Shaum Ketika Safar Tidak Makruh

Bismillah, ustadz maaf bertanya. Bukankah shaum orang yang sedang safar itu makruh? Tapi bagaimana kalau safar yang dijalani tidak memberatkan bagi musafir sendiri? Apakah masih makruh hukumnya? Safar di zaman sekarang meskipun jauh, dapat dirasakan nyaman, karena tidak kepanasan, di kendarannya ada AC. 08581111xxxx
Shaum ketika safar tidak makruh, tetapi mubah; boleh shaum, boleh berbuka, tergantung kuat tidaknya shaum. Imam Muslim menuliskan satu bab khusus terkait shaum ketika safar ini dalam kitab Shahih Muslimnya kitab as-shiyam:

باب جَوَازِ الصَّوْمِ وَالْفِطْرِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ لِلْمُسَافِرِ فِى غَيْرِ مَعْصِيَةٍ إِذَا كَانَ سَفَرُهُ مَرْحَلَتَيْنِ فَأَكْثَرَ وَأَنَّ الأَفْضَلَ لِمَنْ أَطَاقَهُ بِلاَ ضَرَرٍ أَنْ يَصُومَ وَلِمَنْ يَشُقُّ عَلَيْهِ أَنْ يُفْطِرَ

Bab: Boleh shaum atau berbuka pada bulan Ramadlan bagi yang safar, dan tidak termasuk maksiat, apabila safarnya dua kali atau lebih. Yang paling baik bagi yang mampu tanpa ada madlarat adalah shaum, sementara bagi yang tidak mampu adalah berbuka.
Di antara hadits-haditsnya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لاَ تَعِبْ عَلَى مَنْ صَامَ وَلاَ عَلَى مَنْ أَفْطَرَ قَدْ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِى السَّفَرِ وَأَفْطَرَ

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Jangan kamu mencela orang yang shaum atau yang berbuka. Sungguh Rasulullah saw pernah shaum ketika safar dan pernah juga buka.” (Shahih Muslim no. 2665).

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ  قَالَ كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِى رَمَضَانَ فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ فَلاَ يَجِدُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ يَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: “Kami pernah perang bersama Rasulullah saw pada bulan Ramadlan. Di antara kami ada yang shaum dan ada juga yang buka. Yang shaum tidak menyalahkan yang buka, demikian juga sebaliknya. Mereka menilai bahwa siapa yang merasa kuat lalu shaum, maka itu baik. Dan siapa yang merasa tidak kuat lalu berbuka, maka itu baik.” (Shahih Muslim no. 2671)

سُئِلَ أَنَسٌ  عَنْ صَوْمِ رَمَضَانَ فِى السَّفَرِ فَقَالَ سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِى رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ

Anas ra ditanya tentang shaum Ramadlan ketika safar. Ia menjawab: “Kami pernah safar bersama Rasulullah saw pada bulan Ramadlan. Yang shaum tidak menyalahkan yang buka dan yang buka pun tidak menyalahkan yang shaum (Shahih Muslim no. 2676).
Sementara sabda Nabi saw: “Tidak baik shaum ketika safar,” itu ternyata ditujukan kepada seorang shahabat yang pingsan karena tetap shaum ketika safar (Shahih Muslim no. 2668). Demikian halnya sabda Nabi saw kepada yang shaum ketika safar: “Mereka itulah pelaku maksiat, mereka itulah pelaku maksiat,” ini ditujukan kepada orang-orang yang memaksakan diri shaum ketika Fathu Makkah, padahal kondisi fisik mereka sudah sangat payah akibat menempuh perjalanan yang sangat jauh (Shahih Muslim no. 2666).