Lailatul-Qadar bagi Yang Menghidupkan Malam

Malam yang paling mulia atau lailatul-qadar hanya akan diperoleh kemuliaannya oleh mereka yang menghidupkan malam dengan ibadah di 10 malam terakhir Ramadlan. Untuk itu Nabi saw sampai i’tikaf agar bisa maksimal dalam menghidupkan malam tersebut. Bagi yang tidak i’tikaf pun Nabi saw memerintahkan untuk tetap terjaga dan minimalnya mengurangi tidur di 10 malam terakhir Ramadlan agar bisa meraih lailatul-qadar. Maka jelas keliru orang yang i’tikaf tetapi tidak menghidupkan malam, atau tidak kedua-duanya sama sekali; tidak i’tikaf dan atau tidak menghidupkan malam, karena itu berarti ia mengabaikan syari’at dan sunnah.
Dasar hujjahnya adalah hadits-hadits yang menganjurkan dan mencontohkan untuk menghidupkan malam di 10 malam terakhir Ramadlan, baik itu bagi yang i’tikaf atau yang tidak i’tikaf. ‘Aisyah ra menjelaskan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Rasulullah saw i’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadlan dan berkata: “Carilah lailatul-qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir Ramadlan.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2020)
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan mempererat sarungnya (menggiatkan ibadah dengan i’tikaf), menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024).
Dalil yang pertama jelas menyebutkan bahwa Nabi saw i’tikaf untuk meraih kemuliaan lailatul-qadar sekaligus menganjurkan umatnya untuk meraih lailatul-qadar dengan cara yang sama. Dalil kedua memberitahukan bahwa Nabi saw selama i’tikaf selalu menghidupkan malam. Dalil kedua juga menginformasikan bahwa kepada keluarganya yang tidak i’tikaf, Nabi saw pun memerintahkan mereka untuk bangun menghidupkan malam dengan ibadah. Dalil yang ini sekaligus memberi ilmu tambahan bahwa meraih lailatul-qadar juga harus ditempuh oleh yang tidak i’tikaf, caranya adalah dengan menghidupkan malam. Sehingga jelas bahwa kemuliaan lailatul-qadar hanya akan diperoleh oleh yang menghidupkan malam, sebab seperti itulah Nabi saw mencontohkan dan memerintahkan.
Maksud dari menghidupkan malam itu sendiri dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar sebagai berikut:
قَوْله وَأَحْيَا لَيْلَهُ أَي سَهِرَهُ فَأَحْيَاهُ بِالطَّاعَةِ وأَحْيَا نَفْسَهُ بِسَهَرِهِ فِيهِ لِأَنَّ النَّوْمَ أَخُو الْمَوْتِ
Maksud “menghidupkan malam” adalah terjaga (tidak tidur) di waktu malam, lalu menghidupkannya dengan ketaatan dan menghidupkan dirinya dengan terjaga di waktu malam, karena tidur itu dekat pada makna mati (Fathul-Bari bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan).
Fokus utama menghidupkan malam tersebut adalah dengan shalat sunat, khususnya Tarawih, sesuai dengan keterangan berikut:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا بَقِيَ مِنْ رَمَضَانَ عَشْرَةُ أَيَّامٍ يَدَعُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يُطِيقُ الْقِيَامَ إِلَّا أَقَامَهُ
“Nabi saw tidak pernah apabila tersisa sepuluh hari dari Ramadlan membiarkan seorang pun dari keluarganya yang mampu bangun untuk shalat kecuali beliau akan membangunkan dan menyuruhnya shalat.” (Fathul-Bari bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan mengutip riwayat At-Tirmidzi dan Muhammad ibn Nashr dari hadits Zainab putri Ummu Salamah).
