Hadits

Problematika Ikhtilaf Fiqih Hadits

Dalam tataran praksisnya, memahami hadits Nabi ﷺ seringkali melahirkan ikhtilaf (perbedaan pemahaman). Banyak dari ikhtilaf itu yang bisa dikompromikan atau dipilih pemahaman yang paling tepatnya, tetapi ada sedikit dari ikhtilaf itu yang masih sulit dicarikan pemahaman yang paling tepatnya. Umat Islam penting untuk mengetahui ikhtilaf fiqih hadits ini agar tidak terjebak pada perpecahan umat, melainkan mampu bersifat ta’aruf agar tetap terwujud ukhuwwah di sesama mukmin.

Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas ra meriwayatkan hadits tentang adzab kubur untuk dua penghuni kubur yang dilewati Nabi saw di Madinah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ بَعْضِ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا فَقَالَ يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ وَإِنَّهُ لَكَبِيرٌ كَانَ أَحَدُهُمَا لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا بِكِسْرَتَيْنِ أَوْ ثِنْتَيْنِ فَجَعَلَ كِسْرَةً فِي قَبْرِ هَذَا وَكِسْرَةً فِي قَبْرِ هَذَا فَقَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw keluar dari salah satu perkebunan Madinah, lalu tiba-tiba mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di kuburan mereka, lalu beliau bersabda: “Kedua penghuninya sedang disiksa dan bukan karena dosa yang dianggap besar, tetapi sungguh itu sebenarnya dosa besar. Yang satu ini tidak berhati-hati ketika kencing, dan yang satu lagi selalu berjalan menyebarkan namimah (fitnah adu domba).” Kemudian beliau meminta pelepah kurma basah, lalu memotongnya menjadi dua dan menancapkan masing-masingnya ke dua kuburan tersebut, kemudian bersabda: “Mudah-mudahan akan diringankan siksa dari mereka selama belum kering.” (Shahih al-Bukhari bab an-namimah minal-kaba`ir no. 6005).

Dalam riwayat lain jelas disebutkan bahwa titik tekan siksanya di kencingnya, bukan di terbuka auratnya, meski makna yastatiru menutup diri. Nabi saw bersabda:

أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ فِي الْبَوْلِ

Mayoritas siksa kubur itu karena kencing (Musnad Ahmad bab musnad Abi Hurairah no. 8331).

Dalam riwayat Muslim Nabi saw menyabdakannya dengan la yastanzihu; tidak menjauh atau tidak bersih (Shahih Muslim bab ad-dalil ‘ala najasatil-baul no. 704), yakni kencing di sembarangan tempat dan tidak menjaga kebersihan darinya sehingga mengganggu orang lain juga menyisakan najis buat pelakunya.

Sementara namimah yang maknanya “menyampaikan perkataan kepada yang orang yang dikatainya”, dalam hadits di atas tentu yang tujuannya ifsad (merusak hubungan), bukan ishlah (membereskan urusan). Para shahabat juga banyak yang menyampaikan kepada Nabi saw apa yang dikatakan oleh sebagian masyarakat tentang Nabi saw tetapi tujuannya untuk ishlah. Nabi saw tidak pernah menyalahkan para shahabat yang melaporkan melainkan menindaklanjutinya dengan ishlah.

Keterkaitan dua dosa besar di atas dengan kedudukan siksa kubur sebagai pembuka siksa neraka sangat jelas. Dosa yang pertama kali disiksa di neraka adalah shalat dan pertumpahan darah. Kunci dari shalat adalah thaharah dan kunci dari pertumpahan darah adalah namimah. Maka siksa pembuka di alam kubur pun terkait thaharah dan namimah (Fathul-Bari bab an-namimah minal-kaba`ir).

Terkait Nabi saw yang menancapkan dua pelepah kurma untuk meringankan siksa kubur, lahir berbagai pendapat di kalangan para ulama sebagaimana ditulis oleh Imam an-Nawawi (631-676 H) dalam Syarah Shahih Muslim sebagai berikut:

مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ ﷺ سَأَلَ الشَّفَاعَة لَهُمَا فَأُجِيبَتْ شَفَاعَته ﷺ بِالتَّخْفِيفِ عَنْهُمَا إِلَى أَنْ يَيْبَسَا. وَقَدْ ذَكَرَ مُسْلِم – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – فِي آخِر الْكِتَاب فِي الْحَدِيث الطَّوِيل حَدِيث جَابِر فِي صَاحِبَيْ الْقَبْرَيْنِ ( فَأُجِيبَتْ شَفَاعَتِي أَنْ يُرْفَع ذَلِكَ عَنْهُمَا مَا دَامَ الْقَضِيبَانِ رَطْبَيْنِ )

Dipahami bahwa beliau saw memohon syafa’at untuk keduanya lalu diijabah dengan meringankan siksa mereka sampai pelepah kurma kering. Imam Muslim menyebutkan di akhir kitab hadits panjang dari Jabir tentang dua penghuni kubur yang disiksa: “Diijabah syafa’atku untuk dihentikan siksa dari mereka selama kedua dahan ini basah.”

وَقِيلَ : يَحْتَمِل أَنَّهُ ﷺ كَانَ يَدْعُو لَهُمَا تِلْكَ الْمُدَّة

Pendapat lain: Mungkin beliau saw berdo’a untuk keduanya pada saat itu.

وَقِيلَ : لِكَوْنِهِمَا يُسَبِّحَانِ مَا دَامَا رَطْبَيْنِ ، وَلَيْسَ لِلْيَابِسِ تَسْبِيح ، وَهَذَا مَذْهَب كَثِيرِينَ أَوْ الْأَكْثَرِينَ مِنْ الْمُفَسِّرِينَ فِي قَوْله تَعَالَى : { وَإِنْ مِنْ شَيْء إِلَّا يُسَبِّح بِحَمْدِهِ } قَالُوا : مَعْنَاهُ وَإِنْ مِنْ شَيْء حَيّ ، ثُمَّ قَالُوا : حَيَاة كُلّ شَيْء بِحَسَبِهِ فَحَيَاة الْخَشَب مَا لَمْ يَيْبَس ، وَالْحَجَر مَا لَمْ يُقْطَع . وَذَهَبَ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ الْمُفَسِّرِينَ وَغَيْرهمْ إِلَى أَنَّهُ عَلَى عُمُومه.

Pendapat lain: Karena kedua pelepah itu bertasbih selama masih basah, sementara ketika kering tidak bertasbih. Ini adalah madzhab mayoritas mufassir dalam menafsirkan ayat: {Dan tidak ada sesuatu apapun melainkan ia bertasbih memuji-Nya} menurut para ulama maknanya “tidak ada sesuatu apapun yang hidup”. Mereka menjelaskan, kehidupan sesuatu itu tergantung bendanya. Jika itu kayu maka selama belum kering, jika itu batu selama belum belah. Tetapi para mufassir yang meneliti lebih mendalam menyatakan bahwa ayat itu berlaku umum (bukan hanya pada yang hidup saja).

وَاسْتَحَبَّ الْعُلَمَاء قِرَاءَة الْقُرْآن عِنْد الْقَبْر لِهَذَا الْحَدِيث ؛ لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ يُرْجَى التَّخْفِيف بِتَسْبِيحِ الْجَرِيد فَتِلَاوَة الْقُرْآن أَوْلَى. وَاللَّهُ أَعْلَم.

Para ulama menganjurkan membaca al-Qur`an di atas kuburan berdasarkan hadits ini, karena jika diharapkan ringan siksa dengan tasbihnya pelepah kurma maka dengan membaca al-Qur`an lebih utama lagi. Wal-‘Llahu a’lam.

وَقَدْ ذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه أَنَّ بُرَيْدَةَ بْن الْحَصِيبِ الْأَسْلَمِيّ الصَّحَابِيّ  أَوْصَى أَنْ يُجْعَل فِي قَبْره جَرِيدَتَانِ ، فَفِيهِ أَنَّهُ  تَبَرَّكَ بِفِعْلٍ مِثْل فِعْل النَّبِيّ ﷺ . وَقَدْ أَنْكَرَ الْخَطَّابِيُّ مَا يَفْعَلهُ النَّاس عَلَى الْقُبُور مِنْ الْأَخْوَاص وَنَحْوهَا مُتَعَلِّقِينَ بِهَذَا الْحَدِيث وَقَالَ : لَا أَصْل لَهُ وَلَا وَجْه لَهُ . وَاللَّهُ أَعْلَم .

Imam al-Bukhari menuliskan riwayat dalam kitab Shahihnya bahwa Buraidah ibn al-Hushaib al-Aslami seorang shahabat ra mewasiatkan agar ditancapkan dua pelepah kurma di atas kuburannya. Ini jadi dalil bahwa ia ra bertabarruk dengan amal yang seperti amal Nabi saw. Tetapi Imam al-Khaththabi mengingkari apa yang banyak dilakukan masyarakat di atas kuburan dari hal-hal yang khusus dan semacamnya dengan berlandaskan pada hadits di atas. Beliau mengatakan: “Tidak ada asalnya dan tidak ada kesesuaiannya.” Wal-‘Llahu a’lam.

