Syi'ar

Shalawat dalam Pembuka Khutbah Adab Mulia

Hadits-hadits tentang pembuka khutbah yang Nabi saw contohkan tidak ada satu pun yang menyebutkan shalawat. Tetapi pada umumnya pembuka khutbah yang dibaca oleh para muballigh memakai shalawat. Apakah ini tidak berarti bersepakat dalam bid’ah? 0856-5905-xxxx

Jawaban dari pertanyaan di atas, pertama, Nabi saw memang tidak diperintah bershalawat untuk dirinya, maka dari itu tidak tepat merujuk hadits-hadits shalawat untuk Nabi saw pada pengamalan Nabi saw semata. Yang diperintah untuk shalawat itu umatnya, sebagaimana halnya Allah swt dan malaikat juga bershalawat untuk Nabi Muhammad saw.

Kedua, Nabi saw sudah mengajarkan bahwa siapa saja yang menyebut namanya lalu tidak ada shalawat untuknya adalah orang bakhil. Dalam khutbah jelas ada disebutkan nama Nabi Muhammad saw pada kalimat syahadat. Maka dari itu siapa yang membaca syahadat dalam khutbah lalu tidak ada shalawat untuk Nabi Muhammad saw dikategorikan orang bakhil.

الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Orang bakhil adalah orang yang aku disebut olehnya tetapi ia tidak bershalawat kepadaku (Musnad Ahmad bab hadits al-Husain ibn ‘Ali no. 1736; Sunan at-Tirmidzi bab faddlit-taubah wal-istighfar no. 3546).

Ketiga, Allah swt mengajarkan bahwa ketika Dia dipuji, maka Nabi saw pun harus disanjung dan tentunya dengan shalawat untuknya. Dalam khutbah sudah pasti harus memuji Allah swt, maka dari itu sudah pasti juga harus menyanjung Nabi saw dengan bershalawat untuknya. Ini sesuai dengan firman Allah swt:

وَرَفَعۡنَا لَكَ ذِكۡرَكَ

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu (QS. al-Insyirah [94] : 4)

Al-Hafizh Ibn Katsir menuliskan beberapa riwayat yang saling menguatkan dalam kitab Tafsirnya bahwa yang dimaksud adalah: “Ketika nama Allah disebut, maka nama Nabi Muhammad saw pun disebut.” Di antaranya dalam syahadat.

Keempat, shalawat dalam khutbah merupakan adab yang sudah ditradisikan oleh para ulama secara turun temurun dari era salaf sampai hari ini. Maka dari itu hampir semua kitab para ulama yang memuat tahmid dalam awal kitabnya pasti juga akan selalu menyertakan shalawat untuk Nabi Muhammad saw, seperti dalam kitab Shahih Muslim berikut ini:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَعَلَى جَمِيعِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ. أَمَّا بَعْدُ

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, dan akibat yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan shalawat semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad penutup para Nabi, dan kepada semua para Nabi dan Rasul. Amma ba’du…

Kalaupun dalam Shahih al-Bukhari tidak ada pembuka dengan shalawat, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, itu karena Imam al-Bukhari tidak mengawali kitabnya dengan pembuka khutbah, melainkan dengan basmalah saja, sehingga otomatis tidak ada shalawatnya. Shalawat menurut para ulama khusus untuk khutbah-khutbah saja (Fathul-Bari syarah basmalah).

Akan tetapi semua penjelasan di atas tidak kemudian menjadikan shalawat dalam pembuka khutbah dihukumkan wajib sebagaimana jadi pilihan beberapa madzhab, sebab untuk hukum wajib harus ada dalil sharih dari Nabi saw bahwa siapa yang tidak shalawat di awal khutbah maka khutbahnya tidak sah. Dikarenakan tidak ada, maka kedudukan shalawat dalam khutbah cukup didudukkan sebagai adab kepada Nabi saw dan sudah dijadikan standar adab yang baku oleh para ulama dari sejak era salaf. Siapa yang tidak mengamalkannya hanya sebatas tidak memenuhi adab mulia. Wal-‘Llahu a’lam.

Wal-‘Llahu a’lam.

Back to top button