Pemerintahan Jokowi periode kedua menjadikan anti-radikalisme sebagai program utamanya. Kriteria radikalisme itu adalah anti-Pemerintah, anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-UUD 45, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Doktrin dan ajaran khilafah dianggap sebagai anti-NKRI. Lembaga atau ormas mana pun yang mengajarkan khilafah pasti dicap radikal dan harus dibubarkan paksa, apakah itu tempat kajiannya atau lembaga/ormasnya. Padahal Perguruan Tinggi Islam yang membuka jurusan Fiqih Siyasah (politik Islam) sudah banyak bertebaran di penjuru negeri. Mengapa Pemerintah masih gagal paham terhadap khilafah?
Sangat disayangkan Pemerintah masih gagal paham dengan khilafah. Khilafah diasumsikan sebagai ajaran yang mengancam NKRI, oleh sebab itu terlarang diajarkan dan diperjuangkan di Indonesia. Padahal umat Islam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI itu karena ajaran khilafah dalam Islam. Melarang khilafah diajarkan dalam Islam sama saja dengan menyuburkan separatisme di tengah-tengah umat Islam.
Khilafah adalah ajaran agar umat Islam senantiasa tunduk kepada khalifah yang menjadi pimpinannya. Khalifah adalah pemimpin kaum muslimin yang disepakati oleh umat melalui mekanisme musyawarah. Mekanisme musyawarah tersebut bisa dilakukan oleh perwakilan umat seperti dalam pemilihan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra; bisa juga lewat penunjukan langsung (istikhlaf) oleh Khalifah sebelumnya seperti dalam pemilihan Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab ra; bisa melibatkan semua rakyat dengan membentuk panitia khusus sebagaimana halnya pemilihan Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan ra; atau bisa juga melalui pemilihan darurat yang kemudian Khalifah tersebut menggunakan kekuasaannya untuk memaksa lawan politiknya mengakui kekhalifahannya, seperti dalam pemilihan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib ra. Keempat Khalifah tersebut disepakati oleh umat Islam sebagai al-khulafa ar-rasyidun al-mahdiyyun (para khalifah yang memberi petunjuk dan mendapatkan petunjuk) yang mesti diikuti sunnah mereka di samping mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Maka dalam konteks pemilihan Khalifah pun, apa yang dilakukan oleh mereka menjadi sunnah untuk diikuti salah satunya sebagai pilihan. Nabi saw bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Kalian mesti mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk, peganglah ia dengan teguh dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan jauhilah olehmu perkara yang dibuat-buat, karena setiap yang dibuat-buat itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat (Sunan Abi Dawud kitab as-sunnah bab fi luzum as-sunnah no. 4609).
Pemilihan Khalifah model Abu Bakar ra adalah yang disebut oleh para ulama melalui Ahlul-Halli wal-‘Aqdi (Perwakilan Yang Berhak Memutuskan dan Membuat Peraturan). Dalam konteks Indonesia adalah melalui MPR/DPR seperti dalam pemilihan Presiden Soekarno s.d Presiden Megawati. Pemilihan Khalifah model ‘Umar ibn al-Khaththab ra dijadikan dalil keabsahan sistem monarchi absolut seperti di Kerajaan Saudi Arabia atau Kesultanan-kesultanan Islam Nusantara di periode sebelum kemerdekaan. Pemilihan Khalifah model ‘Utsman ibn ‘Affan ra adalah yang dipraktikkan di Indonesia saat ini melalui Pemilihan Umum, meski ada sedikit perbedaan karena dalam pemilihan Khalifah ‘Utsman ra lebih sesuai dengan “demokrasi Pancasila” dimana pilihan suara akhirnya ada di wakil rakyat, bukan langsung suara rakyat. Sementara pemilihan Khalifah model ‘Ali ibn Abi Thalib, ini adalah yang dijadikan dalil keabsahan Khalifah baru untuk setiap Daulah/Kesultanan, tentunya sepanjang Khalifah tersebut siap memimpin rakyatnya. Sebut misalnya Daulah Umawiyyah, Daulah ‘Abbasiyyah, Daulah Turki ‘Utsmani, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Banten, dan lain-lain. Semua kekhilafahan ini didirikan dengan kekuatan militer.
Siapapun Khalifah yang terpilih dengan mekanisme musyawarah yang legal seperti dijelaskan di atas maka ia sah sebagai Khalifah yang wajib ditaati. Dalam konteks Indonesia, ia adalah Presiden yang terpilih melalui Pemilihan Umum yang berlangsung secara benar berdasarkan legalisasi dari Mahkamah Konstitusi. Meski kemudian Presiden tersebut bukan orang yang terbaik atau bahkan berbuat zhalim kepada rakyat, ajaran khilafah mewajibkan umat Islam untuk tetap mengakuinya sebagai pemimpin umat dan tidak membelot darinya, apalagi memberontak dan separatis.
فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب
Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam).
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari (amar ma’ruf nahyi munkar), maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Shahabat ‘Ubadah ibn as-Shamit ra menjelaskan bahwa Nabi saw selalu mengambil bai’at dari para shahabat. Di antara bai’at tersebut adalah:
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Bai’at yang beliau ambil dari kami adalah, kami berbai’at untuk patuh dan taat, dalam senang dan tidak senang, dalam susah dan mudah, dalam ketidakmerataan pembagian harta di antara kami dan agar kami tidak melepas urusan ini (bai’at kepemimpinan) dari pemiliknya. Kecuali jika kalian melihat kufur yang terang-terangan. Kalian sudah punya penjelasannya dari Allah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy saw satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 6533).
Dua hadits terakhir di atas jelas menyebutkan khalifah yang masih shalat dan masih muslim tetap wajib ditaati meski tidak memerintah dengan baik. Tetapi tetap harus disertai amar ma’ruf nahyi munkar.
Tugas utama Khalifah adalah menunaikan amanah kepada rakyat dan menetapkan hukum dengan adil. Hukum yang adil adalah hukum Allah, bukan hukum selain hukum Allah atau hukum Jahiliyyah.
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (QS. an-Nisa` [4] : 58).
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ ٢٦
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (QS. Shad [38] : 26).
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Ma`idah [5] : 50).
Hukum Allah itu wujudnya adalah syari’at Islam. Pemerintah tidak boleh alergi dengan “syari’at Islam”, sebab ia legal dijadikan hukum di Indonesia berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana dinyatakan dalam konsiderannya: “berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Tentunya penegakan syari’at Islam oleh umat Islam tidak mungkin dengan cara inkonstitusional atau separatisme, melainkan melalui proses yang legal dan konstitusional seperti halnya syari’at Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam.” (Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.8). Wal-‘Llahu a’lam.