Masjid Megah Tetapi Sepi Jama’ah

Banyak pihak mengkritik pembangunan masjid megah di Solo dan Bandung seraya mengutip sinyalemen Nabi ﷺ bahwa itu pertanda kiamat. Padahal kritikan itu seharusnya tertuju kepada semua masjid yang megah tetapi sepi jama’ah. Hanya Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi atau yang menyerupainya yang selamat dari kritik. Megahnya masjid sebanding dengan jumlah jama’ah yang memenuhi masjid untuk shalat berjama’ah lima waktu bahkan sampai meluber ke area luar masjid.

Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahwa salah satu ciri penyimpangan akhlaq menjelang kiamat adalah banyaknya masjid yang dibangun dengan megah tetapi hanya untuk kebanggaan saja, sementara kemakmurannya diabaikan selain hanya sedikit saja.

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ

Tidak akan terjadi kiamat hingga orang saling berbangga-bangga dengan masjid.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fi bina`il-masjid no. 449)

Imam al-‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud menjelaskan:

أَيْ يَتَفَاخَر فِي شَأْنهَا أَوْ بِنَائِهَا يَعْنِي يَتَفَاخَر كُلّ أَحَد بِمَسْجِدِهِ وَيَقُول مَسْجِدِي أَرْفَع أَوْ أَزْيَن أَوْ أَوْسَع أَوْ أَحْسَن رِيَاء وَسُمْعَة وَاجْتِلَابًا لِلْمِدْحَةِ

Yaitu saling berbangga diri dengan keberadaan masjid atau bangunannya. Yakni masing-masing menyombongkan diri dengan masjidnya. Ia berkata: ‘Masjid saya lebih mulia, lebih indah, lebih luas dan lebih bagus,’ dengan penuh riya, sum’ah (pamer) dan ingin mendapatkan pujian (‘Aunul-Ma’bud).

Berbangga diri dengan bangunan fisiknya saja itu tidak sebanding dengan kebanggaan dalam memakmurkannya. Dalam hal ini Anas ibn Malik ra menjelaskan:

وَقَالَ أَنَسٌ يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ثُمَّ لَا يَعْمُرُونَهَا إِلَّا قَلِيلًا

Anas ra berkata: “Mereka berbangga diri dengan bangunan masjid tetapi mereka tidak memakmurkannya kecuali sedikit saja.” (Dikutip oleh Imam al-Bukhari [ta’liq] dan ditulis dalam Shahih al-Bukhari bab bunyanil-masjid).

Jadi kesalahan fatal dari para pembangun masjid yang megah itu dalam dua hal: Pertama, perasaan bangga dengan bangunan fisiknya saja dan ini sudah salah dari awal niatnya, dan kedua, usaha untuk memakmurkannya yang minimal.

Al-Qur`an memang mengisyaratkan bahwa masjid itu harus dimuliakan baik bangunan fisiknya ataupun kemakmurannya.

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَيُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ

Di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya (QS. an-Nur [24] : 36).

Maksud buyut dalam ayat di atas adalah masjid. Maksud dari an turfa’a/dimuliakan adalah “membersihkannya dari kotoran, hiburan duniawi, dan perkataan atau perbuatan lainnya yang tidak layak di masjid,” demikian para ulama salaf menjelaskannya sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Qatadah secara khusus menyatakan: “Yang dimaksud ayat ini adalah masjid. Allah memerintahkan membangun masjid, memperindahnya, memeliharanya dan membersihkannya.”

Akan tetapi memuliakan bangunan masjid itu tidak harus sampai megah bangunannya, apalagi jika sampai disamakan model bangunannya dengan gereja dan sinagog. Yang paling pokoknya adalah memuliakan dengan memakmurkannya. Nabi saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

Dari Ibn ‘Abbas ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—bersabda: “Aku tidak diperintahkan untuk memegahkan masjid.” Ibn ‘Abbas berkata: “Kalian pasti akan menghiasnya sebagaimana hiasan orang Yahudi dan Nashara.” (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab fi bina`il-masjid no. 448)

Tasyyid sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Baghawi dan al-Khaththabi:

التَّشْيِيد رَفْع الْبِنَاء وَتَطْوِيله

Tasyyid: Meninggikan bangunan dan meluaskannya (Fathul-Bari bab bunyanil-masjid dan ‘Aunul-Ma’bud bab fi bina`il-masajid).

Pernyataan Nabi saw: “Tidak diperintah” artinya tidak wajib atau sunat, tetapi bukan berarti haram atau makruh, melainkan sebatas mubah. Maksud sabda Nabi saw tersebut adalah tidak perlu diprioritaskan. Kalau kemudian diamalkan, maka syaratnya dua sebagaimana disinggung di atas; tidak boleh dijadikan ajang membanggakan diri dan harus dimakmurkan dengan maksimal. Jika sebatas megah tetapi makmurnya tidak maksimal maka ini sudah termasuk penyimpangan yang Nabi saw isyaratkan dalam hadits di atas. Serta tidak termasuk pada kriteria “dimuliakan” sebagaimana Allah swt firmankan dalam surat an-Nur di atas. Apalagi jika kemudian menghiasinya sebagaimana Yahudi dan Kristen yakni menggunakan emas, shurah; replika/patung/gambar, apalagi shurah orang yang dikultuskan, dan berhala serta simbol-simbol kepercayaan kafir lainnya.

