Pertengahan November silam dalam salah satu ceramahnya di Purwakarta, Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, memplesetkan salam Sunda, sampurasun, menjadi campur racun. Protes dari berbagai kalangan pun bermunculan. Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat (AMSM) melaporkan tokoh FPI tersebut ke Polda Jawa Barat karena dianggap menyampaikan ucapan kebencian.
Habib Rizieq Shihab sendiri, dalam ceramahnya di Pekalongan (Rabu, 25/11/2015, Kompas.com), menjelaskan bahwa plesetannya itu tidak dimaksudkan untuk menghina adat dan budaya Sunda. Ia hanya mengkritik keras Bupati Purwakarta dan yang mengikutinya karena sudah dengan sengaja mengganti salam yang diajarkan Islam dengan sampurasun.
“Sampurasun sebagai adat Sunda mempunyai makna sangat baik dan amat bagus serta boleh digunakan untuk menyapa sebagai penghormatan selama tidak dijadikan pengganti syari’at Assalamu ‘alaium,” tegas Habib Rizieq menjelaskan. Akan tetapi pengucapan sampurasun tersebut, jelas Habib Rizieq, tidak boleh dijadikan sarana untuk mengadu domba antara syari’at dan adat, karena masing-masing ada tempat dan syarat serta cara penggunaannya.
Penjelasan Habib Rizieq ini rupanya jarang diekspos oleh media-media yang senang mengadu domba antara umat Islam dan pelaku adat. Akibatnya muncullah su`uzhan (buruk sangka) dan penghinaan kepada ulama yang notabene waratsatul-anbiya` (pewaris para Nabi). Jangankan kepada ulama, kepada seorang muslim yang bukan ulama pun su`uzhan dan menghina itu diharamkan.
Menanggapi tuduhan tersebut, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menanggapinya dengan santai: “Assalamu ‘alaikum dan sampurasun itu adalah pertautan,” ujar Dedi (Kamis, 26/11/2015). Dedi menjelaskan, keislaman dan kesundaan adalah nilai imanensi dan transendensi yang mampu menata perilaku hidup manusia yang sempurna, karena itu tidak boleh dipertentangkan.
Dedi menyatakan, “Selama ini, saya selalu berucap assalamu ‘alaikum, dilanjutkan dengan sampurasun dalam berbagai kesempatan.” Bagi yang tidak percaya atau meragukan, ia mempersilahkan untuk datang ke bagian Humas Purwakarta. “Semua pidato saya terekam dengan baik dan tersimpan di arsip Humas sehingga siapa pun dapat mengaksesnya,” tutur dia (Kompas.com).
Dalam akun resmi Facebook dan twitter-nya, Dedi Mulyadi menjelaskan arti kata sampurasun dalam satu tulisan “Catatan Kecil Makna Sampurasun”. Ia menulis sebagai berikut:
Catatan Kecil Makna “Sampurasun”
Berasal dari kalimat “sampurna ning ingsun” yang memiliki makna “sempurnakan diri Anda”. Kesempurnaan diri adalah tugas kemanusiaan yang meliputi penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan penghisapan, penyempurnaan pengucapan, yang kesemuanya bermuara dalam kebeningan hati. Pancaran kebeningan hati akan mewujudkan sifat kasih sayang hidup manusia. Maka orang Sunda menyebutnya sebagai ajaran Siliwangi; silih asah, silih asih, silih asuh.
Ketajaman inderawi orang Sunda dalam memaknai sampurasun melahirkan karakter waspada permana tinggal; ceuli kajaga ku runguna, panon kajaga ku awasna, irung kajaga ku angseuna, letah kajaga ku ucapna, yang bermuara pada hate kajaga ku ikhlasna.
Waspada permana tinggal bukanlah sikap curiga pada seluruh keadaan, melainkan manifestasi dari sosok perilaku Sunda yang deudeuhan, welasan, asihan, nulung kanu butuh, nalang kanu susah, nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun.
Sikap ini melahirkan budaya gotong royong yang dilandasi oleh semangat sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salogak. Sistem komunalitas yang bermuara pada kesamaan titik penggerak pada Yang Maha Tunggal Penguasa seluruh kesemestaan.
Memusatkan seluruh energi kemanusiaan pada Kemahatunggalan Allah Penguasa alam semesta melahirkan karakter hilangnya sifat peng-aku-an dalam diri orang Sunda. Hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi sarengkak saparipolah sadaya kersaning Allah, Gusti Nu Maha Suci (kompas.com, detik.com).
