Nafsu untuk selalu makan nikmat dan puas; jajan beragam jenis kuliner; ingin selalu bertambah harta simpanan, rumah, tanah, emas, dan tabungan uang; ingin selalu berpenampilan mewah dengan pakaian dan kendaraan yang keren; ingin berstatus sosial tinggi di tengah-tengah masyarakat; tidak boleh ada orang lain yang menyaingi apalagi mengalahkan status sosialnya; dan seabreg keinginan duniawi lainnya adalah bukti belum ada ketaqwaan dalam hati. Semua kesenangan duniawi memang boleh dimiliki, tetapi tidak boleh dengan nafsu ingin. Nafsu ingin hanya boleh disalurkan pada amal shalih dan kesenangan ukhrawi.
Ketika menjelaskan kesenangan surga dalam QS. al-Muthaffifin, Allah swt menegaskan dengan firman-Nya:
وَفِي ذَٰلِكَ فَلۡيَتَنَافَسِ ٱلۡمُتَنَٰفِسُونَ ٢٦
Dan untuk yang demikian itu hendaknya saling bernafsu orang-orang yang bernafsu (QS. al-Muthaffifin [83] : 26).
Artinya “bernafsu” itu hanya diwenangkan untuk mengejar surga saja. QS. al-Mu`minun [23] : 54-61 mencontohkannya dengan nafsu untuk meningkatkan ketakutan kepada Allah dan menambah shadaqah, bukan nafsu untuk menambah harta dan bersenang-senang dengan keluarga. Harta dan kenikmatan duniawi itu menunggu bagaimana diberi oleh Allah swt saja. Manusia hanya wajib berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, masalah memperoleh tidaknya bagaimana diberi oleh Allah swt. Tidak perlu pakai nafsu dan keinginan. Maka dari itu semua ayat yang menyebutkan kesenangan duniawi selalu memakai kata “diberi Allah”. Sebuah penegasan bahwa manusia hanya bisa berusaha dan tawakkal, tidak perlu dengan bernafsu karena tidak akan pernah bisa mengubah jatah pemberian dari Allah swt.
Maka nafsu untuk kaya hanya dibolehkan dengan niatan ukhrawi, yakni agar lebih banyak karyawan yang terbantu ekonominya, lebih banyak faqir miskin dan anak yatim yang disantuni, lebih banyak masjid dan pesantren yang disumbang, dan lebih banyak lagi program fi sabilillah yang dibantu. Bukan untuk bertambah harta agar berstatus sosial tinggi sebagai “orang kaya”.
Keinginan makan cukup untuk menambah tenaga saja agar kuat dipakai bekerja dan beribadah. Asal ada yang bisa disantap, halal, dan mengisi perut. Tidak harus dengan yang nikmat dan memuaskan. Yang seperti ini sudah termasuk syahwat dunia. Sesekali dibolehkan tetapi tidak boleh selalu dituruti. Faktanya banyak orang yang sakit karena terlalu bernafsu makan makanan yang nikmat. Itu pertanda nafsu yang salah kaprah. Maka dari itu tidak heran jika dalam al-Qur`an disebutkan bahwa nafsu untuk selalu makan nikmat itu akhlaqnya orang kafir dan durhaka.
رُّبَمَا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡ كَانُواْ مُسۡلِمِينَ ٢ ذَرۡهُمۡ يَأۡكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلۡهِهِمُ ٱلۡأَمَلُۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ ٣
Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka) (QS. al-Hijr [15] : 2-3).
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأۡكُلُونَ كَمَا تَأۡكُلُ ٱلۡأَنۡعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثۡوٗى لَّهُمۡ ١٢
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka (QS. Muhammad [47] : 12).
كُلُواْ وَتَمَتَّعُواْ قَلِيلًا إِنَّكُم مُّجۡرِمُونَ ٤٦
(Dikatakan kepada orang-orang kafir): “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang pendek; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa” (QS. al-Mursalat [77] : 46).