Kunci dari semuanya itu kembali pada kualitas memakmurkannya. Ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa “memakmurkan” itu asal katanya ‘imarah atau ‘umrah. ‘Imarah adalah membangun dan merawatnya, sementara ‘umrah adalah berkunjung. Jadi memakmurkan masjid itu adalah membangun, merawat, dan mengunjunginya, tentunya bukan untuk rekreasi semata, melainkan untuk shalat dan bermajelis ilmu sebagaimana banyak ditunjukkan oleh hadits Nabi saw.

اَلْعِمَارَةُ نَقِيْضُ الْخَرَابِ… وَالْاِعْتِمَارُ وَالْعُمْرَةُ: اَلزِّيَارَةُ الَّتِي فِيْهَا عِمَارَةُ الْوُدِّ وَجُعِلَ فِي الشَّرِيْعَةِ لِلْقَصْدِ الْمَخْصُوْصِ. وَقَوْلُهُ: {إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ} [التوبة/18] إِمَّا مِنَ الْعِمَارَةِ الَّتِي هِيَ حِفْظُ الْبِنَاءِ أَوْ مِنَ الْعُمْرَةِ الَّتِي هِيَ الزِّيَارَةُ

‘Imarah adalah kebalikan dari merobohkan (yakni mengurus, memelihara, merawat—pen)… Sementara i’timar dan ‘umrah adalah berkunjung yang di sana ada pemeliharaan cinta. Dalam konteks syari’at maknanya berkunjung dengan niat khusus (yakni ‘umrah yang satu paket dengan haji—pen). Dan firman-Nya: “Hanyasanya yang layak memakmurkan masjid-masjid Allah” [QS. at-Taubah/9: 18] bisa jadi dari kata ‘imarah yang artinya memelihara bangunan, atau bisa juga dari ‘umrah yang artinya berkunjung (al-Mufradat fi Gharibil-Qur`an).

Tuntunan shalat berjama’ah dan bermajelis ilmu di masjid banyak dijelaskan dalam hadits:

قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ: لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ

Ibn Mas’ud berkata: “Sungguh aku telah menyaksikan di antara kami (shahabat) tidak ada yang meninggalkan shalat (berjama’ah) kecuali seorang munafiq yang benar-benar telah diketahui kemunafiqannya atau seseorang yang sakit. Tapi ada juga seseorang yang sakit berjalan di antara dua lelaki (dituntun—pen) sampai mendatangi shalat.” Dan ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kami jalan-jalan hidayah, dan di antara jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ketika diadzankan padanya.” (Shahih Muslim kitab al-masajid wa mawadli’ as-shalat bab shalatul-jama’ah min sunanil-huda no. 1045)

قالت أُمَّ الدَّرْدَاءِ دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَهُوَ مُغْضَبٌ فَقُلْتُ مَا أَغْضَبَكَ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا أَعْرِفُ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُمْ يُصَلُّونَ جَمِيعًا

Ummud-Darda` ra pernah bercerita: Pada suatu hari Abud-Darda` pernah pulang dalam keadaan sangat marah. Aku pun bertanya: “Apa yang membuatmu terlihat marah?” Ia pun menjawab: “Demi Allah, aku tidak pernah tahu dari umat Muhammad sesuatu pun melainkan mereka selalu shalat berjama’ah.” (Shahih al-Bukhari bab fadlli shalatil-fajri fi jama’ah no. 650)

Merujuk dua atsar di atas, berarti gejala meninggalkan masjid dalam shalat berjama’ah sudah ada sejak zaman shahabat. Para shahabat pun mengkritik keras perilaku buruk tersebut. Jika hari ini banyak kritik juga pada masjid-masjid yang megah tapi kosong dari shalat berjama’ah maka kritik itu memang sudah seharusnya diungkapkan.

Masjid sebagai tempat bermajelis ilmu sudah diajarkan oleh Nabi saw:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ اِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهِ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

Dan tidaklah suatu  kaum berkumpul dalam rumah-rumah Allah (masjid) untuk membaca dan bertadarus al-Qur’an, kecuali ketenangan pasti akan turun kepada mereka, rahmat Allah melingkupi mereka, malaikat-malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang ada di dekat-Nya/para malaikat (Shahih Muslim kitab adz-dzikr wad-du’a wat-taubah bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an no. 7028; Sunan Abi Dawud kitab al-witr bab fi tsawab qira`atil-Qur`an no. 1457; Sunan at-Tirmidzi abwab al-qira`at no. 2945).

Jadi bangunan masjid megah yang dikritik oleh Nabi saw itu adalah yang kemegahan bangunannya tidak sebanding dengan jumlah jama’ah shalat berjama’ah lima waktu dan majelis ilmunya. Jika kemegahan bangunan justru untuk memuliakan jama’ah masjid yang selalu bersemangat memakmurkannya maka itu bagian dari memuliakan masjid sebagaimana harusnya.

Seyogianya dana yang besar tidak diprioritaskan untuk memegahkan bangunan masjidnya, melainkan untuk menyejahterakan jama’ahnya terlebih dahulu dan kemudian mencerdaskan mereka sehingga mereka siap untuk memakmurkan masjid. Wal-‘Llahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *