Semua khalifah rasyid terkenal dengan ketegasannya. Tetapi Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab ra lebih dikenal tegasnya daripada yang lainnya karena memang karakter bawaan beliau seperti itu. Salah satunya ketika menolak permintaan ‘Ali ra dan Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw) untuk memperoleh bagian waris dari Nabi Muhammad saw.
Malik ibn Aus menceritakan, ketika ia dipanggil oleh Khalifah ‘Umar untuk satu tugas, lalu setelah selesai dan hendak pulang tiba-tiba datang ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, az-Zubair ibn al-‘Awwam dan Sa’ad ibn Abi Waqqash meminta izin untuk menemui Khalifah. Tidak lama kemudian al-‘Abbas dan ‘Ali ibn Abi Thalib juga datang meminta izin untuk memenuhi Khalifah. Setelah diberitahukan kepada Khalifah maka beliau pun mengizinkan mereka semua masuk.
Ternyata mereka semua sedang berselisih dalam hal harta warisan peninggalan Rasulullah saw. Tepatnya al-‘Abbas dan ‘Ali ra yang masih ada hubungan keluarga dengan Nabi saw. Sementara empat shahabat sisanya sekedar ikut mengusulkan agar masalah ini segera diakhiri. Masalah ini dahulu pernah diajukan kepada Abu Bakar ra tetapi beliau enggan membagikannya kepada keluarga Rasul saw, karena beliau saw tidak meninggalkan warisan. Sepeninggal Abu Bakar ra, mereka kemudian mengajukannya kembali kepada Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab ra, berharap ada kebijakan yang berbeda. Akan tetapi rupanya ‘Umar ibn al-Khaththab ra sama tidak memberikan harta peninggalan Rasulullah saw tersebut.
Mengawali jawabannya kepada pihak yang mengajukan sengketa tersebut, ‘Umar ra berkata:
أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِى بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالأَرْضُ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ. قَالُوا نَعَمْ
Aku bertanya kepada kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya langit dan bumi tegak. Tahukah kalian bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Kami tidak dijadikan mewarisi. Apa yang kami tinggalkan itu adalah shadaqah.” Mereka menjawab: “Ya.”
‘Umar ra kemudian melanjutkan:
إِنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ كَانَ خَصَّ رَسُولَهُ صلى الله عليه وسلم بِخَاصَّةٍ لَمْ يُخَصِّصْ بِهَا أَحَدًا غَيْرَهُ قَالَ (مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ) فَقَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَيْنَكُمْ أَمْوَالَ بَنِى النَّضِيرِ فَوَاللَّهِ مَا اسْتَأْثَرَ عَلَيْكُمْ وَلاَ أَخَذَهَا دُونَكُمْ حَتَّى بَقِىَ هَذَا الْمَالُ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْخُذُ مِنْهُ نَفَقَةَ سَنَةٍ ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِىَ أُسْوَةَ الْمَالِ. ثُمَّ قَالَ أَنْشُدُكُمْ بِاللَّهِ الَّذِى بِإِذْنِهِ تَقُومُ السَّمَاءُ وَالأَرْضُ أَتَعْلَمُونَ ذَلِكَ قَالُوا نَعَمْ
Sesungguhnya Allah awj memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya saw dengan satu kekhususan yang tidak diberikan kepada seorang pun selainnya. ‘Umar membacakan ayat fai/rampasan perang yang perangnya tidak jadi karena musuh lari (QS. al-Hasyr [59] : 6-7). Rasulullah saw lalu membagikan di antara kalian harta Banin-Nadlir. Demi Allah beliau tidak pernah mendahulukan dirinya di atas kalian, tidak pernah pula mengambilnya sebelum kalian, sehingga harta ini ada sisanya. Rasulullah saw mengambil darinya nafkah untuk satu tahun kemudian menjadikan harta sisanya sebagai harta milik bersama.