Orang-orang bertaqwa dalam al-Qur`an selalu digambarkan sebagai orang-orang yang memprioritaskan akhirat dengan mengenyampingkan syahwat dunia. Ketika Allah swt menjelaskan bolehnya syahwat dunia dimiliki dalam QS. Ali ‘Imran, Allah swt langsung menjelaskan dalam ayat berikutnya:
۞قُلۡ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيۡرٖ مِّن ذَٰلِكُمۡۖ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَأَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞ وَرِضۡوَٰنٞ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ ١٥
Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya (QS. Ali ‘Imran [3] : 15).
Dalam ayat-ayat yang lain Allah swt menegaskan:
وَلَلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٣٢
Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. al-An’am [6] : 32).
Ayat yang semakna lafazhna terdapat juga dalam QS. an-Nisa` [4] : 77, al-A’raf [7] : 169, Yusuf [12] : 57, 109, dan an-Nahl [16] : 30. Semua ayat ini menunjukkan sudah seharusnya orang-orang bertaqwa bernafsu untuk akhirat saja. Dunia hanya sekedar perantara menuju akhirat saja.
Shaum sebagai tiang (rukun) Islam yang keempat bermuara pada pengendalian diri dari syahwat dunia. Tujuan utama shaum adalah taqwa. Ciri utama dari orang bertaqwa adalah tidak bernafsu dunia. Nabi saw dalam hadits menyebut shaum sebagai junnah; tameng, pelindung diri (Hadits Abu Hurairah dalam Shahih al-Bukhari bab fadllis-shaum no. 1894). Beberapa jalur periwayatannya menunjukkan bahwa yang dimaksud junnah tersebut adalah junnah dari neraka (Fathul-Bari bab fadllis-shaum mengutip riwayat Ahmad, an-Nasa`i, dan Sa’id ibn Manshur). Nabi saw menjelaskan, neraka itu dibentengi oleh syahwat, siapa yang menghampirinya berarti menghampiri neraka.
حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
Neraka dihijab oleh syahwat dan surga dihijab oleh hal-hal yang tidak disukai (Shahih al-Bukhari bab hujibatin-nar bis-syahawat no. 6487).
Maka sabda Nabi saw shaum junnah salah satu pengertiannya adalah junnah dari syahwat. Syahwat sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar adalah hal-hal duniawi yang terlarang tetapi menyenangkan, termasuk hal-hal yang syubhat dan memperbanyak yang mubah, yang kesemuanya bersifat menyenangkan (Fathul-Bari bab fadllis-shaum). Maka shaum adalah ibadah untuk melatih pengendalian diri dari syahwat duniawi tersebut. Shaum Ramadlan yang diamalkan setiap tahun harus melahirkan kemampuan mengendalikan diri dari syahwat-syahwat duniawi. Shaum Ramadlan yang diamalkan setiap tahun, tetapi masih selalu saja ada syahwat dunia yang terpelihara dalam hati tanpa bisa dikendalikan, pertanda bahwa shaum Ramadlannya belum melahirkan sifat taqwa.
Rangkaian ibadah dalam shaum Ramadlan itu sendiri sebenarnya cukup untuk menciptakan sifat pengendalian diri dari syahwat dunia. Mulai dari mengurangi makan, menambah kualitas dan kuantitas shalat malam, meningkatkan intensitas tadarus dan menghafal al-Qur`an, melipatgandakan kedermawanan dan berbagi kepada sesama, menghidupkan malam dan waktu sahur dengan ibadah, dan puncaknya adalah terjaga di 10 malam terakhir untuk meraih lailatul-qadar, semuanya ini cukup ideal untuk menanamkan taqwa yang mampu mengenyampingkan syahwat dunia.
Jika syahwat dunia nyatanya masih susah dikendalikan, itu pasti karena di bulan Ramadlan justru semakin bertambah nafsu makan enak dan puas, benci dengan shalat malam yang berkualitas dan panjang bacaannya, tidak meningkatkan intensitas tadarus dan menghafal al-Qur`an, menghidupkan malam dan waktu sahur hanya untuk makan dan menikmati hiburan tontonan, memperbanyak uang, pakaian, dan makanan untuk mempertontonkan diri kepada masyarakat bahwa saya orang mampu, serta di 10 hari terakhir Ramadlan malah semakin fokus mengejar dunia demi menikmati lebaran yang berkesan.
Harus sampai kapan shaum Ramadlan dijalani dengan salah kaprah seperti ini!?
Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.