Ramadlan

Menjemput Lailatul-Qadar

Menjemput Lailatul-Qadar

Selayaknya tamu istimewa, lailatul-qadar harus sudah direncanakan dari sekarang acara penjemputannya dengan serius; akan dijemput di masjid mana, apakah akan sempurna 10 hari 10 malam, ataukah 10 malam, tujuh malam, lima malam, atau yang minimalnya saja tiga malam. Perencanaan keuangannya bagaimana agar tidak membahayakan kas keuangan keluarga. Persiapan fisik dan tenaga juga harus diperhatikan agar tidak lengah. Jangan sampai ayat “salamun hiya hatta mathla’il-fajr” malah kenyataannya “tidur nyenyak hingga terbit fajar”.

Keistimewaan lailatul-qadar sudah bukan untuk dibahas lagi, melainkan untuk dijemput dengan amal nyata sesuai arahan dan teladan Nabi Muhammad saw. Hadits-hadits berikut jelas menginformasikan bahwa Nabi Muhammad saw serius menjemput lailatul-qadar dengan i’tikaf 10 hari terakhir siang malam. Meski demikian beliau juga memberikan keringanan bagi yang tidak mampu i’tikaf untuk tidak melewatkan terjaga di malam harinya, baik itu 10 malam, tujuh malam, lima malam, dan minimalnya tiga malam. ‘Aisyah ra menjelaskan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Rasulullah saw i’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadlan dan berkata: “Carilah lailatul-qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir Ramadlan.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020)

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan mempererat sarungnya (menggiatkan ibadah dengan i’tikaf), menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024).

Hadits yang pertama jelas menyebutkan bahwa Nabi saw i’tikaf untuk meraih kemuliaan lailatul-qadar sekaligus menganjurkan umatnya untuk meraih lailatul-qadar dengan cara yang sama. Dalil kedua memberitahukan bahwa Nabi saw selama i’tikaf selalu menghidupkan malam. Dalil kedua juga menginformasikan bahwa kepada keluarganya yang tidak i’tikaf, Nabi saw pun memerintahkan mereka untuk bangun menghidupkan malam dengan ibadah meski sudah tidur terlebih dahulu di awal malamnya. Dalil yang ini sekaligus menunjukkan bahwa meraih lailatul-qadar juga harus ditempuh oleh orang yang tidak i’tikaf, caranya adalah dengan menghidupkan malam sampai terbit fajar meski sudah tidur dahulu di awal malam.

Terkait hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:

قَوْلُهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ أَيْ لِلصَّلَاةِ وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ مِنْ حَدِيثِ زَيْنَبَ بِنْتِ أُمِّ سَلَمَةَ: لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا بَقِيَ مِنْ رَمَضَانَ عَشْرَةُ أَيَّامٍ يَدَعُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يُطِيقُ الْقِيَامَ إِلَّا أَقَامَهُ… وَعَلَى تَقْدِيرِ أَنَّهُ لَمْ يَعْتَكِفْ أَحَدٌ مِنْهُنَّ فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُوقِظَهُنَّ مِنْ مَوْضِعِهِ وَأَن يوقظهن عِنْد مَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ لِحَاجَتِهِ

Maksud aiqazha ahlahu yaitu membangunkan keluarga untuk shalat. At-Tirmidzi dan Muhammad ibn Nashr meriwayatkan dari hadits Zainab putri Ummu Salamah: “Nabi saw tidak pernah apabila tersisa sepuluh hari dari Ramadlan membiarkan seorang pun dari keluarganya yang mampu bangun untuk shalat kecuali beliau akan membangunkannya… berdasar pada pertimbangan bahwa tidak ada seorang istrinya pun yang i’tikaf, maka mungkin Nabi saw membangunkan keluarganya dari tempat i’tikafnya, atau membangunkan mereka ketika masuk ke rumahnya untuk satu keperluan (Fathul-Bari).

Selain keringanan tidur dahulu di awal malam, Nabi saw juga memberikan keringanan kurang dari 10 hari bagi mereka yang tidak mampu, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar).

تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul-Qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).

فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit).

Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25.

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى

Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas).

Berdasarkan keterangan Zainab putri Ummu Salamah yang dikutip al-Hafizh Ibn Hajar ketika menjelaskan “membangunkan keluarganya” di atas, fokus menghidupkan malam tersebut adalah pada shalat malam. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan hanya jangan sampai mengulang witirnya hingga menjadi ada dua witir atau lebih, sebagaimana dijelaskan hadits Thalq ibn ‘Ali ra sebagai berikut:

عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِى يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

Dari Qais ibn Thalq, ia berkata: Thalq ibn ‘Ali berkunjung ke rumah kami pada satu hari di bulan Ramadlan. Beliau ada di tempat kami sampai sore hari dan berbuka. Kemudian beliau shalat malam (tarawih) mengimami kami pada malam tersebut dan shalat witir. Kemudian beliau pulang ke masjidnya, dan shalat malam (tarawih) lagi bersama jama’ahnya. Sampai ketika tinggal tersisa witirnya, beliau menyuruh seseorang untuk maju menjadi imam dan berkata: “Witirlah kamu bersama sahabat-sahabat kamu, karena sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam’ (Sunan Abi Dawud bab fi naqdlil-witr no. 1441).

Hadits “tidak boleh ada dua witir dalam satu malam” di atas zhahirnya bukan melarang menambah shalat malam melainkan justru membolehkannya asalkan witirnya tidak diulang lagi.

Fokus lainnya adalah memperbanyak dzikir dan do’a memohon ampunan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits ‘Aisyah ra berikut:

عَنْ عَائِشَةَ  قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ القَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا؟ قَالَ:  قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Wahai Rasulullah, menurut anda, jika saya tahu malam mana yang lailatul-qadar, apa yang sebaiknya aku panjatkan?” Beliau menjawab: “Panjatkanlah do’a: ‘Ya Allah, Engkau Maha Pengampun lagi Mahamulia, senang mengampuni, ampunilah aku’.” (Sunan at-Tirmidzi kitab ad-da’awat no. 3513).

Di samping itu tentu do’a-do’a lainnya yang mencakup “semua urusan” (min kulli amrin) sebagaimana ditegaskan QS. al-Qadr, sebab semuanya pada lailatul-qadar akan ditetapkan Allah swt melalui malaikat-malaikat-Nya yang turun ke bumi. Proses penetapan semua urusan tersebut berlangsung sampai shubuh. Maka dari itu tidak pantas jika di sepanjang malam-malam yang berpotensi ada lailatul-qadar malah diisi dengan tidur nyenyak sampai shubuh. Minimalnya sebagaimana keluarga Nabi saw, bangun di tengah malam untuk kemudian terjaga dan fokus beribadah sampai terbit fajar. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button