Musik vs al-Qur`an

Dua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan; sebab yang satu mubah dan yang satunya lagi wajib. Akan tetapi faktanya, dua hal ini selalu dipertentangkan. Yang satu selalu dimenangkan dan diprioritaskan sedang yang satunya lagi selalu kalah dalam prioritas atau malah ditinggalkan sama sekali.


Musik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah musik yang satu paket dengan lagunya. Dalam al-Qur`an istilahnya syi’r atau lahwul-hadits. Syi’r adalah teks-teks karya sastra yang disenandungkan, baik memakai alat musik atau tidak. Sedangkan lahwul-hadits artinya omongan/kisah yang menghibur dan melupakan seseorang dari hal-hal yang penting, bisa berupa musik/lagu atau kisah-kisah dongeng yang hari ini wujudnya novel, film, sinetron, dan sebagainya.
Al-Qur`an sendiri setidaknya menyoroti pertentangan musik dan al-Qur`an ini dalam tiga tempat: Pertama, dalam surat as-Syu’ara`.

وَٱلشُّعَرَآءُ يَتَّبِعُهُمُ ٱلۡغَاوُۥنَ ٢٢٤ أَلَمۡ تَرَ أَنَّهُمۡ فِي كُلِّ وَادٖ يَهِيمُونَ ٢٢٥  وَأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ مَا لَا يَفۡعَلُونَ ٢٢٦ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَذَكَرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱنتَصَرُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا ظُلِمُواْۗ وَسَيَعۡلَمُ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓاْ أَيَّ مُنقَلَبٖ يَنقَلِبُونَ ٢٢٧

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kedzaliman. Dan orang-orang yang dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (QS. as-Syu’ara` [26] : 224-227)
Maksud firman Allah swt di atas, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Ikrimah (mufassir tabi’in), setiap penyair selalu memiliki pengikut setia yang masing-masingnya selalu mengunggulkan penyair pujaannya. Tidak jarang pula mereka saling menghujat. Maka para pengikut setianya itulah, yang dalam bahasa hari ini fans, adalah orang-orang yang sesat. Sebabnya dijelaskan di ayat berikutnya: Pertama, mereka larut dalam hiburan yang banyak dari sya’irnya itu mengandung kesesatan, ibarat orang yang tersesat di suatu lembah. Itulah maksud dari ayat 225 sebagaimana dijelaskan para mufassir salaf (generasi awal; shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in). Kedua, lirik-lirik sya’irnya mengandung kebohongan. Apa yang didendangkan seringkali tidak sesuai dengan kejadian yang mereka alami. Jadi baik penciptanya, penyanyinya, terlebih lagi fansnya, mereka adalah orang-orang yang sesat.
Letak pertentangannya dengan al-Qur`an terlihat jika dibacanya dari ayat 192. Dari ayat-ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir, bisa diketahui bahwa Allah swt menegaskan al-Qur`an adalah kitab yang diwahyukannya, bukan bersumber dari setan, sebab setan tidak mungkin mampu menerima wahyu Allah swt. Setan hanya mampu membuat kabar-kabar bohong dan itu disampaikannya kepada tukang sihir, dukun, dan para penyair. Kalau ada yang lebih senang mengikuti abdi-abdi setan ini maka itulah orang-orang yang sesat.
Demikian halnya, letak pertentangannya dengan al-Qur`an terlihat dari ayat terakhirnya. Sebab ketika ayat ini turun, Hassan ibn Tsabit dan ‘Abdullah ibn Rawahah datang kepada Nabi saw sambil menangis. Mereka sedih karena Allah swt pastinya tahu bahwa para penyair itu adalah mereka. Maka Nabi saw pun membacakan ayat terakhir itu dan mengatakan: “Itulah kalian.” Maksudnya dikecualikan jika para penyair itu beriman, beramal shalih, ahli dzikir dan menggunakannya untuk membela diri dari sya’ir yang zhalim terhadap Islam (Tafsir Ibn Katsir).
Kedua, dalam surat Luqman.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٦ وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِ ءَايَٰتُنَا وَلَّىٰ مُسۡتَكۡبِرٗا كَأَن لَّمۡ يَسۡمَعۡهَا كَأَنَّ فِيٓ أُذُنَيۡهِ وَقۡرٗاۖ فَبَشِّرۡهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٧

