Perayaan Agustusan Hanya Duniawi
Bismillah, maaf saya mau tanya. Betulkah perayaan agustusan hanya sebatas duniawi saja dan tidak dijadikan ibadah sehingga tidak bid’ah?
Yang pokok dari agustusan itu, hemat kami, bukan persoalan bid’ahnya, melainkan tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam hal merayakan hari ulang tahun atau kemerdekaan itu sendiri. Sebab jika kemerdekaan dalam konteks zaman Nabi saw adalah fathu Makkah/penaklukan Makkah, baik QS. al-Fath [48] dan an-Nashr [110] tidak ada yang menganjurkannya. Nabi saw dan para shahabat juga tidak mementingkannya seperti sudah menjadi tradisi di orang-orang kafir. Bahkan yang diajarkan oleh al-Qur`an dalam menyambut kemerdekaan itu adalah dengan memperbanyak dzikir; tasbih, tahmid, dan istighfar. Bukan dengan pesta seperti lumrah dirayakan pada perayaan Agustusan.
Meski demikian, kami harus mengakui ijtihad ulama lain yang berbeda sebagai sebuah adab yang diajarkan Islam, yakni bahwa satu ijtihad tidak bisa saling membatalkan dengan ijtihad yang lainnya. Jangankan kepada ulama yang berbeda ijtihad, kepada sesama muslim yang bukan ulama pun sikap saling menghormati harus tetap dikedepankan.
Hanya kami juga ingin mengingatkan bahwa ijtihad serupa sudah lama diberlakukan pada perayaan maulid Nabi saw (muludan), milad/ulang tahun seseorang, dan peringatan milad/hari lahir sebuah lembaga. Hemat kami, kalau terpaksa hendak memvonis semua yang disebut terakhir ini bid’ah, tidak perlu membawa dalil bahwa semua bid’ah sesat. Sebab dalil yang terakhir ini cocoknya untuk aliran sesat semisal Syi’ah, Ahmadiyah, dan semacamnya.
Perayaan maulid Nabi saw (muludan), milad/ulang tahun seseorang, dan milad/peringatan hari lahir sebuah lembaga saat ini sudah sering dinyatakan oleh para ulamanya sebagai sebuah seremonial duniawi semata; tidak ada kaitannya dengan aqidah dan ibadah. Maka bisa disaksikan hampir semua ormas, orpol, dan lembaga Islam selalu merayakan milad/peringatan hari lahir. K.H. Ali Mustafa Ya’kub rahimahul-‘Llah, sebagai seorang ulama hadits yang menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal sebelum wafatnya juga sering menyatakan bahwa peringatan maulid Nabi saw hanya peringatan duniawi, bukan suatu ibadah, maka dari itu tidak tepat disebut bid’ah, sama halnya dengan peringatan Agustusan dan lainnya. Perayaan maulid hanya momentum untuk mengingat kembali perjuangan Nabi saw dalam berdakwah, sekaligus berbagi kebahagiaan dengan masyarakat. Ataupun tokoh-tokoh besar Islam seperti Buya Hamka dan M. Natsir juga sering diperingati di setiap moment tahunnya, apakah itu 70 tahun, 80 tahun, sampai seabadnya. Jika faktanya semua peringatan ulang tahun itu sudah didudukkan sebagai sebuah rutinitas duniawi dan tidak dikaitkan dengan ibadah, maka berdasarkan ijtihad yang saudara tanyakan berarti hukumnya menjadi halal semuanya. Tidak perlu lagi untuk ikut merayakannya.
Ikhtilaf di kalangan para ulama atas suatu hukum statusnya syubhat (samar). Disebut halal; tidak jelas halalnya karena ada yang mengharamkan. Disebut haram; tidak jelas haramnya karena ada yang menghalalkan. Masing-masing yang menghalalkan dan mengharamkan tersebut memiliki dalil-dalil dan hujjah-hujjah yang kuat. Sesuatu yang syubhat seperti ini Nabi saw perintahkan untuk dijauhi, agar benar-benar selamat dan bersih dari yang haram 100%. Jika melibatkan diri, maka pasti ada haram yang kena padanya meski entah berapa persennya.
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Maka siapa yang menjauhkan diri dari perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Tetapi siapa yang kena pada perkara yang syubhat, maka ia telah kena pada perkara yang haram (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fadli man istabra`a li dinihi no. 52).
Kecuali bagi mereka yang dlarurat; dipaksa oleh penguasa dan tidak punya pilihan lain untuk melarikan diri. Maka diperbolehkan mengikuti pendapat ulama yang menghalalkan, tentunya dengan tetap menjauhi hal-hal yang sudah disepakati haramnya seperti aqidah syirik, ritual bid’ah, dan maksiat.