Umat Islam tentu hanya bisa ber-husnu zhan (berbaik sangka) saja kepada Dedi Mulyadi, bahwa apa yang diakukannya itu benar adanya. Bahwa budaya Sunda yang ia tonjolkan selama pemerintahannya ini benar-benar berada di bawah kontrol agama Islam dan tidak melawan ajaran Islam.
Meski untuk hal lainnya husnu zhan ini masih sulit diwujudkan mengingat banyak hal yang janggal dari Dedi Mulyadi terkait kedekatannya dengan unsur-unsur klenik dan kemudian dibungkus dengan kemasan budaya Sunda. Dedi Mulyadi dalam hal ini harus juga turut menjelaskan bahwa itu semua tidak ada kaitannya dengan klenik atau musyrik, meski rupanya sangat susah dijelaskan seperti itu.
Didin Hafidhudin, seorang tokoh ulama Sunda dari Bogor menyatakan bahwa apa yang dibesar-besarkan oleh Dedi Mulyadi tersebut justru rentan dengan syiriknya. Menurutnya, tradisi Sunda itu justru sangat sesuai dengan Islam. Apa yang ditonjolkan oleh Dedi melalui penghargaannya pada berhala atau patung juga ritual-ritual klenik, merupakan ajaran-ajaran syirik yang menempel dan menjadi benalu dalam budaya Sunda. “Itu bukan adat Sunda. Adat Sunda sesuai dengan Islam,” tegas KH. Didin yang merupakan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat tersebut.
Direktur Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (Uika), Bogor itu pun kemudian menyatakan bahwa ritual-ritual syirik yang biasa dilakukan oleh Bupati Purwakarta tidak bisa juga dinyatakan sebagai kearifan lokal. “Kearifan lokal itu bagaimana kita bertindak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan masyarakat dipaksakan untuk memiliki keyakinan tertentu yang sudah salah dalam pandangan Islam,” tegas KH. Didin Hafidhudin.
Maka dari itu KH. Didin kemudian menegaskan, “Kita menghimbau kepada Bupati Purwakarta untuk tidak mengartikan kearifan lokal seperti itu,” tandasnya.
Kritikan pedas dari KH. Didin Hafidhudin dan Habib Rizieq Shihab di atas sebenarnya tidak salah alamat. Sebagaimana diketahui, selama memimpin Purwakarta, Dedi berusaha menghidupkan kembali agama Sunda Wiwitan. Sehingga ia menghiasi Purwakarta dengan aneka patung pewayangan termasuk patung Hindu Bali.
Dedi pun mengaku telah melamar Nyi Roro Kidul dan mengawininya. Selanjutnya ia membuat Kereta Kencana yang konon katanya untuk dikendarai Sang Istri, Nyi Roro Kidul. Kereta Kencana tersebut dipajang di Pendopo Kabupaten Purwakarta, dan diberi kemenyan serta sesajen setiap hari, lalu dibawa keliling Purwakarta setahun sekali saat acara Festival Budaya, dengan dalih untuk membawa keliling Nyi Roro Kidul buat keberkahan dan keselamatan Purwakarta.
Dedi juga menganjurkan agar siapa yang mau selamat lewat di jalan Tol Cipularang agar menyebut nama Prabu Siliwangi. Dan beberapa tahun lalu, Dedi juga pernah menyatakan bahwa suara seruling bambu lebih merdu daripada membaca al-Qur`an.
Selain itu pohon-pohon di sepanjang jalan kota Purwakarta diberi kain “Poleng”, yaitu kain kotak-kotak hitam putih, bukan untuk “keindahan”, tapi untuk “keberkahan” sebagaimana adat Hindu Bali, dan Dedi pun mulai sering memakai ikat kepala dengan kembang seperti para pemuka adat dan agama Hindu Bali (eramuslim.com).
Budaya Sunda selama masih berada dalam ranah adab dan etika maka statusnya dibolehkan dan tidak haram. Akan tetapi jika sudah masuk pada ranah keyakinan yang tidak diajarkan Islam, budaya tersebut jelas sudah menjadi syirik dan munkar. Umat Islam haram untuk bungkam dan diam, apalagi jika malah menyalahkan ulama. Kemusyrikan dan kemungkaran harus dimusnahkan, agar umat Islam tidak dimusnahkan Allah swt.
Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.