Fenomena perbedaan hari untuk hari raya di satu wilayah merupakan perkara bid’ah yang tidak pernah ada sebelumnya. Berdasarkan tuntunan dalil dan fakta sejarah, hari raya ‘Idul-Fithri atau ‘Idul-Adlha seharusnya dirayakan pada hari yang sama di satu wilayah yang sama. Jika ada perbedaan, karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak, maka keputusannya harus dirujukkan kepada Ulil-Amri; pemilik kewenangan dan pemerintahan. Meski demikian masyarakat harus tetap bersabar dalam usaha mewujudkan persamaan hari raya ini.
Hadits ‘Aisyah ra yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi menegaskan sabda Nabi saw seputar dua hari raya sebagai berikut:
الفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
‘Idul-Fithri adalah hari orang-orang berbuka shaum dan ‘Idul-Adlha adalah hari orang-orang menyembelih qurban (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fil-fithri wal-adlha mata yakunu [riwayat tentang ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha kapan waktunya] no. 802).
Hadits semakna diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ra dengan ada tambahan:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Shaum adalah pada hari yang kalian semua sama-sama shaum. ‘Idul-Fithri adalah pada hari yang kalian semua sama-sama berbuka. ‘Idul-Adlha adalah pada hari yang kalian semua sama-sama menyembelih (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi annal-fithra yauma yufthirun wal-adlha yauma tudlahhun [riwayat tentang ‘Idul-Fithri pada hari kalian berbuka dan ‘Idul-Adlha pada hari kalian menyembelih] no. 697).
Sesudah meriwayatkan hadits di atas, Imam at-Tirmidzi menulis catatan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ هَذَا الحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالفِطْرَ مَعَ الجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: Sungguh makna hadits ini shaum dan ‘Idul-Fithri bersama dengan kebanyakan dan mayoritas masyarakat.
Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam menegaskan:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي ثُبُوتِ الْعِيدِ الْمُوَافَقَةُ لِلنَّاسِ، وَأَنَّ الْمُنْفَرِدَ بِمَعْرِفَةِ يَوْمِ الْعِيدِ بِالرُّؤْيَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ مُوَافَقَةُ غَيْرِهِ، وَيَلْزَمُهُ حُكْمُهُمْ فِي الصَّلَاةِ، وَالْإِفْطَارِ، وَالْأُضْحِيَّةِ
Ini adalah dalil bahwasanya yang dihitung dalam penetapan ‘Id adalah kesepakatan masyarakat. Seseorang yang mengetahui hari ‘Id berdasarkan rukyat wajib disepakati oleh yang lainnya dan mesti baginya mengikuti hukum masyarakat dalam shalat, berbuka (‘Idul-Fithri), dan sembelihan (‘Idul-Adlha) (Subulus-Salam bab shalatil-‘idain).
Imam as-Syaukani dalam Nailul-Authar mengutip penjelasan para ulama syarah hadits terkait maksud hadits di atas sebagai berikut:
إنَّهُ إخْبَارٌ بِأَنَّ النَّاسَ يَتَحَزَّبُونَ أَحْزَابًا وَيُخَالِفُونَ الْهَدْيَ النَّبَوِيَّ، فَطَائِفَةٌ تَعْمَلُ بِالْحِسَابِ وَعَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ النَّاسِ، وَطَائِفَةٌ يُقَدِّمُونَ الصَّوْمَ وَالْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ وَجَعَلُوا ذَلِكَ شِعَارًا وَهُمْ الْبَاطِنِيَّةُ، وَبَقِيَ الْهَدْيُ النَّبَوِيُّ الْفِرْقَةَ الَّتِي لَا تَزَالُ ظَاهِرَةً عَلَى الْحَقِّ، فَهِيَ الْمُرَادَةُ بِلَفْظِ النَّاسِ فِي الْحَدِيثِ وَهِيَ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ وَلَوْ كَانَتْ قَلِيلَةَ الْعَدَدِ
Hadits itu merupakan pemberitahuan bahwasanya masyarakat akan terpecah kepada beberapa kelompok dan menyalahi tuntunan Nabi. Ada kelompok yang berpegang pada hisab dan diikuti sekelompok masyarakat. Ada kelompok yang mendahului shaum dan wuquf di ‘Arafah dan menjadikan hal tersebut sebagai identitasnya dan mereka adalah kelompok Bathiniyyah. Dan tuntunan Nabi tersisa pada kelompok yang akan selalu konsisten pada haq (bukan berdasarkan hisab atau isyarat batin melainkan berdasarkan rukyat—pen) dan merekalah yang dimaksud lafazh “an-nas” (orang-orang) dalam hadits di atas, mereka adalah masyarakat mayoritas meskipun jumlahnya sedikit.
Jadi hadits ini semacam informasi futuristik (masa depan) bahwa kelak akan terjadi perbedaan penentuan awal Ramadlan dan hari raya di tengah-tengah masyarakat karena ada yang mendasarkannya pada hisab dan isyarat batin, bukan rukyat, maka kaum muslimin sudah seyogianya mengikuti mayoritas umat dengan merujukkannya pada rukyat, jangan mengikuti kelompok-kelompok yang memilih berbeda.
