Perlombaan Yang Halal dan Haram

P

Hukum asal perlombaan itu adalah halal. Statusnya menjadi haram jika ada unsur-unsur yang mengharamkan, yakni: (1) Melalaikan dari kewajiban agama, (2) mengandung unsur perjudian, dan (3) terdapat hal-hal yang menyalahi syari’at ketika melangsungkan permainannya, seperti mencederai dengan sengaja. Bahkan beberapa perlombaan ada yang Nabi saw anjurkan untuk diadakan, seperti lomba balap kuda, balap unta, dan memanah.


Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram menulis satu bab khusus tentang perlombaan: bab as-sabq war-ramy (bab perlombaan dan memanah). Hadits-hadits yang dituliskannya adalah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَابَقَ النَّبِيُّ ( بِالْخَيْلِ الَّتِي قَدْ أُضْمِرَتْ, مِن الْحَفْيَاءِ, وَكَانَ أَمَدُهَا ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ. وَسَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي لَمْ تُضْمَرْ مِنَ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ, وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ فِيمَنْ سَابَقَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Ibnu Umar ra berkata: “Nabi saw pernah mengadakan lomba kuda yang dikuruskan dari Hafaya’ dan berakhir di Tsaniyyatul Wada‘. Beliau pernah juga mengadakan lomba kuda yang tidak dikuruskan dari Tsaniyyah hingga Bani Zuraiq, dan Ibnu Umar adalah termasuk orang yang ikut berlomba.” (Disepakati keshahihannya [berdasarkan standar keshahihan al-Bukhari dan Muslim]).

زَادَ الْبُخَارِيُّ, قَالَ سُفْيَانُ: مِنَ الْحَفْيَاءِ إِلَى ثَنِيَّةِ الْوَدَاع خَمْسَةِ أَمْيَالٍ, أَوْ سِتَّةَ, وَمِنَ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ مِيلٍ

Al-Bukhari menambahkan: Sufyan berkata: “Jarak antara Hafaya’ dan Tsaniyyatul Wada’ lima atau enam mil, dan dari Tsaniyyah hingga masjid Bani Zuraiq satu mil.”

وَعَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ( سَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ, وَفَضَّلَ الْقُرَّحَ فِي الْغَايَةِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ.

Dari Ibnu Umar ra: “Nabi saw pernah memperlombakan kuda-kuda dan melebihkan jarak tempuhnya bagi kuda-kuda yang telah berumur cukup (lima tahun ke atas).” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban).
Nabi saw membedakan jarak tempuh lomba balap kuda antara kuda yang dikuruskan dan yang tidak dikuruskan karena memang kuda yang dikuruskan itu adalah kuda yang sengaja diurus oleh pemiliknya agar bisa berlari kencang, sementara kuda yang tidak dikuruskan tidak diperuntukkan oleh pemiliknya agar bisa berlari kencang. Demikian halnya Nabi saw membedakan jarak tempuh antara kuda yang masih di bawah umur (kurang dari 5 tahun) dengan kuda-kuda yang sudah cukup umurnya (5 tahun ke atas). Perbedaan kualitas dasar dari kuda-kuda ini memestikan perbedaan pula dalam jarak tempuhnya. Ini menunjukkan bahwa perlombaan yang diselenggarakan harus mempertimbangkan kesetaraan kualitas dasar dari para pesertanya. Jika kuda yang dikuruskan diperlombakan dengan kuda yang tidak dikuruskan, ini jelas tidak setara dan tidak boleh diperlombakan dalam satu perlombaan yang sama. Atau kuda yang sudah cukup umur diperlombakan dengan kuda yang belum cukup umurnya, ini juga sama tidak boleh karena tidak setara. Apabila ada perlombaan yang mengabaikan ketidaksetaraan ini, maka hukumnya menjadi haram dan termasuk perjudian, sebab sudah menjadikan perlombaan itu semata-mata untuk meraih kemenangan dengan cara yang tidak adil.
Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan satu riwayat untuk dijadikan penguat hadits-hadits di atas:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( عَنِ النَّبِيِّ ( قَالَ: مَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ لَا يَأْمَنُ أَنْ يَسْبِقَ فَلَا بَأْسَ بِهِ, وَإِنْ أَمِنَ فَهُوَ قِمَارٌ. رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengikutsertakan seekor kuda antara dua kuda yang berlomba, sedang ia tidak merasa pasti menang, hukumnya tidak apa-apa. Namun bila ia yakin akan menang, maka itu termasuk judi.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan sanadnya lemah).
Catatan: Al-Hafizh menjelaskan dalam kitabnya yang lain, at-Talkhishul-Habir, bahwa hadits ini lemah sebagai hadits marfu’ dari Nabi saw. Tetapi sebagai atsar dari Sa’id ibn al-Musayyib (w. 90 H) statusnya shahih. Imam Malik dalam al-Muwaththa` juga meriwayatkan demikian. Al-Hafizh menuliskan hadits ini dalam Bulughul-Maram sebagai keterangan tambahan untuk hadits-hadits shahih sebelumnya. Hadits dla’if yang ada ashalnya berupa hadits shahih—berdasarkan manhaj yang dipegang oleh al-Hafizh—bisa dijadikan rujukan.
Maksud riwayat di atas adalah orang yang ikut memperlombakan kudanya tetapi kuda yang ia sertakan kualitas dasarnya lebih tinggi daripada kuda-kuda yang diperlombakan, maka itu sudah termasuk berjudi. Jika kualitas dasarnya setara, maka itu tidak berdosa, sebagaimana sudah disinggung dalam hadits-hadits sebelumnya.
Al-Hafizh Ibn Hajar juga menuliskan hadits tentang perlombaan-perlombaan yang dianjurkan oleh Nabi saw:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ( قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ (: لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ نَصْلٍ أَوْ حَافِرٍ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالثَّلَاثَة وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada perlombaan berhadiah kecuali pada (lomba) sepatu (unta), mata (panah/pedang/tombak), atau sepatu (kuda).” (Riwayat Ahmad dan Tiga Imam [Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i]. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban).
Catatan: Lafazh “sabaq” (huruf ‘ba’ difathah) artinya hadiah perlombaan. Sementara “sabq” (huruf ‘ba’ disukun) artinya perlombaan itu sendiri. Para ulama pensyarah hadits sepakat bahwa riwayat yang kuat dari hadits di atas adalah “sabaq”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan:

