Akhlaq

Kemuliaan Penjamin Anak Yatim

Anak yatim banyak disebutkan dalam al-Qur`an sebagai pihak yang harus mendapatkan perhatian dari semua orang. Minimalnya mereka jangan dihardik atau dikasari. Maksimalnya mereka dijamin kehidupannya hingga mampu hidup mandiri. Bagi para penjamin kehidupan anak-anak yatim ini Nabi ﷺ memberikan kemuliaan khusus.

Orang-orang yang siap menjamin kehidupan anak-anak yatim dijanjikan oleh Nabi saw akan mendapatkan tempat tertinggi di surga dan paling awal menikmati surga sebelum penghuni surga lainnya. Dalam hadits Sahl ibn Sa’ad ra, Nabi saw bersabda:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Saya dan orang yang mengurus anak yatim di surga seperti ini. (Kata Sahl:) Beliau sambil berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab fadlli man ya’ulu yatiman [keutamaan orang yang mengurus anak yatim] no. 6005).

Dalam sanad ‘Amr ibn Zurarah yang diriwayatkan al-Bukhari dalam bab al-li’an [saling laknat], hadits Sahl ibn Sa’ad tersebut juga menyebutkan isyarat jari telunjuk dan tengah yang direnggangkan:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Saya dan yang mengurus anak yatim di surga seperti ini. (Kata Sahl:) Beliau sambil berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dengan merenggangkannya sedikit (Shahih al-Bukhari bab al-li’an [saling laknat] no. 5304).

Dalam sanad Shafwan ibn Sulaim, riwayat Malik, yang dimaushulkan melalui ‘Atha` ibn Yasar dan diriwayatkan al-Baihaqi, matan hadits di atas redaksinya:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ

Saya dan yang mengurus anak yatim, baik itu miliknya atau milik yang lainnya, berada di surga seperti dua jari ini (Muwaththa` Malik kitab as-syi’r bab as-sunnah fis-syi’r no. 5 (hadits mursal Shafwan ibn Sulaim); As-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab man ahabbad-dukhul fiha wal-qiyam bi kafalatil-yatama [orang yang ingin masuk surga dan mengambil peran sebagai penjamin kehidupan anak-anak yatim] no. 12663, 12665no. 12665).

Maksud “anak yatim miliknya atau milik yang lainnya”, menurut al-Hafizh Ibn Hajar dijelaskan dalam riwayat al-Bazzar dari hadits Abu Hurairah:

مَنْ كَفَلَ يَتِيْمًا لَهُ قَرَابَةٌ أَوْ لاَ قَرَابَةَ لَهُ فَأَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَضَمَّ أُصْبُعَيْهِ

Siapa yang mengurus anak yatim, baik yang ada hubungan kerabat atau tidak ada hubungan kerabat, maka saya dan ia di surga seperti dua jari ini, sambil merapatkan kedua jarinya (Musnad al-Bazzar no. 9689).

Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian menjelaskan:

وَمَعْنَى قَوْله “لَهُ” بِأَنْ يَكُون جَدًّا أَوْ عَمًّا أَوْ أَخًا أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ الْأَقَارِب أَوْ يَكُون أَبُو الْمَوْلُود قَدْ مَاتَ فَتَقُوم أُمّه مَقَامه أَوْ مَاتَتْ أُمّه فَقَامَ أَبُوهُ فِي التَّرْبِيَة مَقَامهَا

Maksud sabda beliau “miliknya” berarti pengurusnya adalah kakek, paman, saudara, atau kerabat lainnya. Bisa juga ayah anak meninggal dunia, maka ibunya sendirian yang mengurus anaknya, atau ibunya anak meninggal dunia, maka ayah yang menggantikan peran ibu dalam mengurus dan mendidiknya. (Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman).

