Sengsara karena Ingin Diberi

Nafsu selalu ingin diberi adalah sumber kesengsaraan. Ingin diberi daging qurban, shadaqah, zakat, ongkos haji, ongkos umrah, beasiswa, tunjangan, bantuan, harta, rumah, kendaraan, jabatan, dan seabgreg nafsu dunawi lainnya, hanya akan berujung pada sengsara. Semuanya itu halal untuk dimiliki atau diterima ketika diberi, tetapi haram untuk dijadikan nafsu ingin diberi, sebab nafsu duniawi itu mustahil terpenuhi semuanya, bahkan yang sudah dimiliki pun pasti akan berkurang dan hilang. Jika nafsu dipelihara maka pastinya akan selalu terjebak dalam sengsara.

Allah swt sudah menegaskan bahwa orang yang berbahagia itu adalah orang yang sudah terbebas dari kebutuhan terhadap dunia:

وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩

Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. al-Hasyr [59] : 9).

Allah swt juga sudah mengingatkan orang-orang yang selalu terjebak pada obsesi duniawi rentan hidup dengan konflik dan permusuhan. Mana mungkin ada orang bahagia, hidup penuh dengan konflik kepentingan dan kebutuhan dengan sesamanya.

وَيۡلٞ لِّكُلِّ هُمَزَةٖ لُّمَزَةٍ ١ ٱلَّذِي جَمَعَ مَالٗا وَعَدَّدَهُۥ ٢ يَحۡسَبُ أَنَّ مَالَهُۥٓ أَخۡلَدَهُۥ ٣

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (QS. al-Humazah [104] : 1-3).

Maka dari itu shahabat Hakim ibn Hizam ra yang saat itu masih muda dan hidupnya masih miskin serta sering bergantung pada pemberian orang lain khususnya Rasulullah saw, ia dinasihati oleh Rasulullah saw yang sering dimintai olehnya sebagai berikut:

قَالَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ  سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي ثُمَّ قَالَ يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى

Hakim ibn Hizam ra berkata: Aku pernah meminta kepada Rasulullah saw dan beliau memberiku. Aku meminta lagi, beliau pun memberi lagi. Aku meminta lagi, beliau memberi lagi. Kemudian beliau bersabda: “Hai Hakim, sesungguhnya harta ini hijau dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kedermawanan hati, ia akan diberi barakah padanya. Dan siapa yang mengambilnya dengan memperlihatkan keinginan diri, dia tidak akan diberi barakah. Seperti orang yang makan dan tidak kunjung kenyang. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1472).

Dalam nasihatnya di atas, Nabi saw jelas membedakan sakhawah nafsi dan isyraf nafsi sebagai kunci berkah dan tidaknya harta yang dimiliki. Orang yang menerima dengan sakhawah akan berkah harta yang dimilikinya, sementara orang yang menerima dengan isyraf tidak akan berkah semua harta yang dimilikinya.

Sakhawah artinya kedermawanan. Sakhawah nafsi berarti kedermawanan hati dan jiwa karena selalu ingin memberi dan tidak ada nafsu ingin diberi. Orang yang hatinya penuh dengan sakhawah adalah orang yang menyadari sepenuhnya bahwa semua yang akan diterima sudah ada ketentuan taqdirnya sehingga ia bergantung sepenuhnya pada taqdir. Jika ia menerimanya ia akan bersyukur, dan jika ia tidak menerima ia akan bersabar. Tidak akan ada sama sekali pamer dan bangga dengan apa yang dimiliki apalagi berkeluh kesah dan merajuk karena tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain.

Orang yang hatinya penuh dengan sakhawah menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada di dunia tidak berarti apa-apa di hadapan Allah swt selain iman dan amal shalih. Maka dari itu fokus obsesinya tidak pada dunia dan segenap titelnya, melainkan pada akhirat dan segenap perangkatnya. Hatinya tidak ada sama sekali nafsu dunia, yang ada hanya nafsu akhirat. Yang ada dalam nafsunya bukan ingin menjadi orang kaya, melainkan ingin menjadi orang yang mampu zakat, shadaqah, qurban, ibadah haji dan umrah, banyak menyantuni faqir miskin, banyak membantu dakwah Islam dan kegiatan fi sabilil-‘Llah lainnya. Ketika kekayaan itu diperoleh ia akan banyak bersyukur kepada Allah dengan segera menyalurkannya pada apa yang menjadi obsesi akhiratnya. Sebaliknya, ketika kekayaan itu belum diperoleh, ia akan kuat bersabar karena dengan bersabarnya itu ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang-orang kaya yang shalih dan sudah banyak berderma seperti yang ia inginkan.

Sementara itu isyraf artinya naik ke atas agar terlihat oleh orang lain. Dengan kata lain isyraf nafsi adalah orang yang selalu bernafsu untuk terlihat agar ia mendapatkan bagian duniawi. Orang yang diberi atau bahkan sampai kaya dengan isyraf tidak akan berkah hidupnya, sebab ia selamanya akan terjebak pada hati yang sengsara, meskipun faktanya ia sudah hidup lebih kaya daripada orang lain yang lebih miskin hartanya. Orang yang isyraf selalu terdorong oleh nafsunya agar memperoleh bagian duniawi tanpa ada batasnya. Jika miskin, ia ingin menjadi orang kaya. Jika sudah kaya, ia ingin menjadi orang yang lebih kaya lagi dan lebih kaya lagi. Padahal semua yang berbau duniawi itu tidak akan ada akhirnya dan tidak akan ada kekalnya. Tidak akan selalu dimiliki dan yang sudah dimiliki pun tidak akan selalu dimiliki selamanya pasti akan berkurang dan habis. Orang yang hatinya isyraf pasti akan merasa sengsara ketika keinginannya memiliki ternyata bertepuk sebelah tangan. Orang yang hatinya isyraf juga akan merasa sengsara ketika apa yang sudah dimilikinya ternyata berkurang dan bahkan habis. Hatinya otomatis terjebak dalam ketakutan tiada akhir. Orang yang seperti ini jelas sengsaranya.

Jadi tuntunan syari’atnya bukan pada boleh tidaknya kaya dan memiliki harta—sebab itu sudah menjadi bagian dari taqdir Allah swt sebagaimana diulas di atas—melainkan pada tidak boleh adanya rasa isyraf; keinginan dan obsesi untuk mendapatkan bagian duniawi. Maka dari itu, meski ‘Umar ibn al-Khaththab ra sudah terbukti keikhlasan hatinya, dan ketika diberi bagian haknya ia pun menolak karena sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sakhawah dalam dirinya, Nabi saw malah menasihati ‘Umar ra sebagai berikut:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Rasulullah saw pernah memberiku satu pemberian (hak amil zakat). Aku berkata: “Berikanlah kepada orang yang lebih miskin dariku.” Jawab Nabi saw: “Terimalah. Jika datang kepadamu dari harta seperti ini, meskipun sedikit dan kamu tidak memperlihatkan diri ingin diberi atau meminta, terimalah. Apa yang tidak diberikan, maka janganlah kamu menginginkannya.” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man a’thahul-‘Llah syai`an min ghairi mas`alah no. 1473).
Jadi bukan haram kaya atau menerima hartanya, melainkan haram isyraf (obsesi ingin memiliki dan diberi)-nya apalagi sampai berani meminta. Sepanjang hati bersih dari isyraf dan keberanian meminta, maka sah-sah saja seseorang menerima pemberian termasuk memperoleh bagian duniawi sampai menjadi orang kaya sekalipun.

Kunci agar hati selalu terbuka dengan sakhawah (kedermawanan) dan tertutup dari isyraf (keinginan memiliki dunia) adalah sebagaimana yang Nabi saw ajarkan kepada Hakim ibn Hizam di atas, yakni membulatkan tekad akan selalu menempatkan tangan di atas dan enggan menyimpannya di bawah karena merupakan sebuah kehinaan. Sungguh terhina jika diri ini masih ingin mendapatkan pemberian duniawi apalagi sampai berani memintanya.

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah yang memberi/mengeluarkan infaq, sedang tangan di bawah adalah yang meminta (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab la shadaqah illa ‘an zhahri ghinan no. 1429).

Kunci lainnya yang diajarkan oleh Nabi saw adalah selalu menahan diri dari keinginan diberi apalagi meminta, dengan bersabar menunggu pemberian Allah swt, bahkan sampai nanti di akhirat sekalipun.

مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

Siapa yang menahan diri, pasti Allah menjadikannya mampu bertahan. Siapa yang bersabar, pasti Allah akan memberinya kesabaran. Dan siapa yang mencukupkan diri, pasti Allah memberinya kecukupan. Dan tidaklah kalian diberi satu pemberian yang lebih baik dan lebih besar daripada kesabaran (Shahih al-Bukhari bab as-shabr ‘an maharimil-‘Llah no. 6470).
Al-Hafizh menjelaskan maksud hadits di atas sebagai berikut:

وَفِي الْحَدِيث الْحَضّ عَلَى الِاسْتِغْنَاء عَنْ النَّاس وَالتَّعَفُّف عَنْ سُؤَالهمْ بِالصَّبْرِ وَالتَّوَكُّل عَلَى اللَّه وَانْتِظَار مَا يَرْزُقهُ اللَّه وَأَنَّ الصَّبْر أَفْضَل مَا يُعْطَاهُ الْمَرْء لِكَوْنِ الْجَزَاء عَلَيْهِ غَيْر مُقَدَّر وَلَا مَحْدُود

“Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk memperlihatkan kecukupan di hadapan orang lain dan menahan diri dari meminta kepada mereka dengan cara sabar, tawakkal kepada Allah, dan menunggu rizki dari Allah, sebab sungguh sabar itu anugerah terbaik yang diberikan kepada seseorang. Balasannya kelak akan lebih banyak sampai tidak terhitung dan tidak terhingga.” (Fathul-Bari).
Wal-‘Llahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *