Salah Paham Hadits karena Kesibukan Dunia
Hadits-hadits Nabi ﷺ adalah gambaran utuh keluasan ilmu dalam Islam. Sekelas shahabat ‘Umar ra saja yang sudah disiplin membagi waktu belajar hadits dan bekerja mencari nafkah masih saja mengalami salah paham hadits saking luasnya cakupan ilmu dalam hadits. Sebuah petunjuk yang jelas agar setiap muslim senantiasa tawadlu’ belajar hadits. Tidak pernah merasa diri sudah cukup ilmu padahal nyatanya masih banyak hadits yang belum dipahami dengan baik.
Shahabat Abu Musa al-Asy’ari ra (w. 42 H) tiba-tiba saja datang ke majelis Anshar dalam keadaan murung. Ketika dikonfirmasi oleh para shahabat ada apa, ia menjawab bahwa dirinya tersinggung oleh sikap ‘Umar ra yang tidak percaya kepadanya terkait hadits Nabi saw dalam bab isti`dzan (meminta izin bertamu) maksimalnya tiga kali dan jika sudah tiga kali tidak kunjung mendapatkan izin maka harus pulang lagi. Barangkali saja ada dari para shahabat yang saat itu ada di majelis yang bisa menjadi saksi bahwa benar Nabi saw sudah bersabda demikian. Shahabat Abu Sa’id al-Khudri ra (w. 63 H) kemudian menyanggupi untuk menjadi saksi atas kebenaran hadits Nabi saw tersebut.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كُنْتُ فِي مَجْلِسٍ مِنْ مَجَالِسِ الْأَنْصَارِ إِذْ جَاءَ أَبُو مُوسَى كَأَنَّهُ مَذْعُورٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي فَرَجَعْتُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ فَقَالَ وَاللَّهِ لَتُقِيمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنْ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَاللَّهِ لَا يَقُومُ مَعَكَ إِلَّا أَصْغَرُ الْقَوْمِ فَكُنْتُ أَصْغَرَ الْقَوْمِ فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ ذَلِكَ
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika saya berada di majelis orang-orang Anshar, tiba-tiba Abu Musa datang dalam keadaan kalut, lalu ia berkata: “Aku (tadi) meminta izin kepada Umar hingga tiga kali, namun ia tidak memberiku izin, maka aku pun pulang. Tetapi tiba-tiba ‘Umar bertanya: “Apa yang menghalangimu sehingga kembali pulang?” Jawabku: “Aku tadi sudah meminta izin hingga tiga kali, namun tidak diberi izin maka aku pulang kembali, karena Rasulullah saw bersabda: “Apabila salah seseorang dari kalian sudah meminta izin tiga kali, namun tidak diberi izin, hendaklah ia kembali pulang.” ‘Umar berkata: “Demi Allah, sungguh kamu harus memberiku satu bukti yang jelas.” Abu Musa bertanya: “Apakah di antara kalian ada yang pernah mendengarnya dari Nabi saw?” Ubay ibn Ka’ab menjawab: “Demi Allah, tidak akan pergi bersamamu melainkan orang yang paling muda. Dan aku ternyata orang yang paling muda.” Lalu aku pergi bersamanya menemui Umar, dan aku pun memberitahukan kepada Umar bahwa Nabi saw benar bersabda seperti itu (Shahih al-Bukhari kitab al-isti`dzan bab at-taslim wal-isti`dzan tsalatsan no. 6245).
Sesudah mendapatkan saksi yang kredibel atas berita dari Abu Musa ra tersebut, ‘Umar ra kemudian berkata kepada Abu Musa ra:
أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّه ﷺ
Sungguh aku tidak meragukanmu, hanya aku takut ada orang-orang yang membuat-buat sabda Rasulullah saw (Muwaththa` Malik kitab al-jami’ no. 1520).
Sementara itu dalam riwayat ‘Ubaid ibn ‘Umair (tabi’in, w. 68 H) dari Abu Musa ra sendiri, dijelaskan bahwa ‘Umar ra kemudian berkata sebagai berikut:
فَقَالَ عُمَرُ أَخَفِيَ هَذَا عَلَيَّ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَلْهَانِي الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ يَعْنِي الْخُرُوجَ إِلَى تِجَارَةٍ
‘Umar berkata: “Mengapa luput dariku hal dari perintah Rasulullah saw ini. Telah melalaikanku transaksi di pasar.” Maksudnya kegiatan berdagangnya (Shahih al-Bukhari bab al-khuruj fit-tijarah no. 2062).
Padahal sebagaimana dituturkan ‘Umar ra sendiri, dirinya sudah cukup disiplin membagi waktu antara belajar dan bekerja untuk mencari nafkah. Pada saat jadwal bekerjanya pun ia sudah mewakilkan belajar kepada tetangganya, agar nanti ketika ia pulang belajar dari Rasul saw ia berbagi ilmu kepada ‘Umar ra:
عَنْ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنْ الْأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ
Dari ‘Umar ia berkata: “Aku dan tetanggaku dari Anshar yang berada di desa Bani Umayyah ibn Zaid daerah dataran tinggi di Madinah, kami saling bergantian datang ke majelis Rasul saw. Satu hari ia yang datang dan hari lainnya aku yang datang. Jika giliranku datang, maka aku memberi tahu kepadanya seputar wahyu yang turun hari itu dan perkara lainnya. Dan jika giliran tetanggaku yang datang, ia pun melakukan hal yang sama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab at-tanawub fil-‘ilm no. 89).
