Muslim Laksana Kafir
Seorang muslim akan selalu tetap sebagai muslim selama ia meyakini la ilaha illal-‘Llah. Akan tetapi seorang muslim tidak mustahil hidup laksana orang kafir, jika ia memilih pola hidup yang sama dengan orang kafir. Dalam kondisi seperti ini ia akan rentan menjadi murtad (keluar dari Islam) tanpa ia sadari.
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيۡنَ ٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ وَيَقُولُونَ نُؤۡمِنُ بِبَعۡضٖ وَنَكۡفُرُ بِبَعۡضٖ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ١٥٠ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dan yang mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian (rasul) dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir, maksudnya munafiq), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS. An-Nisa` [4] : 150-151)
Orang-orang kafir memilih kufur kepada Allah swt karena memiliki sikap hidup yang mengutamakan dunia di atas akhirat. Yang dalam taraf puncaknya menjadikan mereka sama sekali tidak percaya adanya akhirat. Allah swt menjelaskan:
مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرٗا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٦ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسۡتَحَبُّواْ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا عَلَى ٱلۡأٓخِرَةِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ١٠٧
Orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (QS. an-Nahl [16] : 106-107).
Sikap mengutamakan dunia ini menyebabkan mereka tergila-gila kepada dunia; mengangankan hidup di dunia selama 1000 tahun dan benar-benar takut mati:
وَلَتَجِدَنَّهُمۡ أَحۡرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٖ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمۡ لَوۡ يُعَمَّرُ أَلۡفَ سَنَةٖ وَمَا هُوَ بِمُزَحۡزِحِهِۦ مِنَ ٱلۡعَذَابِ أَن يُعَمَّرَۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِمَا يَعۡمَلُونَ
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka (orang-orang kafir Yahudi), manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (QS. al-Baqarah [2] : 96).
Maka dari itu, ketakutan akan selalu menjadi sifat yang abadi bagi mereka; takut mati dan takut hartanya berkurang. Penyebab orang-orang kafir selalu kalah ketika berperang dengan orang-orang yang beriman adalah ketakutan akan mati dan sengsara di dunia: (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka (QS. al-Anfal [8] : 12).
Dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 151, Allah swt menjelaskan bahwa ketakutan itu pasti dirasakan karena mereka bergantung pada sesuatu yang tidak kuat, yang mana mungkin bisa memberikan ketenteraman: Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang dzalim.
Maka dari itu orang-orang yang membangkang dari membayar zakat karena takut hartanya berkurang, disebut oleh Allah swt sebagai orang-orang yang musyrik, karena sudah mempertuhankan hartanya:
وَوَيۡلٞ لِّلۡمُشۡرِكِينَ ٦ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُم بِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ كَٰفِرُونَ ٧
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat (QS. Fushshilat [41] : 6-7).
Padahal, dunia tidak pernah bisa dijadikan tempat bergantung, sebab semua yang ada di dunia ini akan selalu habis dan musnah. Ketika dunia pada faktanya harus habis dan musnah, di sanalah ketakutan yang selalu menyelimuti orang-orang kafir akan benar-benar mereka rasakan menyiksa mereka. Orang-orang seperti ini tentu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan; baik di dunia ataupun di akhirat.
Sebagai seorang muslim, kita semua diajarkan oleh Nabi saw untuk tidak memiliki gaya hidup orang kafir seperti itu, yang disebutkan oleh Nabi saw dalam hadits sebagai “budak dunia”. Nabi saw bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيكَ فَلَا انْتَقَشَ
Celaka hamba dinar, hamba dirham, dan hamba pakaian segi empat. Jika ia diberi, ia ridla, tapi jika tidak diberi, ia marah. Celaka dan terus terjatuhlah ia, jika tertusuk duri tidak ada yang bisa mencabutnya (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab ma yuttaqa min fitnatil-mal no. 6435; kitab al-jihad was-siyar bab al-hirasah fil-ghazwi fi sabilillah no. 2886, 2887).
Budak dunia yang Nabi saw gambarkan dalam hadits di atas adalah seseorang yang terpenjara dengan dunia; dinar, dirham, pakaian, dan semua aksesoris dunia. Bahagia dan tidaknya ia sangat tergantung dari dunia yang dimiliki. Padahal dunia tidak selamanya ada, bahkan yang pasti dia akan tiada; harta tidak selamanya banyak, yang pasti justru akan berkurang dan habis, di sanalah seorang budak dunia akan mengalami celaka. Ketika dunia tidak ada, maka ia akan menjadi seseorang yang stress, tertekan, dan penuh amarah. Orang seperti ini Nabi saw gambarkan sebagai orang yang tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Meski ia merasakan kebahagiaan ketika dunia dan harta ada, itu hanya sesaat, sejurus kemudian ia akan hidup stress kembali dan tertekan. Kebahagiaannya tidak pernah berarti apa-apa, sebab ia tidak pernah bisa melepaskan diri dari stress ditinggalkan dunia. Orang seperti ini Nabi saw sebutkan dalam hadits di atas: ta’isa wa intakasa, maksudnya akan senantiasa terjatuh, dan kalau bangun akan terjatuh kembali pada jurang yang lebih parah. Nabi saw gambarkan pula: idza syika fa la intaqasya, maksudnya ketika ia stress (digambarkan dengan syika; tertusuk duri) tidak akan ada seorang pun, termasuk psikiater yang handal, yang bisa menyembuhkannya (digambarkan dengan fa la intaqasya; tidak ada yang bisa mencabut durinya). Sebab ia sendiri yang ingin menusuk dirinya dengan duri, sehingga hanya keinginannya itulah yang bisa mencabut duri tersebut. Na’udzubil-‘Llah min dzalik