Shalat Safar ketika ‘Umrah

Shalat di Masjidil-Haram dan Nabawi berlipat-lipat pahalanya. Sementara itu status jama’ah Indonesia di Makkah dan Madinah sedang safar. Apakah boleh shalat lima waktu di Masjidil-Haram dan Nabawi tidak dijama’. Apakah boleh juga melaksanakan shalat-shalat sunat Rawatibnya agar semakin banyak pahalanya? Calon Jama’ah ‘Umrah

Fiqih shalat safar baik ketika ‘umrah di Makkah dan Madinah atau di kota lainnya sama saja. Jama’ boleh dilakukan ketika safar, tetapi yang dianjurkan ketika tidak sedang melakukan perjalanan adalah tidak dijama’. Sementara qashar dianjurkan untuk diamalkan di sepanjang safar, itu pun jika tidak sedang menjadi makmum kepada yang muqim. Jika menjadi makmum kepada yang muqim seperti di Masjidil-Haram dan Nabawi maka shalatnya tetap tam tanpa qashar. Ibn ‘Umar ra menjelaskan:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

“Aku melihat Nabi saw apabila sedang bergegas dalam perjalanan beliau mengakhirkan maghrib dan menjama’ dengan ‘isya.” (Shahih al-Bukhari bab al-musafir idza jadda bihis-sair no. 1805; Shahih Muslim bab jawazil-jam’i bainas-shalatain fis-safar no. 1656)

Pernyataan Ibn ‘Umar ra bahwa Nabi saw menjama’ ketika “bergegas dalam perjalanan” menunjukkan bahwa jama’ itu pada umumnya ketika melakukan perjalanan, bukan ketika sedang menetap di satu tempat. Meski demikian ini juga bukan menjadi syarat yang wajib, sebab Nabi saw ketika perang Tabuk dan menetap di sana selama 20 hari shalatnya dijama’. al-Hafizh Ibn Hajar mengompromikan bahwa yang dijelaskan hadits perang Tabuk sebatas menunjukkan boleh, tetapi dalam standar kebiasaannya Nabi saw menjama’ shalat ketika sedang bergegas di perjalanan saja (Fathul-Bari bab idza-rtahala ba’da ma zaghatis-syams).

Jadi ketika ‘umrah di Makkah dan Madinah, shalat di Masjidil-Haram dan Nabawi sebaiknya tidak dijama’, meski boleh dijama’. Fiqih ini dikuatkan oleh amalan Nabi saw selama ibadah haji dari mulai tanggal 8 Dzulhijjah di Mina sampai tanggal 13 di Mina, beliau menjama’ shalat hanya di ‘Arafah (zhuhur-‘ashar tanggal 9) dan di Muzdalifah (maghrib-isya tanggal 10). Sisanya beliau shalat qashar saja tetapi tidak dijama’ (hadits Jabir tentang shifat haji riwayat Muslim). Dikecualikan tentunya jika ikut bermakmum kepada imam yang muqim, maka tetap ikut shalat empat raka’at:

عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَقُلْتُ: إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا، وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ. قَالَ: تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ ﷺ

Dari Musa ibn Salamah, ia berkata: Ketika kami bersama Ibn ‘Abbas di Makkah aku bertanya: “Sungguh kami (yang safar) apabila sedang berjama’ah bersama kalian (penduduk Makkah) kami ikut shalat 4 raka’at. Tetapi jika pulang ke penginapan, kami shalat 2 raka’at.” Ibn ‘Abbas ra menjawab: “Itu sunnah Abul-Qasim saw.” (Musnad Ahmad musnad ‘Abdillah ibn al-‘Abbas no. 1862)

Mengenai shalat sunat rawatib, memang ada keterangan dari Ibn ‘Umar ra juga bahwa ia selama safar dengan Nabi saw, Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman di paruh awal kekhilafahannya, mereka semua tidak pernah shalat sunat rawatib karena shalat wajib pun diqashar (Shahih Muslim bab shalatil-musafirin wa qashriha no. 1611-1612). Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama menilai bahwa pandangan Ibn ‘Umar itu bukan berarti makruh shalat rawatib ketika safar. Faktanya Nabi saw shalat dluha ketika Fathu-Makkah, shalat sunat muthlaq di atas kendaraan selama dalam perjalanan, dan shalat qabla shubuh ketika kesiangan shubuh dalam safar dan matahari sudah terbit. Artinya Nabi saw tetap memperbanyak shalat sunat ketika safar. Sangat mungkin Ibn ‘Umar ra tidak melihatnya dan atau Nabi saw sebatas menunjukkan boleh tidak shalat rawatib (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab shalatil-musafirin wa qashriha).

Anda tentu tidak salah jika memilih mengikuti pendapat jumhur ulama mengingat Nabi saw pun selalu memperbanyak shalat sunat ketika safar meski di atas kendaraan. Untuk mengompromikannya dengan pendapat Ibn ‘Umar ra, niatkan saja shalat qabla dan ba’da shalat wajib (tentunya kecuali yang dilarang yakni ba’da shubuh dan ‘ashar) ketika safar sebagai shalat muthlaq. Shalat lainnya; tahajjud, tahiyyatul-masjid, dluha, syukrul-wudlu, atau shalat muthlaq (terlepas dari kategori shalat sunat yang baku) secara umum, jelas diperbolehkan. Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *