya: “Fa dainul-‘Llah ahaqqu an yuqdla; utang Allah lebih berhak untuk dilunasi (Shahih al-Bukhari bab man mata wa ‘alaihi shiyam no. 1953). Menurut Ibn Hajar, dari hadits ini ada ulama yang berpendapat bahwa melunasi utang kepada Allah swt harus didahulukan. Meski ada juga yang berpendapat sebaliknya, yakni harus mendahulukan utang kepada manusia. Ada juga yang menganggap sama kedua-duanya atau setara.
Sementara hadits (marfu’ hukman) yang dituliskan Imam al-Bukhari adalah hadits ‘Aisyah:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ. قَالَ يَحْيَى: الشُّغُلُ مِنَ النَّبِيِّ
‘Aisyah berkata: “Kewajiban shaum Ramadlan yang harus aku ganti tidak pernah mampu aku ganti (qadla) kecuali pada bulan Sya’ban.” Yahya (rawi) berkata: “(Mungkin) disebabkan sibuk melayani Nabi saw.”
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, hadits ini jelas menunjukkan bahwa qadla shaum Ramadlan boleh diakhirkan sampai Sya’ban sekalipun. Baik itu karena ada udzur atau tidak, sebab yang menyatakan ‘sibuk dari Rasulullah saw’ itu hanya rawi berdasarkan asumsinya. Sementara yang menyatakan bahwa ‘Aisyah mengakhirkan qadla Ramadlan karena ‘Aisyah tidak pernah shaum sunat apapun, menurut Ibn Hajar, kesimpulan seperti itu terlalu menduga-duga, tidak ada dasar kuatnya.
Jadi jelasnya tidak ada ketentuan syari’at yang wajib bahwa shaum qadla Ramadlan harus didahulukan daripada shaum sunat. Hanya dengan mempertimbangkan atsar-atsar shahabat dan tabi’in di atas memang sebaiknya shaum qadla Ramadlan didahulukan sebelum shaum sunat. Wal-‘Llahu a’lam.