Bagi jumhur ulama yang tidak membatasi shalat malam/tarawih pada 11 raka’at pada umumnya membolehkan menambah raka’at shalat malam/tarawih semampunya, asalkan witirnya tetap satu kali tidak boleh lebih, sebab Nabi saw sudah bersabda: “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (Sunan Abi Dawud bab fi naqdlil-witr no. 1441. Al-Albani: Shahih). Alasannya tidak ada satu pun dalil yang membatasi tidak boleh lebih dari 11 raka’at. Hadits ‘Aisyah yang menyatakan Nabi saw tidak pernah lebih dari 11 raka’at hanya menginformasikan kebiasaan Nabi saw dan tidak menjadi pembatas. Nabi saw sendiri ketika ditanya tentang bagaimana shalat malam, hanya menyebutkan: “Dua raka’at, dua raka’at. Jika kamu takut shubuh maka witirlah satu raka’at yang akan mewitirkan untukmu shalat yang sudah kamu kerjakan.” (Shahih al-Bukhari bab al-halq wal-julus fil-masjid no. 473. Hadits ini diriwayatkan di hampir semua kitab hadits). Seandainya terbatas pada sekian raka’at, Nabi saw pasti menjelaskannya karena saat itu beliau sedang menjawab pertanyaan. Di antara jumhur ulama yang membolehkan lebih dari 11 raka’at itu adalah A. Hassan dalam bukunya, Pengajaran Shalat, hlm. 64.
Bagi sekelompok ulama yang membatasi shalat malam hanya sampai 11 raka’at, berarti shalat sunat sisanya yang diamalkan adalah shalat sunat muthlaq. Cara mengamalkannya kembali kepada dalil umum: “Shalat malam dan siang itu dua raka’at-dua raka’at.” (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibn Majah dan Ibn Hibban dalam Bulughul-Maram no. 391. Al-Hafizh Ibn Hajar menilainya shahih dalam at-Talkhishul-Habir).
Menghidupkan malam itu bisa juga diisi dengan dzikir, tilawah al-Qur`an, tasbih, do’a, dan istighfar, sebagaimana banyak disinggung dalam banyak ayat al-Qur`an dan hadits. Pokoknya amal-amal yang berorientasi ketaatan kepada Allah swt, sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Hajar di atas.
Tentang Nabi saw membangunkan keluarganya itu sendiri, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa berdasarkan pertimbangan tidak ada seorang istrinya pun yang i’tikaf, maka mungkin Nabi saw membangunkan keluarganya dari tempat i’tikafnya, atau membangunkan mereka ketika masuk ke rumahnya untuk satu keperluan (Fathul-Bari bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan).
Awal dan Akhir I’tikaf
Nabi saw mulai i’tikaf dari malam tanggal 21 Ramadlan. Ini didasarkan pada keterangan dari Abu Sa’id al-Khudri:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُجَاوِرُ فِي رَمَضَانَ الْعَشْرَ الَّتِي فِي وَسَطِ الشَّهْرِ فَإِذَا كَانَ حِينَ يُمْسِي مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً تَمْضِي وَيَسْتَقْبِلُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ رَجَعَ إِلَى مَسْكَنِهِ … ثُمَّ قَالَ كُنْتُ أُجَاوِرُ هَذِهِ الْعَشْرَ ثُمَّ قَدْ بَدَا لِي أَنْ أُجَاوِرَ هَذِهِ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَثْبُتْ فِي مُعْتَكَفِهِ … وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ فَاسْتَهَلَّتْ السَّمَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ فَأَمْطَرَتْ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِي مُصَلَّى النَّبِيِّ ﷺ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ فَبَصُرَتْ عَيْنِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنْ الصُّبْحِ وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra: Rasulullah saw i’tikaf pada bulan Ramadlan dari sejak 10 hari pertengahan (ketika beliau belum diberitahu bahwa lailatul-qadar pada 10 hari terakhir). Pada sore hari ke-20 menjelang malam ke-21 beliau kembali ke tempat i’tikafnya… beliau bersabda: “Saya i’tikaf pada 10 hari pertengahan ini. Kemudian tampak jelas bagiku (aku diberi wahyu) untuk i’tikaf pada 10 hari terakhir. Siapa yang ingin i’tikaf bersamaku, tetaplah di tempat i’tikafnya… Saya diberi wahyu bahwa saya akan sujud di atas air dan tanah.” Maka pada malam itu langit bergemuruh dan turunlah hujan. Masjid bocor pada tempat shalat Nabi saw di malam ke-21. Mataku memandang Rasulullah saw dan melihatnya selesai dari shalat shubuh dalam keadaan wajah yang penuh dengan air dan tanah (Shahih al-Bukhari bab taharri lailatil-qadr no. 2018).
Hadits di atas juga jelas menyebutkan bahwa Nabi saw sudah bersiap-siap i’tikaf dari sore hari tanggal 20 Ramadlan, sekaligus memerintahkan shahabat yang akan i’tikaf untuk bersiap-siap i’tikaf dari sejak itu. Lebih jelasnya lagi hadits di atas menyebutkan bahwa pada malam 21 Nabi saw sudah i’tikaf di masjid, yang kebetulan pada saat itu turun hujan besar.
Mengenai keterangan ‘Aisyah bahwa Nabi saw kalau i’tikaf shalat shubuh dahulu baru masuk ke tempat i’tikafnya, maka itu tidak berarti bahwa Nabi saw memulai i’tikaf dari shubuh:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Rasulullah saw apabila hendak i’tikaf, shalat shubuh, kemudian beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya (Shahih Muslim bab mata yadkhulu man aradal-i’tikaf no. 2842).
Terkait keterangan ‘Aisyah di atas Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَقَالَ مَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد: يَدْخُل فِيهِ قَبْل غُرُوب الشَّمْس إِذَا أَرَادَ اِعْتِكَاف شَهْر أَوْ اِعْتِكَاف عَشْر، وَأَوَّلُوا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ دَخَلَ الْمُعْتَكَف وَانْقَطَعَ فِيهِ، وَتَخَلَّى بِنَفْسِهِ بَعْد صَلَاته الصُّبْح، لَا أَنَّ ذَلِكَ وَقْت اِبْتِدَاء الِاعْتِكَاف، بَلْ كَانَ مِنْ قَبْل الْمَغْرِب مُعْتَكِفًا لَابِثًا فِي جُمْلَة الْمَسْجِد فَلَمَّا صَلَّى الصُّبْح اِنْفَرَدَ
Imam Malik, Abu Hanifah, as-Syafi’i dan Ahmad menjelaskan: Masuk ke masjid itu sebelum terbenam matahari (maghrib) apabila ia hendak i’tikaf satu bulan atau 10 hari (terakhir). Para ulama tersebut menakwilkan hadits di atas bahwasanya yang dimaksud adalah beliau masuk ke tempat khusus i’tikafnya, beristirahat di sana, dan menyendiri sesudah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu adalah waktu dimulainya i’tikaf. Dari sejak sebelum maghrib beliau i’tikaf dan menetap di masjid secara keseluruhan. Setelah selesai shalat shubuh baru beliau menyendiri (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Artinya beliau i’tikaf siang dan malam. Di malam hari beraktifitas ibadah semalaman, lalu sesudah shalat shubuh beliau baru beristirahat. Maka jika 10 hari terakhir beliau beri’tikaf, berarti beliau selesai i’tikaf di penghujung sore hari ke-30 atau maghrib tanggal 1 Syawwal.
Sekelompok orang ada yang berpendapat bahwa akhir i’tikaf itu ba’da shubuh hari ke-30 berdasarkan keterangan berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَلَمَّا كَانَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ نَقَلْنَا مَتَاعَنَا
Dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw di sepuluh malam pertengahan. Maka pada shubuh hari ke-20 kami memindahkan barang-barang keperluan kami.” (Shahih al-Bukhari bab man kharaja min i’tikafihi ba’das-shubhi no. 2040)
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa i’tikaf pada tahap awalnya dilaksanakan pada 10 hari pertama, lalu 10 hari kedua, dan pada akhirnya ditetapkan 10 hari terakhir setelah Nabi saw mendapatkan kepastian dari wahyu bahwa lailatul-qadar adanya pada 10 hari terakhir. Sabda Rasul saw berikut di antara dalilnya:
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ. فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (lailatul-qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya lailatul-qadar ada di 10 hari terakhir. Maka siapa di antara kalian yang ingin (melanjutkan) i’tikaf (sampai 10 hari terakhir), maka i’tikaflah.” Orang-orang pun beri’tikaf bersama beliau (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Potongan hadits Abu Sa’id di atas menjelaskan masa i’tikaf ketika diamalkan pada 10 hari kedua. Para shahabat saat itu memindahkan barang-barangnya ba’da shubuh hari terakhir dari 10 hari kedua tersebut. Oleh sebagian ulama ini dijadikan dalil bahwa i’tikaf itu berakhir ba’da shubuh. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, pendapat tersebut sangat lemah, sebab i’tikaf itu siang-malam, jadi kalau 10 hari maka mencakup 10 malam dan 10 siang. Maksud dari hadits Abu Sa’id di atas adalah: (1) para shahabat yang i’tikaf di waktu malam saja, ba’da shubuh terakhir langsung berkemas, atau (2) para shahabat hanya berkemas, tetapi tidak keluar atau mengakhiri i’tikaf sebelum maghrib (Fathul-Bari).