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang menghibur untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. (QS. Luqman [31] : 6-7).
Yang dimaksud lahwul-hadits adalah semua perkataan/cerita yang menyibukkan seseorang dari hal-hal yang penting (ma yasyghulul-insan ‘amma ya’nihi). Demikian ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan maksud dari lahwun-nya. Masuk dalam kategori lahwul-hadits ini adalah seruling, musik, nyanyian/lagu, dan alat-alat musik lainnya. Demikian Ibn Katsir mencontohkannya berdasar pada pendapat para mufassir salaf. Pokoknya, Ibn Katsir menegaskan, yang memalingkan seseorang dari menyimak ayat-ayat Allah. Meski secara khusus ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir, tetapi berlaku juga bagi muslim yang tasyabbuh kepada mereka.
Letak pertentangannya dengan al-Qur`an, terlihat dari ayat sesudahnya, sebagaimana telah Ibn Katsir tegaskan di atas. Orang yang memprioritaskan musik secara otomatis akan jauh dari mendengar ayat-ayat Allah swt. Kalaupun diperdengarkan kepadanya lantunan dan kajian ayat-ayat Allah swt, ia serasa tidak mendengarnya karena tidak mampu menghayatinya dan menikmatinya. Telinganya hanya akan merasa terhibur jika didendangkan musik dan lagu-lagu yang omong kosong. Orang seperti ini sudah menyerupai orang kafir.
Ketiga, dalam surat Yasin.

وَمَا عَلَّمۡنَٰهُ ٱلشِّعۡرَ وَمَا يَنۢبَغِي لَهُۥٓۚ إِنۡ هُوَ إِلَّا ذِكۡرٞ وَقُرۡءَانٞ مُّبِينٞ ٦٩

Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan (QS. Yasin [36] : 69).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan, syi’r yang dinyatakan tidak layak bagi Nabi saw—dan tentu bagi umatnya juga karena harus meneladani beliau—adalah syi’r yang tidak mengandung dzikr (peringatan). Sebab faktanya dalam beberapa kesempatan seperti pada waktu perang, hari ‘Id, walimah pernikahan, dan melawan syi’r orang kafir, Nabi saw menganjurkan disenandungkan syi’r.
Dalam satu riwayat ‘Aisyah pernah ditanya oleh Abu Naufal:

عَنْ أَبِي نَوْفَلٍ قَالَ: سألتُ عَائِشَةَ: أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَسَامَعُ عِنْدَهُ الشِّعْرَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ أَبْغَضَ الْحَدِيثِ إِلَيْهِ

Dari Abu Naufal, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apakah Rasulullah saw pernah sengaja mendengarkan dengan penuh perhatian sya’ir/lagu?” ‘Aisyah menjawab: “Itu adalah perkataan/omongan/suara yang paling beliau benci.” (Musnad Ahmad bab hadits as-sayyidah ‘Aisyah no. 23871. Syu’aib al-Arnauth: Hadits shahih)
Saking bencinya, Abu Sa’id pernah menceritakan:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ نَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ بِالْعَرْجِ إِذْ عَرَضَ شَاعِرٌ يُنْشِدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ خُذُوا الشَّيْطَانَ أَوْ أَمْسِكُوا الشَّيْطَانَ لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Ketika kami berjalan bersama Rasulullah saw di satu dataran yang tinggi, tiba-tiba bertemu seseorang yang sedang menyanyikan sebuah sya’ir. Rasulullah saw bersabda: “Suruh setan itu berhenti, karena sungguh penuhnya badan kalian dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan sya’ir.” (Shahih Muslim kitab as-syi’r no. 6032).
Sungguh keras ancaman Nabi saw bagi orang yang sudah menjadikan musik/lagu sebagai bagian utama dari kehidupannya dan secara otomatis menjauhi al-Qur`an. Hatinya hanya terhibur dengan musik/lagu tetapi tidak tersentuh dengan al-Qur`an. Untuk musik/lagu ia selalu menjadwalkannya rutin, tetapi untuk kajian ayat Allah swt sekenanya saja. Untuk musik/lagu ia selalu hafal, tetapi al-Qur`an tidak. Sejatinya orang ini adalah setan. Rongga mulutnya sudah penuh dengan sesuatu yang lebih busuk daripada nanah. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.