Artinya keutamaan bagi pengurus anak yatim yang dimaksudkan Nabi saw dalam hadits di atas tidak harus seseorang yang mengurus anak yatim yang tiada hubungan kerabat dengannya. Atau seseorang yang mengurus panti asuhan yatim, dimana umumnya anak-anak yatim yang diurusnya bukan kerabatnya. Kemuliaan yang dijanjikan hadits di atas berlaku juga bagi seseorang yang mengurus cucunya yang yatim, mengurus keponakannya yang yatim, mengurus adik-adiknya yang yatim, atau menjadi single parent (orangtua tunggal) untuk anak-anaknya yang ditinggal mati suami atau istrinya. Termasuk juga menikahi seorang perempuan dengan tujuan mengurus anak-anak istrinya dari suaminya yang pertama, atau bersedia dinikahi seorang pria dengan tujuan turut mengurus anak-anak suaminya dari istrinya yang pertama.

Maka dari itu, dalam hadits lain Nabi saw menjelaskan keutamaan mengurus anak yatim yang ditujukan secara khusus kepada seorang perempuan single parent (menjadi orangtua tunggal/menjanda) dalam mengurus anak-anaknya yang yatim ditinggal mati bapaknya:

أَنَا أَوَّلُ مَنْ يُفْتَحُ لَهُ بَابُ الْجَنَّةِ، إِلَّا أَنَّهُ تَأْتِي امْرَأَةٌ تُبَادِرُنِي فَأَقُولُ لَهَا: مَا لَكِ؟ وَمَا أَنْتِ؟ فَتَقُولُ: أَنَا امْرَأَةٌ قَعَدْتُ عَلَى أَيْتَامٍ لِي

Saya adalah orang pertama yang dibukakan pintu surga, tetapi tiba-tiba ada seorang perempuan yang menyusulku. Lalu aku bertanya: “Mengapa kamu bisa seperti ini? Siapa kamu?” Ia menjawab: “Aku adalah seorang perempuan yang duduk (mengurus, tidak menikah lagi—pen) untuk anak-anakku yang yatim.” (Musnad Abi Ya’la al-Mushili musnad Abi Hurairah no. 6651. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman menilai rawi-rawinya la ba`sa bihim; tidak ada yang cacat).

أَنَا وَامْرَأَةٌ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ كَهَاتَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَأَوْمَأَ يَزِيدُ بِالْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةِ امْرَأَةٌ آمَتْ مِنْ زَوْجِهَا ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ حَبَسَتْ نَفْسَهَا عَلَى يَتَامَاهَا حَتَّى بَانُوا أَوْ مَاتُوا

“Saya dan seorang perempuan yang berubah warna pipinya seperti dua jari ini pada hari kiamat.” Yazid ibn Zurai’—seorang rawi hadits ini—berisyarat dengan jari tengah dan telunjuk. “Yaitu seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, padahal ia seorang perempuan terpandang dan cantik, tetapi ia menahan dirinya (tidak menikah lagi—‘Aunul-Ma’bud) demi anak-anaknya yang yatim, sampai mereka bisa hidup mandiri atau meninggal dunia.” (Sunan Abi Dawud kitab al-adab bab fi fadlli man ‘ala yatiman no. 5151. Syua’ib al-Arnauth: Hadits hasan li ghairihi. Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri menjadikannya hujjah penguat dalam Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman).

Maksud “berubah warna pipinya” dijelaskan oleh Imam al-‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul-Ma’bud, yakni perempuan yang cantik, tetapi karena hidupnya susah dan capek dalam mengurus anak-anaknya sendiri, jadi tidak sempat mempercantik dirinya dan itu terlihat dari pipinya yang menghitam. Terlebih ia memilih tetap menjanda dan sendirian dalam mengurus anak-anaknya yang yatim karena terlalu sayang kepada mereka atau bersabar sehingga tidak merasa ada kewajiban mendandani wajahnya (‘Aunul-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud). Meski tentu ini tidak menjadi dalil bahwa dianjurkan bagi mereka yang memilih menjadi single parent untuk tidak berdandan. Hadits ini hanya menginformasikan keberadaan perempuan yang seperti itu, bukan menganjurkan seperti itu. Yang dianjurkan—berdasarkan hadits-hadits yang di atas juga—adalah kesabarannya mengurus anak-anaknya yang yatim.

Dengan dua hadits yang terakhir ini, bisa diketahui bahwa kemuliaan bagi pengurus anak yatim itu, sebagaimana disimpulkan al-Hafizh Ibn Hajar, adalah (1) cepat masuk surga bersama dengan rombongan awal Nabi saw, dan (2) dalam hal ketinggian atau kedekatan, tempatnya dengan Nabi saw di surga nanti.

Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya memberikan catatan bahwa maksud dekat tempatnya di surga nanti itu tidak berarti sama selevel dengan Nabi saw, sebab walau bagaimanapun martabatnya tidak sama dengan Nabi saw. Hal demikian bisa mudah dipahami karena memang Nabi saw juga dalam hadits-hadits di atas disebutkan agak merenggangkan jari telunjuk dan tengahnya. Jadi sebatas menunjukkan dekat, meski tidak sama atau setingkat. Demikian Al-Hafizh menyimpulkan dalam Fathul-Bari.

Walau demikian, ini jelas menunjukkan kemuliaan mereka yang mengurus anak yatim, sebab memang tidak mungkin ada yang menyamai Nabi saw dalam hal apapun juga. Maka dari itu al-Hafizh menekankan pentingnya hadits di atas dengan mengutip pernyataan Ibn Bathal sebagai berikut:

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: حَقٌّ عَلَى مَنْ سَمِعَ هَذَا الْحَدِيث أَنْ يَعْمَل بِهِ لِيَكُونَ رَفِيق النَّبِيّ ﷺ فِي الْجَنَّة، وَلَا مَنْزِلَة فِي الْآخِرَة أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ

Ibn Baththal menjelaskan: “Sudah seharusnya siapa saja yang mendengar hadits ini untuk mengamalkannya agar ia dekat dengan Nabi saw di surga, sebab tidak ada tempat di akhirat yang lebih utama daripada itu.” (Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman).

Maksud dari kafil (menjamin) itu sendiri dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar: “al-Qayyim bi amrihi wa mashalihihi; yang mengurus urusannya dan semua kemaslahatannya” (Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman). Imam al-Bukhari sendiri memberikan penjelasan dengan tarjamah ya’ulu yatiman; menjadikan anak yatim sebagai keluarga. Maksudnya, dijelaskan al-Hafizh: “Yurabbihi wa yunfiqu ‘alaihi; mendidiknya dan memberinya nafkah” (Fathul-Bari bab fadlli man ya’ul yatiman). Jadi meski tidak sampai mengurus anak yatim di rumah sendiri atau memiliki semacam panti asuhan, menjamin kehidupan anak yatim bisa ditempuh dengan berbagai cara sepanjang itu membantu kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Secara khusus jika anak yatim itu memiliki harta peninggalan dari orangtuanya, maka harta itu harus diurus juga dengan cara yang terbaik/ahsan (QS. al-An’am [6] : 152; al-Isra` [17] : 34). Allah swt menyebutkannya juga dengan cara ma’ruf. Jika yang mengurusnya orang kaya jangan pernah mengambilnya sedikit pun atau mencampurkannya dengan hartanya. Jika yang mengurusnya orang faqir, maka boleh turut menggunakan harta anak yatim itu tetapi dengan cara yang patut dan wajar (QS. an-Nisa` [4] : 2, 6). Orang yang sengaja menghabiskan harta anak yatim diancam dengan siksa memakan api neraka (QS. an-Nisa` [4] : 10).

Jangan pernah berniat menikahi seorang perempuan yang berstatus anak yatim karena terobsesi dengan hartanya agar ia bisa turut menikmatinya. Jika itu motifnya, nikahi saja perempuan yang lain, karena boleh beristri dua, tiga, atau empat dalam satu masa (QS. an-Nisa` [4] : 3).

Penekanan dari Ibn Baththal di atas agar setiap muslim terlibat dalam pengurusan anak yatim, sebenarnya sudah diperingatkan juga oleh Allah swt dalam QS. al-Ma’un [107]. Allah swt menyebutkan mereka yang menyusahkan atau membiarkan anak yatim kesusahan sebagai orang-orang yang bohong dalam agama, sebab standar agama itu shalat dan zakat/berderma. Orang-orang yang lalai dalam memperhatikan orang miskin dan anak yatim, berarti lalai dalam shalatnya, dan itulah orang-orang yang mendustakan agama atau hari pembalasan. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button