وَقَالَ الْخَطَّابِيِّ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ: إنَّ الْخَطَأَ مَرْفُوعٌ عَنْ النَّاسِ فِيمَا كَانَ سَبِيلُهُ الِاجْتِهَادَ فَلَوْ أَنَّ قَوْمًا اجْتَهَدُوا فَلَمْ يَرَوْا الْهِلَالَ إلَّا بَعْدَ الثَّلَاثِينَ فَلَمْ يُفْطِرُوا حَتَّى اسْتَوْفُوا الْعَدَدَ ثُمَّ ثَبَتَ عِنْدَهُمْ أَنَّ الشَّهْرَ كَانَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ فَإِنَّ صَوْمَهُمْ وَفِطْرَهُمْ مَاضٍ لَا شَيْءَ عَلَيْهِمْ مِنْ وِزْرٍ أَوْ عَيْبٍ، وَكَذَلِكَ فِي الْحَجِّ إذَا أَخْطَئُوا يَوْمَ عَرَفَةَ لَيْسَ عَلَيْهِمْ إعَادَةٌ
Imam al-Khaththabi menjelaskan makna hadits: “Sesungguhnya kekeliruan akan terangkat dari masyarakat selama metodenya ijtihad. Seandainya satu kaum berijtihad ketika tidak melihat hilal kecuali selepas hari ke-30 dan mereka tidak berbuka (‘Idul-Fithri) hingga sempurna bilangan (bulan berjalan/Ramadlan), kemudian mereka mengetahui fakta bahwa bulan Ramadlan itu sebenarnya 29 hari, maka sungguh shaum mereka dan ‘Idul-Fithri mereka tetap berlaku (sah) dan tidak ada dosa atau ‘aib apapun bagi mereka. Demikian juga dalam haji apabila mereka keliru menetapkan hari ‘Arafah, tidak perlu mengulanginya lagi.”
Maksudnya tetap dianjurkan mengikuti mayoritas masyarakat dalam menentukan awal Ramadlan dan hari raya, karena meskipun ternyata mereka keliru, kekeliruannya akan terampuni dan ibadahnya sah.
Sebagian ulama lainnya menyatakan dengan tegas bahwa siapapun orangnya yang memilih berbeda dalam penentuan awal Ramadlan dan hari raya dengan mayoritas masyarakat, maka dipastikan ibadahnya tidak sah, sebagaimana ditegaskan Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam di atas. Akan tetapi Imam as-Syaukani membantahnya dengan menyatakan bahwa jumhur ulama tetap menyatakannya sah.
وَالْخِلَافُ فِي ذَلِكَ لِلْجُمْهُورِ فَقَالُوا: يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ حُكْمُ نَفْسِهِ فِيمَا تَيَقَّنَهُ، وَفَسَّرُوا الْحَدِيثَ بِمِثْلِ مَا ذَكَرَ الْخَطَّابِيِّ
Pendapat berbeda dalam hal itu dari jumhur, mereka berkata bahwa tetap berlaku bagi seseorang hukum untuk dirinya sesuai yang ia yakini. Mereka menafsirkan hadits sebagaimana yang dijelaskan al-Khaththabi.
Jadi jumhur ulama menyatakan bahwa seseorang yang meyakini berbeda dalam hal awal Ramadlan dan hari raya dengan mayoritas masyarakat dan ia mengamalkan apa yang ia yakini tidak menjadi sebuah kesalahan karena dasarnya ijtihad. Tetapi ijtihad yang dimaksud oleh para ulama dasarnya tetap rukyat, bukan hisab atau isyarat batin. Dan sebagaimana dijelaskan Imam al-Khaththabi di atas, tetap dianjurkan mengikuti pendapat mayoritas masyarakat tanpa takut salah, karena kesalahannya akan terampuni dan ibadah tetap sah.
Dalam tuntunan sunnah yang lainnya sudah diatur bahwa siapapun yang meyakini bahwa awal Ramadlan atau hari raya sudah masuk, ia tetap harus melaporkannya kepada Ulil-Amri, dan tidak menetapkannya sendiri, untuk kemudian diumumkan oleh Ulil-Amri keabsahan hari awal Ramadlan atau hari raya itu. Shahabat Ibn ‘Umar ra pernah melaporkan:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang melihat hilal dan saling memberitahukannya. Aku lalu memberitahu Rasulullah saw bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum dan memerintahkan orang-orang untuk shaum (Hadits Ibn ‘Umar dalam Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2344).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ ﷺ فَقَالَ إِنِّى رَأَيْتُ الْهِلاَلَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِى النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Ada seorang Arab dari pedusunan datang kepada Nabi saw dan berkata: “Sungguh aku melihat hilal.” Beliau bertanya: “Apakah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk shaum besok.” (Sunan Abi Dawud bab fi syahadatil-wahid ‘ala ru`yatil-hilal no. 2342).
Dua ayat al-Qur`an dalam QS. an-Nisa [4] : 59 dan 83 menegaskan kedudukan Ulil-Amri yang harus ditaati, terlebih ketika terjadi perbedaan yang menyangkut kepentingan bersama. Jika ada informasi atau kebijakan yang diduga kuat akan meresahkan masyarakat, sudah seharusnya dikembalikan juga kepada Ulil-Amri. Kaidah fiqih juga sudah menegaskan: Amrul-imam yarfa’ul-khilaf; keputusan imam menghilangkan perbedaan. Jadi seharusnya memang demikian. Meski tentunya umat Islam Indonesia harus tetap bersabar dalam usaha menuju satu hari raya yang sama.
Wal-‘Llahu a’lam