‘Umar ra kemudian bertanya lagi dengan nama Allah apakah mereka mengetahui hal itu? Mereka semua menjawab: “Na’am”. ‘Umar ra lalu berkata:
فَلَمَّا تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا وَلِىُّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجِئْتُمَا تَطْلُبُ مِيرَاثَكَ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ وَيَطْلُبُ هَذَا مِيرَاثَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ. فَرَأَيْتُمَاهُ كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُ لَصَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ
Ketika Rasulullah saw wafat, Abu Bakar berkata: “Aku adalah wali Rasulullah saw. Kalian berdua datang menuntut waris dari anak saudaramu, dan yang ini menuntut waris istrinya dari ayahnya.” Abu Bakar berkata: Rasulullah saw bersabda: “Kami tidak dijadikan mewarisi. Apa yang kami tinggalkan itu adalah shadaqah.” Lalu kalian menilainya berdusta, berdosa, menipu, dan khianat. Padahal Allah tahu sungguh ia jujur, benar, memberikan petunjuk, dan mengikuti haq.
وَأَنَا وَلِىُّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَوَلِىُّ أَبِى بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِى كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّى لَصَادِقٌ بَارٌّ رَاشِدٌ تَابِعٌ لِلْحَقِّ
Dan aku adalah wali Rasulullah saw dan Abu Bakar. Lalu kalian menilaiku juga berdusta, berdosa, menipu, dan khianat. Padahal Allah tahu sungguh aku jujur, benar, memberikan petunjuk, dan mengikuti haq.
وَلاَ وَاللَّهِ لاَ أَقْضِى بَيْنَكُمَا بِغَيْرِ ذَلِكَ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Tidak, demi Allah, aku tidak akan menetapkan keputusan di antara kalian selain itu sampai terjadi kiamat (Shahih Muslim bab hukmil-fai` no. 4676).
Riwayat shahih ini menunjukkan bahwa sengketa dalam hal harta harus dianggap wajar meski di antara sesama orang-orang shalih sebagaimana para shahabat di atas. Hanya tentunya wajib bagi semua pihak yang terlibat sengketa untuk menyelesaikannya dengan lapang dada, bukan malah mendiamkannya sehingga menjadi bara dalam sekam, bahkan sampai dibawa mati.
Dalam hal ini penting juga hadirnya sesosok pemimpin yang berwibawa dan tegas seperti ‘Umar ra, sebab banyak sekali sengketa yang tidak berujung damai karena ketidaktegasan pemimpinnya. Pihak yang bersengketa pun harus menerima keputusan pemimpin yang memutuskan meski keputusannya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
‘Ali ibn Abi Thalib sendiri dan keluarga Nabi saw secara keseluruhan memang mengetahui hadits yang disampaikan Abu Bakar dan ‘Umar ra di atas, hanya mereka memahami bahwa sebagian harta peninggalan Rasulullah saw yang memang sudah menjadi milik Rasulullah saw sejak lama itu menjadi milik keluarganya. Akan tetapi Abu Bakar dan ‘Umar tidak memutuskan demikian. ‘Ali ra pun kemudian menerimanya, dan ketika ia jadi Khalifah ia tidak membatalkan keputusan Abu Bakar dan ‘Umar ra ini.
‘Ali ra tentu tidak menyimpan dendam kepada Abu Bakar dan ‘Umar ra atas keputusan mereka yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ini terlihat dari ketulusan ‘Ali ibn Abi Thalib ra memuji ‘Umar ibn al-Khaththab ketika beliau wafat, yang disampaikannya kepada Ibn ‘Abbas ra:
مَا خَلَّفْتَ أَحَدًا أَحَبَّ إِلَىَّ أَنْ أَلْقَى اللَّهَ بِمِثْلِ عَمَلِهِ مِنْكَ وَايْمُ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَ صَاحِبَيْكَ وَذَاكَ أَنِّى كُنْتُ أُكَثِّرُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ جِئْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ. فَإِنْ كُنْتُ لأَرْجُو أَوْ لأَظُنُّ أَنْ يَجْعَلَكَ اللَّهُ مَعَهُمَا.
Kamu tidak meninggalkan seorang pun yang lebih aku inginkan ketika aku bertemu Allah menyamai amalnya melainkan dirimu. Demi Allah sungguh aku dari sejak awal menduga Allah akan menjadikanmu bersama dua sahabatmu (Rasul saw dan Abu Bakar) karena sering sekali aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar”, “Aku masuk bersama Abu Bakar dan ‘Umar”, “Aku keluar bersama Abu Bakar dan ‘Umar”. Dari itu sungguh aku berharap dan yakin Allah akan menjadikanmu bersama dua sahabatmu (Shahih al-Bukhari bab manaqib ‘Umar ibn al-Khaththab no. 3685; Shahih Muslim bab min fadla`il ‘Umar no. 6338).
Wal-‘Llahu a’lam