Merdeka Tidak Perlu Pesta

Apa yang terlintas di pikiran rakyat Indonesia setiap kali mendengar kata “kemerdekaan”? Umumnya pasti pesta rakyat dan pentas musik. Sebab itulah yang tampak nyata setiap kali menyongsong 17 Agustus yang diperingati sebagai Hari Kemerdekaan. Rakyat Indonesia seakan-akan sudah menjadikannya keyakinan bahwa Hari Kemerdekaan harus diperingati dengan pesta rakyat dan pentas musik. Jika tidak demikian, maka nasionalisme Indonesia pun diragukan. Rakyat yang mengabaikannya pasti diberi stigma anti NKRI dan anti Pancasila.

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka   penjajahan   di   atas   dunia   harus   dihapuskan,   karena   tidak   sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang  kemerdekaan  Negara  Indonesia  yang  merdeka,  bersatu,  berdaulat,  adil  dan makmur.
Atas  berkat  rahmat  Allah  Yang  Maha  Kuasa  dan  dengan  didorongkan  oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
(Pembukaan UUD 1945)

 
Bandingkan teks pembukaan UUD 1945 di atas dengan kenyataan rakyat Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Kemudian bandingkan pula dengan stigma negatif kepada umat Islam yang tidak bersemangat ikut pesta rakyat dan pentas musik sebagai tidak nasionalis, anti NKRI dan anti Pancasila. Siapa sebenarnya yang tidak mengerti arti kemerdekaan? Siapa sebenarnya yang tidak nasionalis? Siapa sebenarnya yang anti NKRI dan anti Pancasila?
Para pendiri bangsa yang merumuskan teks Pembukaan UUD 1945 di atas menegaskan bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa. Kemerdekaan adalah perlawanan terhadap penjajahan. Pantaskah jika perjuangan para pejuang dahulu yang selalu dipenuhi dengan pekikan takbir, merdeka atau mati, bersimbah darah dan keringat, kemudian diisi dengan pesta dan hura-hura? Bukankah pernyataan “Atas  berkat  rahmat  Allah  Yang  Maha  Kuasa” terlalu suci untuk dipadukan dengan pesta pora dan hura-hura?
Sudah sepantasnya perjuangan para pendahulu dilanjutkan dengan menyempurnakan kemerdekaan. Jika penjajahan dalam bentuk negara asing yang memerintah di negeri ini sudah angkat kaki, faktanya penjajahan dalam bentuk negara asing yang turut mengatur pemerintahan di negeri ini masih bercokol. Salah satu buktinya, utang Pemerintah Indonesia hingga Juni 2017 mencapai Rp 3.706,52 triliun (detik.com). Tidak terbayangkan seberapa besarnya. Ini yang menyebabkan Indonesia tidak bisa merdeka dalam mengatur kekayaan alamnya sendiri karena banyak yang didikte oleh asing. Akibatnya yang untung besar negara/perusahaan asing, bukan rakyat Indonesia. Sama persis dengan zaman penjajahan Belanda dengan VOC-nya dahulu yang merampas rempah-rempah dan kekayaan bumi lainnya untuk dijual di luar negeri dan dinikmati hasilnya oleh mereka, bukan oleh rakyat Indonesia.
Akar masalahnya adalah kelemahan sumber daya manusia Indonesia untuk mengolah kekayaan alamnya sendiri. Banyaknya manusia yang menghuni bumi Indonesia tidak seimbang dengan kualitas yang dimiliki. Rakyat Indonesia tidak mempunyai daya saing yang tinggi dan minim kemampuan dalam mengolah ekonominya sendiri. Itu semua karena memang sehari-harinya rakyat Indonesia lebih banyak yang terbuai dengan hiburan-hiburan. Memperingati hari kemerdekaan pun bukan dengan meingstrospeksi sudah sejauh mana kemerdekaan dimiliki, tetapi malah disambut dengan pesta dan hura-hura.
Belum lagi jika menilik pada kemerdekaan politik, dimana bangsa ini masih belum sepenuhnya melepaskan diri dari tekanan-tekanan kekuatan asing. Tampak jelas dalam hal vonis hukuman mati untuk bandar narkoba atau hukuman untuk penista agama, dimana negara-negara asing bahkan sampai PBB berani mengintervensi dan Indonesia tidak bisa berkelit. Apalagi dalam hal calon presiden yang dinilai tidak bersahabat dengan asing, kekuatan politik asing semakin gencar menancapkan pengaruhnya untuk menggagalkannya.
Dalam hal kemerdekaan sosial dan budaya, lebih kentara lagi, dimana bangsa ini sudah kehilangan budaya aslinya dan tunduk sepenuhnya pada pemaksaan budaya asing melalui media-media hiburan. Budaya asli bangsa ini adalah budaya Islam, sebab agama itu yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Tetapi faktanya hari ini budaya Barat lebih akrab di masyarakat Indonesia dibanding budaya Islamnya itu sendiri.
Kesadaran akan kemerdekaan yang belum paripurna ini tidak mungkin dimiliki oleh orang-orang yang selalu terbuai oleh pesta dan pentas musik. Orang-orang yang akan selalu mampu menyadarinya adalah mereka yang “kekuatan ingat”-nya tinggi. Maka dari itu, Allah swt mengajarkan agar di setiap kali kemenangan diperoleh, umat Islam harus tetap kuat dalam “kekuatan ingat”-nya alias dzikir; tasbih, tahmid, dan istighfar.
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١  وَرَأَيۡتَ ٱلنَّاسَ يَدۡخُلُونَ فِي دِينِ ٱللَّهِ أَفۡوَاجٗا ٢ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا ٣
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat (QS. an-Nashr [110] : 1-3).
Tasbih, tahmid, dan istighfar itu diamalkan dalam shalat al-fath—dalam istilah al-Hafizh Ibn Katsir—atau shalat syukur—dalam istilah A. Hassan. Dilaksanakan setiap kali memperoleh kemenangan dari musuh dalam sebuah peperangan, sebanyak 2-8 raka’at. Tasbih, tahmid, dan istighfar itu juga bisa diamalkan dalam setiap shalat wajib dan sunat. Khusus untuk istighfar lebih diintensifkan di waktu akhir malam. Sementara tasbih dan tahmid di waktu pagi dan petang dalam amaliah dzikir ba’da shalat shubuh/dluha atau ba’da ‘ashar/maghrib. Tuntunan lebih lengkapnya bisa dirujuk ke kitab-kitab seputar dzikir dan do’a. Dengan kata lain, kemerdekaan itu harus disambut dengan peningkatan kualitas dan kuantitas shalat dan dzikir, baik yang wajibnya atau sunatnya.
Bangsa Indonesia harus belajar dari bangsa Saba dan Bani Israil, dimana mereka menyambut kemerdekaan dan kemakmuran hanya dengan hura-hura dan tidak ada amaliah syukurnya sama sekali. Padahal bangsa Saba semula baldah thayyibah (negeri sejahtera). Tetapi karena enggan syukur, kemudian mereka dibinasakan: Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka (kufur nikmat). Dan Kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. Saba` [34] : 15-17).
Hal yang sama sudah dimaklumatkan sebelumnya oleh Nabi Musa kepada kaumnya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim [14] : 7). Tetapi Bani Isra`il malah jauh dari syukur, sehingga Allah swt pun menetapkan hukuman bagi mereka: “Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israel dalam kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. al-Isra` [17] : 4-7).
Bangsa Indonesia harus berani merenungkannya: Pantaskah kemerdekaan disambut dengan pesta? Wal-‘Llahu a’lam.