Maka dari itu ketika Abu Hurairah ra (masuk Islam tahun 7H, hanya sekitar tiga tahun hidup bersama Rasulullah saw) membela diri terkait tuduhan miring kepadanya bahwa ia terlalu banyak meriwayatkan hadits di samping shahabat-shahabat lainnya yang jauh lebih senior dalam masuk Islamnya, Abu Hurairah ra menjelaskan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلَا آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ}إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالْأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ بِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لَا يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لَا يَحْفَظُونَ
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang berkata: ‘Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits.’ Seandainya tidak ada dua ayat dalam kitab Allah, aku tidak akan meriwayatkan satu hadits pun.” Abu Hurairah kemudian membaca ayat: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang—QS. al-Baqarah [2] : 159-160. Abu Hurairah ra berkata lagi: “Sesungguhnya saudara-saudara kami dari Muhajirin tersibukkan oleh transaksi di pasar, sementara saudara-saudara kami dari Anshar tersibukkan oleh bekerja di pekerjaan mereka. Sementara Abu Hurairah terus menemani Rasulullah saw agar selalu kenyang perutnya, sehingga ia hadir ketika mereka tidak hadir dan hafal ketika mereka tidak hafal.” (Shahih al-Bukhari bab hifzhil-‘ilm no. 118).
Penuturan Abu Hurairah ra ini dan pengakuan jujur ‘Umar ra di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap hadits atau ilmu-ilmu keislamanan sangat terpengaruh oleh sejauh mana konsentrasi seseorang terhadapnya. Meskipun ‘Umar ra sangat perhatian dengan hadits, tetapi aktifitas sehari-harinya yang juga tersita oleh berdagang dan berkebun di dataran tinggi Madinah, setidaknya akan mengurangi pengetahuannya terhadap hadits-hadits Nabi saw. Itulah sebabnya, menurut ‘Umar ra sendiri, ada saja hadits Nabi saw yang luput dari pengetahuannya.
Bahkan untuk sekelas Abu Hurairah ra sendiri pun masih ada kurang pengetahuannya dalam kasus-kasus tertentu yang ia kebetulan tidak mengetahuinya.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَ مَرْوَانَ أَنَّ عَائِشَةَ وَأُمَّ سَلَمَةَ أَخْبَرَتَاهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ وَقَالَ مَرْوَانُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ أُقْسِمُ بِاللَّهِ لَتُقَرِّعَنَّ بِهَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَمَرْوَانُ يَوْمَئِذٍ عَلَى الْمَدِينَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَكَرِهَ ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ثُمَّ قُدِّرَ لَنَا أَنْ نَجْتَمِعَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ وَكَانَتْ لِأَبِي هُرَيْرَةَ هُنَالِكَ أَرْضٌ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكَ أَمْرًا وَلَوْلَا مَرْوَانُ أَقْسَمَ عَلَيَّ فِيهِ لَمْ أَذْكُرْهُ لَكَ فَذَكَرَ قَوْلَ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ فَقَالَ كَذَلِكَ حَدَّثَنِي الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَهُنَّ أَعْلَمُ. وَقَالَ هَمَّامٌ وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَأْمُرُ بِالْفِطْرِ. وَالْأَوَّلُ أَسْنَدُ
Abu Bakar ibn ‘Abdirrahman ibn al-Harits ibn Hisyam berkata: Ayahnya, ‘Abdurrahman memberitahu Marwan bahwasanya ‘Aisyah dan Ummu Salamah memberitahu kepadanya: “Rasulullah saw pernah sampai waktu fajar dalam keadaan junub dari sebab keluarganya (jima’), kemudian beliau mandi dan shaum.” Marwan berkata kepada ‘Abdurrahman ibn al-Harits: “Aku bersumpah demi Allah, kamu harus menyampaikannya kepada Abu Hurairah.” Marwan saat itu menjabat Amir di Madinah. Kata Abu Bakar: ‘Abdurrahman merasa segan untuk hal itu. Kemudian ditaqdirkan kami bertemu di Dzul-Hulaifah dan Abu Hurairah saat itu mempunyai tanah di sana. ‘Abdurrahman berkata kepada Abu Hurairah: “Saya terpaksa menyampaikan sesuatu kepada anda. Seandainya saja Marwan tidak mendesakku, aku tidak akan menyampaikannya.” Ia kemudian menceritakan pernyataan ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Abu Hurairah menjawab: “Memang seperti itulah al-Fadll ibn ‘Abbas menyampaikan hadits kepadaku (bahwa junub membathalkan shaum). Tetapi mereka (istri-istri Rasul saw) tentu lebih mengetahui.” Hammam dan Ibn ‘Abdillah ibn ‘Umar berkata dari Abu Hurairah: “Nabi saw memerintahkan berbuka (bagi yang junub sampai shubuh).” Imam al-Bukhari berkata: “Hadits pertama lebih kuat dijadikan sandaran.” (Shahih al-Bukhari bab as-sha`im yushbihu junuban no. 1925-1926).
Data-data riwayat di atas menunjukkan bahwa siapapun harus mencurahkan waktunya untuk belajar hadits. Baik itu yang harus bekerja mencari nafkah seperti ‘Umar ibn al-Khaththab ra, atau bahkan yang sudah serius belajar hadits seperti Abu Hurairah ra. Ketawadluan merupakan kunci adab dari semua pembelajar ilmu, sebab ilmu selalu tidak berbatas, sementara pengetahuan manusia selalu berbatas. Wal-‘Llahu a’lam.