Shaum Dawud Bukan Shaum Paling Maksimal
Saya pernah mendengar seseorang yang menyatakan bahwa shaum Dawud itu shaum yang paling maksimal. Tidak boleh ada shaum lain melebihi shaum Dawud. Benarkah demikian? 08968863xxxx
Shaum Dawud paling maksimal itu ditujukan oleh Nabi saw khusus kepada ‘Abdullah ibn ‘Amr sebagai anak muda yang baru menikah; masih harus memenuhi kebutuhan istri dan keluarganya. Tidak berlaku umum untuk semua umatnya. Jika demikian adanya berarti orang yang mengamalkan shaum Dawud akan meninggalkan sunnah shaum Senin Kamis, shaum tengah bulan, shaum ‘Asyura, shaum Syawwal, shaum Sya’ban, shaum Muharram, dan shaum sunnah lainnya. Semua sunnah shaum itu tetap sebagai sunnah yang sangat baik untuk diamalkan. Bukan sunnah yang satu sama lainnya menjadi pilihan mati; harus dipilih salah satunya dengan mengorbankan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, bisa diperhatikan hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِىَّ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ أَفَأَصُومُ فِى السَّفَرِ قَالَ صُمْ إِنْ شِئْتَ وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ.
Dari ‘Aisyah, bahwasanya Hamzah ibn ‘Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, saya biasa shaum setiap hari. Apakah saya boleh shaum ketika safar?” Beliau menjawab: “Shaumlah jika mau. Bukalah jika mau.” (Shahih Muslim bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr no. 2682)
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:
وَفِيهِ دَلَالَة لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ وَمُوَافِقِيهِ أَنَّ صَوْم الدَّهْر وَسَرْدَهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ لِمَنْ لَا يَخَاف مِنْهُ ضَرَرًا، وَلَا يُفَوِّتُ بِهِ حَقًّا بِشَرْطِ فِطْر يَوْمَيْ الْعِيدَيْنِ وَالتَّشْرِيق؛ لِأَنَّهُ أَخْبَرَ بِسَرْدِهِ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ بَلْ أَقَرَّهُ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لَهُ فِيهِ فِي السَّفَر فَفِي الْحَضَر أَوْلَى
Ini jadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sependapat bahwasanya shaum sepanjang tahun dan merutinkannya setiap hari tidak makruh bagi yang tidak dikhawatirkan akan madlarat dan tidak menelantarkan hak. Syaratnya tentu berbuka pada dua hari raya dan tasyriq. Karena shahabat ini memberitahukan bahwa ia biasa shaum setiap hari tetapi Nabi saw tidak mengingkari, bahkan membenarkannya dan mengizinkannya shaum ketika safar. Maka ketika tidak safar lebih utama lagi. (Syarah an-Nawawi bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr).
Al-Hafizh Ibn Hajar juga memberikan penjelasan terkait hadits “tidak ada shaum bagi yang shaum selamanya” bahwa menurutnya itu berlaku bagi yang shaum selamanya tanpa berbuka di hari yang haram shaum sekalipun. Sementara bagi yang tetap tidak shaum di hari yang haram shaum dan ia kuat juga tidak menelantarkan hak, maka memperbanyak shaum itu yang terbaik. Al-Hafizh menyimpulkan:
وَإِلَى ذَلِكَ أَشَارَ اِبْن خُزَيْمَة فَتَرْجَمَ “الدَّلِيل عَلَى أَنَّ صِيَام دَاوُد إِنَّمَا كَانَ أَعْدَلَ الصِّيَام وَأَحَبَّهُ إِلَى اللَّه لِأَنَّ فَاعِله يُؤَدِّي حَقّ نَفْسه وَأَهْله وَزَائِره أَيَّام فِطْره بِخِلَافِ مِنْ يُتَابِع الصَّوْم” وَهَذَا يُشْعِر بِأَنَّ مَنْ لَا يَتَضَرَّر فِي نَفْسه وَلَا يُفَوِّتُ حَقًّا أَنْ يَكُون أَرْجَح، وَعَلَى هَذَا فَيَخْتَلِف ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاص وَالْأَحْوَال: فَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْإِكْثَار مِنْ الصَّوْم أَكْثَرَ مِنْهُ، وَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْإِكْثَار مِنْ الْإِفْطَار أَكْثَرَ مِنْهُ، وَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْمَزْج فَعَلَهُ، حَتَّى إِنَّ الشَّخْص الْوَاحِد قَدْ تَخْتَلِف عَلَيْهِ الْأَحْوَال فِي ذَلِكَ ، وَإِلَى ذَلِكَ أَشَارَ الْغَزَالِيّ أَخِيرًا. وَاَللَّه أَعْلَم بِالصَّوَابِ
Untuk hal itu Ibn Khuzaimah menunjukkan dengan tarjamah “Dalil bahwa shaum Dawud shaum terbaik dan paling dicintai Allah karena pelakunya menunaikan hak pribadi, keluarga, dan tamu pada hari berbukanya, berbeda dengan yang setiap hari shaum”. Ini mengisyaratkan bahwa bagi yang tidak membahayakan dirinya dan tidak juga menelantarkan hak, keadaan memperbanyak shaum (lebih dari shaum Dawud) itu lebih kuat. Sehingga dengan demikian, kedudukannya berbeda-beda tergantung orangnya. Siapa yang keadaannya memungkinkannya memperbanyak shaum, maka silahkan ia memperbanyak shaum. Siapa yang keadaannya memungkinkannya memperbanyak buka, maka ia perbanyak buka. Dan siapa yang keadaannya memungkinkannya menyeimbangkannya, silahkan ia kerjakan. Jadi setiap orang sangat tergantung pada situasi dan kondisi dirinya. Untuk hal ini Imam al-Ghazali pun mengisyaratkannya dalam akhir pembahasannya. Wal-‘Llahu a’lam bis shawab (Fathul-Bari bab haqqul-ahli fis-shaum).