Cukup banyak ayat al-Qur`an yang mewajibkan kaum muslimin tergerak untuk menyantuni faqir miskin. Namun banyak juga yang belum paham bagaimana cara menyantuni faqir miskin yang sesuai sunnah itu. Akibatnya banyak orang kaya yang sudah merasa menyantuni faqir miskin tetapi angka kemiskinan masih saja tidak berkurang.
Nabi saw mengajarkan bahwa faqir miskin itu ada dua model. Salah satunya adalah faqir miskin yang sebenarnya dan harus mendapatkan perhatian khusus dibanding yang satunya lagi. Maka ketika seorang muslim fokus pada satu jenis faqir miskin dan mengabaikan yang satunya lagi yang lebih sebenarnya, pada hakikatnya ia belum mengamalkan menyantuni faqir miskin. Nabi saw bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta kepada orang-orang, lalu diberi satu dua suap, atau satu dua buah kurma. Orang miskin yang sebenarnya itu adalah yang tidak mempunyai harta cukup, tapi tidak dimengerti oleh orang lain lalu diberi shadaqah, meski demikian ia tidak berani meminta kepada orang-orang (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab qaulil-‘Llah ta’ala la yas`alunan-nas ilhafan no. 1479.).
Hadits ini menjelaskan firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 273:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah [2] : 273).
Artinya jika seorang muslim baru sebatas menyantuni faqir miskin yang berani meminta, pada hakikatnya ia belum mengamalkan tuntunan syari’at menyantuni faqir miskin. Harus juga dengan menyantuni faqir miskin yang tidak berani meminta. Mereka adalah orang-orang yang “terikat oleh jihad di jalan Allah”. Dalam konteks hari ini mereka adalah para asatidzah, jama’ah masjid, dan para aktivis yang mengabdikan diri mereka di dunia dakwah dan pendidikan. Hidup mereka sederhana, tidak memiliki barang-barang yang mahal, dan belum memiliki rumah. Penghasilan per bulan mereka masih di bawah UMK (upah minimum kota/kabupaten).
Nabi saw mengajarkan agar siapa pun orang yang masuk kategori orang kaya harus berbagi dengan faqir miskin di setiap waktu makannya atau setiap harinya. Standar minimalnya bisa menyantuni seorang faqir miskin di luar keluarga intinya atau sejumlah yang sama dengan jumlah anggota keluarga intinya. Nabi saw mengajarkan:
طَعَامُ الِاثْنَيْنِ كَافِي الثَّلَاثَةِ وَطَعَامُ الثَّلَاثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ
Makanan untuk dua orang harus cukup untuk tiga orang. Makanan untuk tiga orang harus cukup untuk empat orang (Shahih al-Bukhari bab tha’amul-wahid yakfil-itsnain no. 5392; Shahih Muslim bab fadllil-muwasah fit-tha’amil-qalil no. 5488).
طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِى الاِثْنَيْنِ وَطَعَامُ الاِثْنَيْنِ يَكْفِى الأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ الأَرْبَعَةِ يَكْفِى الثَّمَانِيَةَ
Makanan untuk satu orang harus cukup untuk dua orang. Makanan untuk dua orang harus cukup untuk empat orang. Makanan untuk empat orang harus cukup untuk delapan orang (Shahih Muslim bab fadllil-muwasah fit-tha’amil-qalil no. 5489).
Hadits yang terakhir mengharuskan orang kaya menyantuni faqir miskin sejumlah yang sama dengan jumlah keluarga intinya; suami, istri, dan anak-anak. Jadi jika keluarga intinya ada enam orang, maka ia harus mampu menyantuni enam orang miskin lainnya. Jika terdiri dari empat orang, maka ia harus menyantuni empat orang lainnya, sehingga anggaran rumah tangganya bukan untuk empat orang saja, melainkan untuk delapan orang. Adapun hadits yang di atasnya mengharuskan menyantuni faqir miskin minimal satu orang di luar keluarga intinya. Dua hadits di atas tidak bertentangan, melainkan memberi pilihan disesuaikan dengan kadar kekayaan yang dimiliki.
Sabda Nabi saw yang tertuju pada tha’am (makanan) menunjukkan bahwa menyantuni itu bukan untuk sekali dua kali santunan saja. Dalam hadits yang di awal juga sudah Nabi saw tegaskan bahwa itu bukan menyantuni faqir miskin yang sebenarnya. Dengan menyatakan tha’am itu Nabi saw mengajarkan agar menyantuni faqir miskin dilakukan di setiap makannya. Berarti satu hari sampai tiga kali. Teknisnya tentu bisa dipermudah tidak harus memberi di setiap waktu makan saja; bisa disatuharikan, disatupekankan, atau disatubulankan. Jika kebutuhan makan seseorang satu hari Rp. 25.000,-, maka berarti satu bulan harus mengeluarkan sekitar Rp. 750.000,- untuk menyantuni seorang faqir miskin. Atau jika hendak mengikuti data garis kemiskinan BPS (Badan Pusat Statistik) sampai triwulan 2020, garis kemiskinan makanan di daerah perkotaan Provinsi Jawa Barat sebesar Rp. 307.253,-. Maksudnya kebutuhan makan faqir miskin di Jawa Barat per bulannya minimal sebesar Rp. 307.253,-. Maka setiap orang yang sudah masuk kategori orang kaya harus menyantuni minimal seorang faqir miskin per bulannya sebesar Rp. 307.253,-. Tetapi tentu itu batas minimalnya, sebab kebutuhan makanan sebaiknya lebih tinggi dari batas minimal. Jadi intinya antara kisaran Rp. 300.000,- s.d Rp. 750.000,-
Hadits di atas juga masih harus dikontekstualisasi, sebab standar kemiskinan di zaman al-Qur`an turun adalah makanan, sehingga ayat-ayat al-Qur`an dan hadits yang menyoroti santunan faqir miskin selalu menyebutnya makanan saja. Dalam konteks hari ini kemiskinan faktornya bukan makanan saja, tetapi juga ada yang non-makanan mencakup kebutuhan perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Jika hendak merujuk data garis kemiskinan BPS untuk daerah perkotaan Provinsi Jawa Barat sampai Maret 2020 maka ada di angka Rp. 412.902,-. Itu untuk satu orang miskin. Jika lebih dari itu maka tinggal dikalikan saja. Itu pun untuk kebutuhan minimalnya, maka akan lebih baik jika dinaikkan agar faqir miskin tidak hidup miskin. Jika standar rumah faqir miskin sewa per bulan ada di angka 500.000,-; pakaian untuk satu tahun Rp. 300.000,- atau Rp. 25.000,- per bulan; biaya sekolah seorang anak mencakup bayar sekolah dan bekal sehari-hari ada di angka Rp. 425.000,-; dan biaya kesehatan per bulan Rp. 50.000,-, berarti untuk kebutuhan non-makanan seorang faqir miskin sekitar Rp. 1.000.000,- per bulan.
Kebutuhan makanan dan non-makanan seorang faqir miskin jika hendak digabungkan berarti ada di kisaran Rp. 1.500.000,- per bulan. Maka minimalnya seorang muslim yang sudah masuk kategori kaya memberikan santunan Rp. 1.500.000,- untuk seorang faqir miskin. Anggaran rumah tangga harus disisihkan sebesar Rp. 1.500.000,- per bulannya untuk memenuhi tuntunan syari’at menyantuni faqir miskin ini. Bagi yang selalu mempertontonkan status sosial kekayaannya yang lebih tinggi dari orang lain berarti harus lebih dari satu orang. Jika itu lima orang faqir miskin berarti Rp. 4.500.000,-. Jika yang hendak disantuni ukurannya satu keluarga, maka bisa merujuk data UMK/KHL (kebutuhan hidup layak) yang untuk Kota Bandung ada di angka Rp. 3.700.000,- per bulan.
Ukuran orang kaya menurut hadits itu sendiri adalah yang penghasilan usahanya sudah sampai kewajiban zakat, sebab zakat diwajibkan kepada mereka yang kaya. Standarnya adalah 20 dinar per tahun. Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, maka 20 dinar berarti senilai 85 gram emas. Jika harga emas hari ini Rp. 900.000,- per gram berarti ukuran seseorang disebut kaya adalah yang penghasilan per tahunnya Rp. 76.500.000,- atau Rp. 6.375.000,- per bulan. Jika hendak dibulatkan berarti orang yang penghasilan per bulannya Rp. 6.000.000,- sudah masuk kategori orang kaya. Mereka inilah yang diancam dengan neraka Jahim (QS. 69 : 34), neraka Saqar (QS. 74 : 4), neraka Jahannam (QS. 89 : 18), dan dinilai palsu agamanya juga sia-sia shalatnya (QS. 107) karena tidak mau menyisihkan hartanya untuk menyantuni faqir miskin.
Seandainya kaum muslimin yang kaya menyadari kewajiban menyantuni faqir miskin seperti ini tentu angka kemiskinan akan cepat berkurang seperti yang terjadi di zaman Nabi saw dan para khalifah sesudahnya. Hari ini yang tampak nyata adalah kesenjangan sosial; orang kaya semakin kaya dengan tumpukan harta dan investasinya, sementara orang miskin tetap miskin yang jumlahnya bahkan selalu bertambah akibat orang kaya yang enggan menyantuni faqir miskin.
Wal-‘Llahu a’lam