وَقَدْ أَجْمَعَ اَلْعُلَمَاءُ كَمَا تَقَدَّمَ عَلَى جَوَازِ الْمُسَابَقَةِ بِغَيْرِ عِوَضٍ لَكِنْ قَصَرَهَا مَالِك وَالشَّافِعِيُّ عَلَى اَلْخُفِّ وَالْحَافِرِ وَالنَّصْلِ وَخَصَّهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ بِالْخَيْلِ وَأَجَازَهُ عَطَاءٌ فِي كُلِّ شَيْءٍ.

Para ulama sepakat—sebagaimana sudah dibahas—bolehnya mengadakan perlombaan tanpa hadiah. Akan tetapi Imam Malik dan as-Syafi’i membatasinya hanya pada lomba unta, kuda, dan menembak.
Sebagian ulama lainnya mengkhususkan pada lomba kuda saja. Sementara ‘Atha` membolehkannya dalam semua jenis perlombaan.

وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِهَا بِعِوضٍ بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الْمُتَسَابِقَيْن كَالْإِمَامِ حَيْثُ لَا يَكُونُ لَهُ مَعَهُمْ فَرَسٌ. وَجَوَّزَ اَلْجُمْهُور أَنْ يَكُونَ مِنْ أَحَدِ اَلْجَانِبَيْنِ مِنْ اَلْمُتَسَابِقَيْن وَكَذَا إِذَا كَانَ مَعَهُمَا ثَالِثٌ مُحَلِّلٍ بِشَرْطِ أَنْ لَا يُخْرِجَ مِنْ عِنْدِهِ شَيْئًا لِيُخْرِجَ الْعَقْدَ عَنْ صُورَةِ الْقِمَارِ وَهُوَ أَنْ يُخْرِجَ كُلٌّ مِنْهُمَا سَبَقًا فَمَنْ غَلَبَ أَخَذَ اَلسَّبَقَيْنِ فَاتَّفَقُوا عَلَى مَنْعِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ شَرَطَ فِي الْمُحَلِّلِ أَنْ يَكُونَ لَا يَتَحَقَّقُ اَلسَّبْق فِي مَجْلِس اَلسَّبْق

Para ulama juga bersepakat boleh mengadakan perlombaan berhadiah dengan syarat hadiah tersebut bukan berasal dari para peserta yang ikut perlombaan. Misalnya hadiah berasal dari Pemerintah yang kuda mereka tidak ikut perlombaan tersebut. Sementara dalam hal hadiah berasal dari peserta yang berlomba, jumhur ulama membolehkannya juga, bahkan meski ada pihak ketiga yang menjadi muhallil (yang mendesak peserta lain untuk mengalah dengan memberinya imbalan). Asal syaratnya peserta tidak mengeluarkan sesuatu untuk menjadikan akadnya sebagai perjudian, yakni masing-masing mengeluarkan harta untuk dijadikan hadiah, lalu disepakati siapa yang menang maka ia mengambil hadiah yang sudah terkumpul tersebut. Yang seperti ini para ulama sepakat menyatakan terlarang. Di antara ulama juga ada yang mensyaratkan muhallil tidak boleh dalam keadaan pasti menang pada perlombaan tersebut (Fathul-Bari kitab al-jihad was-siyar bab as-sabq bainal-khail no. 2656).
Dari penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar di atas diketahui bahwa:
Pertama, para ulama sepakat bolehnya perlombaan yang tidak berhadiah.
Kedua, para ulama juga sepakat bahwa perlombaan berhadiah diperbolehkan sepanjang peserta tidak dipungut bayaran. Hadiah disediakan murni oleh panitia atau pihak lain yang tidak ikut berlomba.
Ketiga, mayoritas ulama menyatakan boleh memungut bayaran dari peserta untuk perlombaan berhadiah, dengan syarat hadiah tersebut bukan hanya dari bayaran para peserta saja, tetapi ada juga dari pihak lain yang tidak ikut berlomba. Hanya sebagian kecil saja ulama yang mengharamkan adanya bayaran dari peserta dengan model seperti ini.
Keempat, para ulama sepakat jika perlombaan akadnya judi hukumnya haram. Akad judi yang dimaksud adalah setiap yang berlomba mengumpulkan bayaran masing-masing, lalu disepakati siapa yang menang ia akan mengambil semua bayaran yang terkumpul tersebut. Model perlombaan seperti ini disepakati keharamannya karena termasuk judi.
Kelima, jika ada pihak yang menjadi muhallil dalam satu perlombaan, tidak menjadikan perlombaan tersebut haram sepanjang perlombaan diselenggarakan dengan adil dan setara.
Keenam, para ulama tidak sepakat tentang jenis-jenis perlombaan yang diperbolehkan. Imam Malik dan as-Syafi’i membatasinya sebagaimana dalam hadits saja yakni lomba unta, kuda, dan menembak. Ulama lainnya hanya lomba kuda saja, sebab yang Nabi saw adakan hanya lomba kuda saja. Sementara ‘Atha` (w. 114 H) membolehkan semua jenis perlombaan.
Dari penjelasan al-Hafizh di atas maka bisa disimpulkan bahwa perlombaan diperbolehkan sepanjang peserta tidak dipungut bayaran. Kalaupun dipungut bayaran, sepanjang hadiahnya bukan hanya dari bayaran tersebut saja, maka diperbolehkan juga, sebab tidak termasuk judi.
Terkait jenis perlombaan yang Nabi saw batasi hanya pada lomba unta, kuda, dan menembak, al-Hafizh Ibn Hajar memberikan isyarat terkait motifnya dengan menuliskan hadits berikut masih pada bab “perlombaan”:

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ( قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ( وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقْرَأُ: {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ} [الأنفال: 60] أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ, أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ, أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

‘Uqbah ibn ‘Amir ra berkata: Aku mendengar Rasulullah saw di atas mimbar membaca: “Dan siapkanlah kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi mereka sekuat tenagamu…”. Ingatlah kekuatan itu adalah memanah. Ingatlah kekuatan itu adalah memanah. Ingatlah kekuatan itu adalah memanah.” Riwayat Muslim.
Ayat yang dikutip di atas (QS. al-Anfal [8] : 60) adalah perintah untuk i’dad quwwah (bersiap diri selalu mengumpulkan kekuatan) dan i’dad ribathil-khail (melatih kuda-kuda agar selalu siap digunakan) meski tidak sedang berperang, karena tujuannya “menakut-nakuti” (irhab) musuh. Lalu Nabi saw menjelaskan bahwa quwwah itu adalah “menembak” atau jika dipahami secara luas adalah menyiapkan keahlian bersenjata. Jadi secara tidak langsung ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berlatih menembak dan berkuda. Jika Nabi saw menyatakan dalam hadits Abu Hurairah di atas bahwa perlombaan itu hanya pada menembak dan lomba kuda/unta saja, itu kaitannya adalah dengan i’dad (mempersiapkan diri selalu) yang diperintahkan ayat ini, yakni untuk menakut-nakuti musuh. Artinya latihan dan persiapan itu bisa dilaksanakan dengan cara menggelar perlombaan.
Maka dalam hal ini, hemat kami, bisa diberlakukan qiyas (persamaan) untuk perlombaan lainnya di luar lomba kuda/unta dan menembak. Yakni, setiap perlombaan yang tujuan utamanya i’dad; melatih kemampuan dan kekuatan, untuk kepentingan Islam, hukumnya diperbolehkan. Sebut misalnya lomba tahfizh, tahsin/tilawah, dan syarah/tafsir al-Qur`an, hifzhul-hadits, dan lomba-lomba lainnya dalam dunia kependidikan yang diperuntukkan meningkatkan pelatihan kemampuan generasi muda, untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin. Tentunya sepanjang tidak mengandung unsur-unsur haram sebagaimana sudah disinggung di atas.
Wal-‘Llahu a’lam