Terkait dengan fiqih bahwa membaca al-Qur`an dianjurkan di atas kuburan dengan beristidlal pada hadits di atas, al-Hafizh Ibn Hajar pun menyetujuinya dalam Fathul-Bari bab minal-kaba`ir an la yastatira min baulihi dengan menyatakannya min babil-aula (lebih utama lagi daripada sekedar tasbih pelepah kurma). Termasuk dalam hal ta`assi (meniru) amal tersebut untuk kuburan siapapun berdasarkan amal Buraidah ibn al-Hushaib al-Aslami di atas, al-Hafizh menegaskan:

وَهُوَ أَوْلَى أَنْ يُتَّبَع مِنْ غَيْره

“Itu lebih tepat lagi untuk diikuti daripada yang lainnya.”

Sementara Imam an-Nawawi dalam Riyadlus-Shalihin bab ad-du’a lil-mayyit ba’da dafnihi beristidlal dalam hal anjuran membaca al-Qur`an di atas kuburan dengan hadits ‘Amr ibn al-‘Ash ra sebagai berikut:

وعن عمرو بن العاص  قَالَ: إِذَا دَفَنْتُمُونِي، فَأقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُورٌ، وَيُقَسَّمُ لَحمُهَا حَتَّى أَسْتَأنِسَ بِكُمْ، وَأعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّي. رواه مسلم

Dari ‘Amr ibn al-‘Ash ra ia berkata: “Apabila kalian selesai menguburkanku, maka tinggallah di sekitar kuburanku seukuran unta disembelih dan dibagikan dagingnya agar aku merasa tenang dengan keberadaan kalian dan aku tahu apa yang akan aku jawab kepada utusan-utusan Rabbku.” Muslim meriwayatkannya.

Imam an-Nawawi juga mengutip qaul Imam as-Syafi’i (150-204 H):

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإنْ خَتَمُوا القُرآنَ عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا

As-Syafi’i berkata: Dianjurkan dibaca sedikit al-Qur`an. Kalaupun hendak sampai khatam maka itu baik.

Syaikh al-‘Utsaimin (1929-2001 M) dalam Syarah Riyadlus-Shalihin membantah dengan tegas pendapat ulama-ulama di atas yang menganjurkan membaca al-Qur`an di atas kuburan mayit. Menurutnya sunnah Nabi saw jelas hanya sebatas mendo’akan istighfar dan memohon tatsbit (keteguhan hati) bagi mayit selepas penguburan selesai. Setelah itu langsung membubarkan diri, tidak ada amal-amal lainnya. Terkait amal dua shahabat yang disinggung di atas, Syaikh al-‘Utsaimin menegaskan bahwa itu hanya ijtihad dari mereka berdua yang mungkin benar dan salah. Akan tetapi ketika jelas tidak ada contoh dari Nabi saw termasuk anjuran dari beliau untuk mengamalkannya maka hadyun-Nabi saw lebih utama untuk dijadikan rujukan dengan meninggalkan ijtihad shahabat.

Terlebih jelas dari sabda Nabi saw sendiri yang dikutip di atas—bukan fiqih atas hadits dari para ulama—bahwa yang menjadi penyebab diringankan siksanya bukan pelepah kurma yang basahnya, melainkan permohonan syafa’at dari Nabi saw yang dikabulkan Allah swt tetapi dengan batas waktu sampai pelepah kurma tersebut kering. Para mufassir yang muhaqqiq (meneliti lebih mendalam) juga tidak ada yang menyimpulkan bahwa keringanan siksa kubur itu karena pelepah kurma basahnya, karena pelepah kurma yang kering pun tetap bertasbih kepada Allah swt. Kritik yang disampaikan Syaikh al-‘Utsaimin di atas juga sudah disampaikan oleh Imam al-Khaththabi (319-388 H) sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi di atas.

Meski demikian ikhtilaf fiqih hadits ini adalah sebuah fakta yang tidak boleh diingkari secara berlebihan. Pernyataan Syaikh al-‘Utsaimin di atas bahwa pendapat yang berbeda itu termasuk ijtihad juga harus dijadikan catatan. Meski dalam perspektif beliau ijtihad tersebut salah, tetap saja tidak boleh sampai menyesatkan dan memvonis neraka, sebab ijtihad itu kalaupun keliru tetap dapat pahala satu. Meski tentunya harus memilih ijtihad yang lebih tepat agar pahalanya dua. Wal-‘Llahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button