Shaum Hari ‘Arafah, Bukan Shaum Wukuf ‘Arafah

Shaum ‘Arafah yang akan diamalkan Rabu, 28 Juni 2023, dipersoalkan karena berbeda hari dengan wukuf di ‘Arafah pada Selasa, 27 Juni 2023. Padahal yang disyari’atkan shaum hari ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu sendiri jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Menentukan tanggal 1 Dzulhijjahnya wajib berdasarkan rukyat (mengamati langsung) hilal. Karena hilal awal Dzulhijjah tidak terlihat 29 Dzulqa’dah 1444/18 Juni 2023, sesuai dengan perintah Nabi saw tanggal 1 Dzulhijjah harus ditetapkan lusanya, yakni 20 Juni 2023 M. Ijtihad seperti ini sudah diberlakukan oleh para ulama di sepanjang zaman. Mengapa menyangsikannya?
Al-Qur`an sudah mengajarkan bahwa waktu untuk patokan kegiatan manusia dan haji harus berdasarkan hilal. Demikian juga kesaksian melihat hilal harus berdasar pada pengamatan di tempat masing-masing. Allah swt berfirman:
يَسۡئَلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS. al-Baqarah [2] : 189)
Shaum ‘Arafah bagian dari rangkaian syari’at haji, maka dari itu sudah pasti harus berdasarkan rukyat hilal.
Dalam ayat lain, Allah swt mengingatkan:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ
Siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu (QS. al-Baqarah [2] : 185)
Maksud ayat di atas sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya:
هَذَا إِيجَابُ حَتْمٍ عَلَى مَنْ شَهِدَ اسْتِهْلَالَ الشَّهْرِ أَيْ كَانَ مُقِيمًا فِي الْبَلَدِ
Ini adalah tuntutan keharusan bagi yang hadir ketika tampak hilal bulan, yakni ada muqim di satu tempat.
Nabi saw menjelaskan dalam hadits-hadits shaum Ramadlan dan ‘Idul-Fithri bahwa patokan menentukan awal bulan itu harus melihat hilal. Bukan sebatas sudah tahu bulan sudah ada di atas ufuk padahal belum terlihat. Nabi saw melarang tegas untuk memulai shaum atau ‘Idul-Fithri sebelum melihat hilal. Kalau meragukan harus dianggap tidak ada, dan awal bulannya digeser ke esok lusanya. Menyalahi tuntunan ini dikategorikan maksiat (hadits-haditsnya bisa dirujuk di website attaubah-institute.com dengan judul “Harus Berdasarkan Rukyat dan Itsbat”).
Dengan mempertimbangkan ayat 185 surat al-Baqarah di atas bahwa melihat hilal itu berlaku bagi yang berada di masing-masing tempatnya, pada zaman Ibn ‘Abbas ra pernah terjadi perbedaan penentuan awal bulan Ramadlan antara Damaskus dan Madinah. Yang “seharusnya” Damaskus mengikuti Madinah karena lebih barat dari Madinah, tetapi karena di Damaskus sudah terlihat hilal sementara di Madinah belum terlihat jadinya awal bulan Ramadlan saat itu lebih dahulu Damaskus dibanding Madinah; di Damaskus awal Ramadlan jatuh pada malam Jum’at, sementara di Madinah esok harinya malam Sabtu.
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ.
Dari Kuraib sesungguhnya Ummul-Fadll bintil-Harits mengutusnya untuk menemui Mu’awiyah di Syam. Ia berkata: Aku tiba di Syam dan menunaikan keperluan Ummul-Fadll. Lalu hilal Ramadlan tampak ketika aku masih di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Setelahnya aku pulang ke Madinah pada akhir bulan, dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas bertanya kepadaku setelah membicarakan hilal, ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?” Aku menjawab: “Kami melihatnya malam Jum’at.” Ia bertanya: “Engkau melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang pun melihatnya, mereka shaum, dan Mu’awiyah pun shaum.” Ibn ‘Abbas berkata: “Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan terus shaum sehingga menyempurnakan tiga puluh hari atau melihat hilal lagi (pada hari ke-29).” Aku bertanya: “Tidakkah cukup dengan rukyat Mu’awiyah dan shaumnya?” Ibn ‘Abbas menjawab: “Tidak, demikanlah Rasulullah saw memerintahkan kami.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab bayan anna li kulli baladin ru`yatuhum no. 2580).
Terkait hadits di atas Imam Muslim menjelaskan dalam tarjamah-nya:
بَاب بَيَان أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوْا الْهِلَال بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ
Bab: Penjelasan bahwa bagi setiap wilayah berlaku rukyat masing-masing. Apabila mereka melihat hilal di satu wilayah tidak berlaku hukumnya untuk yang jauh dari mereka.
Imam an-Nawawi menjelaskan terkait hadits dan tarjamah dari Imam Muslim di atas:
فِيهِ حَدِيث كُرَيْب عَنْ اِبْن عَبَّاس وَهُوَ ظَاهِر الدَّلَالَة لِلتَّرْجَمَةِ، وَالصَّحِيح عِنْد أَصْحَابنَا أَنَّ الرُّؤْيَة لَا تَعُمّ النَّاس بَلْ تَخْتَصُّ بِمَنْ قَرُبَ عَلَى مَسَافَة لَا تُقْصَر فِيهَا الصَّلَاة
Padanya ada hadits Kuraib dari Ibn ‘Abbas, dan itu dalil yang jelas untuk tarjamah. Yang shahih menurut ulama madzhab kami bahwasanya rukyat tidak berlaku umum untuk semua orang, melainkan berlaku khusus bagi orang-orang yang dekat jaraknya seukuran shalat tidak diqashar (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim).
Perbedaan awal Dzulhijjah tahun ini antara Saudi dan Indonesia sama dengan kasus beda Damaskus dan Madinah di atas. Meski umumnya Saudi mengikuti Indonesia karena zona waktunya beda empat jam lebih dahulu Indonesia, tetapi ketika hilal di Saudi sudah terlihat sementara di Indonesia tidak terlihat, otomatis Indonesia menentukan awal Dzulhijjahnya lebih terlambat satu hari dari Saudi.
Jadi beda waktu antara Saudi dan Indonesia bukan empat jam, melainkan 20 jam; Saudi dahulu baru kemudian 20 jam berikutnya Indonesia. Awal penanggalan dan hari untuk ibadah itu tidak boleh berdasarkan garis tanggal internasional (international date line/IDL) yang melintasi Samudra Pasifik, melainkan harus bergantung pada rukyat hilal. Jangan heran kalaupun Damaskus dan Madinah zona waktunya sama, tetapi awal bulannya berbeda tanggal. Sama halnya dengan New Zealand dan Pulau Howland dan Baker (kepulauan Hawaii, Amerika Serikat). Jam 12.00 malam di New Zealand dan Pulau Howland dan Baker sama, tapi beda tanggal. Di New Zealand sudah masuk tanggal 6 Juli misalkan, sementara di Pulau Howland dan Baker baru masuk tanggal 5 Juli. Demikian halnya dengan Saudi dan Indonesia yang berdasarkan IDL beda empat jam, tetapi berdasarkan rukyat hilal jadi berbeda 20 jam. Maka perbedaan sampai satu hari antara Saudi dan Indonesia dalam menentukan tanggal 9 Dzulhijjah tidak perlu dipersoalkan. Sudah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.
Tidak perlu risih karena wukuf ‘Arafah jatuh pada hari Selasa, 27 Juni 2023, sementara di Indonesia shaum ‘Arafahnya Rabu, 28 Juni 2023. Di haditsnya juga shaum hari ‘Arafah, bukan shaum wukuf ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu sendiri harus tanggal 9 Dzulhijjah.
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ
Shaum ‘Arafah yang diniatkan mengharap ridla Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan yang akan datang (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab istihbab shiyam tslatsah ayyam min kulli syahr no. 2803).
Perbedaan hari Selasa, 27 Juni 2023 dan Rabu, 28 Juni 2023 itu jika rujukannya IDL. Tetapi jika rujukannya rukyat hilal maka wukuf ‘Arafah di Saudi dan shaum ‘Arafah di Indonesia jatuh harinya sama, yakni 9 Dzulhijjah 1444 H.
Yang lebih keliru lagi orang yang memilih shaum ‘Arafah Selasa, 27 Juni 2023, tetapi ‘Idul-Adlhanya mengikuti Indonesia, Kamis, 29 Juni 2023. Jadi hari Rabunya dianggap tidak ada waktu dan tanggal Hijriyyah. Menghilangkan waktu seperti itu diancam keras oleh Allah swt dalam QS. at-Taubah [9] : 37 sebagai amal kekafiran. Perbuatan semacam ini adalah bid’ah yang nyata sesatnya. Wal-‘Llahu a’lam.