Riya dan sum’ah adalah penyakit akut yang dimiliki oleh orang-orang shalih. Meski menimpa juga orang-orang munafiq tetapi modelnya berbeda jauh, terlebih orang-orang munafiq sudah pasti masuk neraka. Namun jika menimpa orang-orang shalih tentunya sangat berbahaya, sebab mereka yang sudah menjadi calon penghuni surga kemudian menjadi gagal masuk surga gara-gara riya dan sum’ah. Status mereka pun menjadi seperti orang-orang munafiq.
Riya dan sum’ah adalah dua perbuatan yang satu hakikat, yakni “memperlihatkan amal ibadah agar dilihat orang lain dan mendapatkan pujian mereka.” Bedanya, riya berasal dari kata ra`â (melihat) yang berarti ingin dilihat, sementara sum’ah dari sami’a (mendengar) yang berarti ingin didengar orang lain. Imam al-Ghazali menyatakan, inti dari keduanya adalah ingin mendapatkan tempat di hati orang lain. Sementara itu, menurut Imam Ibn ‘Abdissalam, ada perbedaan sedikit antara riya dan sum’ah; riya adalah memperlihatkan amal, sedangkan sum’ah menyembunyikan amal tetapi kemudian membicarakannya kepada orang lain (Fathul-Bari bab ar-riya` was-sum’ah).
Riya pada orang munafiq tampak dalam amal yang asal-asalan karena niatan utamanya “yang penting terlihat” oleh orang lain bahwa dirinya juga beramal shalih. Tidak peduli bagaimana kualitas amalnya tersebut karena niatnya hanya sekedar formalitas belaka sehingga faktanya amalnya tidak shalih sama sekali. Shalat mereka amalkan dengan lalai dan malas, shadaqah pun diamalkan dengan berat hati. Mereka sama sekali tidak tergugah untuk selalu menyantuni faqir miskin dan bahkan berani menghardik anak yatim (QS. al-Ma’un, an-Nisa` [4] : 142, dan at-Taubah [9] : 54). Sementara riya pada orang-orang beriman tampak pada amal yang diperbagus dan dipercantik karena memang tujuannya mendapatkan perhatian dari orang lain. Ketika tidak terlihat orang lain, hatinya merasa tidak puas karena orang lain harus mengetahuinya, maka ia pun membicarakannya kepada orang lain. Yang terakhir inilah yang disebut sum’ah. Baik riya atau sum’ah, kedua-duanya diancam oleh Nabi saw:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
Siapa yang memperdengarkan amalnya, maka Allah akan memperdengarkan kejelekannya, dan siapa yang memperlihatkan amalnya, maka Allah akan memperlihatkan kejelekannya (Hadits Jundab dalam Shahih al-Bukhari bab ar-riya` was-sum’ah no. 6499; hadits Ibn ‘Abbas dalam Shahih Muslim bab man asyraka fi ‘amalihi gharial-‘Llah no. 7667).
Faktanya memang demikian. Terhadap orang yang riya dan sum’ah siapapun tidak akan bersimpati, malah yang terjadi bersikap antipasti terhadapnya. Jadinya jauh panggang dari api. Berharap mendapatkan pujian dan simpati, yang terjadi malah mendapatkan hinaan dan caci maki. Berharap menjadi orang yang terpandang karena keshalihannya, malah menjadi terpandang karena keburukan akhlaqnya.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar ada dua makna lain dari hadits di atas selain yang sudah dituliskan, yaitu: Siapa yang riya atau sum’ah maka ia pasti akan mendapatkan apa yang ia inginkan, yakni terlihat dan diketahui sebagai orang shalih, tetapi kelak di akhirat ia akan dibinasakan. Jadi sangat mungkin pelaku riya dan sum’ah dikenal sebagai orang shalih, mendapatkan simpati dan pujian dari semua orang, dan dijadikan teladan atau bahkan rujukan ilmu. Akan tetapi itu semuanya semu, sebab nanti di akhirat ia akan dijerumuskan ke dalam neraka. Makna ini sama dengan firman Allah swt dalam surat Hud.
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيۡهِمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ فِيهَا وَهُمۡ فِيهَا لَا يُبۡخَسُونَ ١٥ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيۡسَ لَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَٰطِلٞ مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٦
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan (QS. Hud [11] : 15-16. Ayat semakna terdapat juga dalam QS. al-Isra` [17] : 18-19 dan as-Syura [42] : 20).
Dalam hadits lain juga dijelaskan demikian. Orang-orang shalih yang mendapatkan pujian di dunia sebagai pahlawan, ahli al-Qur`an, dan orang dermawan, nyatanya mereka semua masuk neraka akibat riya dan sum’ah.
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ فَقَدْ قِيْلَ
“Kamu dusta, kamu berperang agar disebut pahlawan, dan sungguh kamu telah mendapatkannya.”
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ
“Kamu dusta, kamu belajar ilmu agar disebut ilmuwan dan kamu membaca al-Qur`an agar disebut qari, dan sungguh kamu telah mendapatkannya.”
كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَّادٌ فَقَدْ قِيْلَ
“Dusta kamu, kamu berbuat seperti itu agar disebut dermawan dan sungguh kamu telah mendapatkannya.”
Mereka itu semuanya:
ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
…diperintahkan agar ia diseret pada wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka (Shahih Muslim kitab al-imarah bab man qatala lir-riya was-sum’ah istahaqqa an-nar no. 1905).
Makna ketiga dari hadits di atas, siapa yang beramal karena riya dan sum’ah maka Allah akan memperlihatkannya dan mengumumkannya kepada semua makhluk di hari kiamat bahwa amalnya riya/sum’ah dan otomatis tidak akan diterima, yang ada malah justru disiksa (Fathul-Bari bab ar-riya` was-sum’ah). Kondisinya tidak jauh beda dengan yang dijelaskan hadits sebelumnya dan hadits berikut:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلرِّيَاءُ يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling ditakuti dari apa yang aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil.” Para shahabat bertanya: “Apa syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya. Allah ‘Azza wa Jalla akan berfirman pada hari kiamat ketika Dia membalas amal-amal manusia, ‘Pergilah kepada pihak-pihak yang kalian riya terhadapnya sewaktu di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?” (Musnad Ahmad bab hadits Mahmud ibn Labid no. 23630).
وَأَمَّا الْكُفَّارُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيُنَادَى بِهِمْ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّهِ
Adapun orang-orang kafir dan munafiq, maka mereka akan diseru di atas semua makhluk: “Inilah orang-orang yang berdusta kepada Allah…” (Shahih Muslim bab qabul taubatil-qatil wa in katsura qatluhu no. 7191. Bagian akhir hadits merupakan kutipan dari QS. Hud [11] : 18).
Meski demikian jika tujuannya untuk diikuti oleh orang lain atau agar orang lain mengambil manfaat darinya, maka memperlihatkan amal itu dianjurkan, meski tetap dalam kadar yang tidak berlebihan, seperti menulis dan menyebarkan ilmu. Nabi saw sendiri, sebagaimana diriwayatkan Sahl ibn Sa’ad, pernah sengaja shalat di atas mimbar untuk posisi berdiri, ruku’, dan i’tidal. Sementara untuk posisi sujud dan duduk beliau berjalan mundur dan turun ke bawah. Beliau lalu menjelaskan:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي
Wahai jama’ah sekalian, hanyasanya aku berbuat seperti ini agar kalian bisa mengikuti dan mempelajari shalatku (Shahih al-Bukhari bab al-khuthbah ‘alal-minbar no. 917).
Imam at-Thabari meriwayatkan beberapa atsar dari Ibn ‘Umar, Ibn Mas’ud, dan sekelompok salaf lainnya, bahwa mereka sengaja shalat tahajjud di masjid dan memperlihatkan amal-amal baik mereka agar dijadikan teladan oleh umat. Imam at-Thabari menyatakan:
فَمَنْ كَانَ إِمَامًا يُسْتَنُّ بِعَمَلِهِ عَالِمًا بِمَا لِلَّهِ عَلَيْهِ قَاهِرًا لِشَيْطَانِهِ اِسْتَوَى مَا ظَهَرَ مِنْ عَمَلِهِ وَمَا خَفِيَ لِصِحَّةِ قَصْدِهِ. وَمَنْ كَانَ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَالْإِخْفَاءُ فِي حَقِّهِ أَفْضَلُ، وَعَلَى ذَلِكَ جَرَى عَمَل السَّلَف
“Siapa yang sudah jadi imam dimana amal shalihnya sudah dijadikan sunnah/teladan, sangat berilmu dengan kewajibannya kepada Allah, mampu mengendalikan bisikan setannya, dan sudah sama saja baginya amal yang tampak dan tersembunyi karena niatnya sudah shahih, maka menampakkan amal lebih baik. Sementara orang yang belum sampai tingkatan demikian, maka menyembunyikan amal tentu lebih utama. Dan demikianlah amal salaf.”
Terkait penjelasan Imam at-Thabari di atas, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, ada dua hadits yang menguatkannya. Pertama, hadits Anas riwayat at-Thabari sendiri:
سَمِعَ النَّبِيّ ﷺ رَجُلًا يَقْرَأ وَيَرْفَع صَوْتَهُ بِالذِّكْرِ فَقَالَ إِنَّهُ أَوَّابٌ قَالَ فَإِذَا هُوَ الْمِقْدَادُ بْن الْأَسْوَدِ
Nabi saw mendengar seseorang membaca dan mengeraskan suara dzikirnya, lalu beliau bersabda: “Orang ini sangat ta’at (arti asal: selalu kembali kepada Allah).” Ternyata ia adalah al-Miqdad ibn al-Aswad (Fathul-Bari).
Kedua, hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad dan sanadnya hasan:
قَامَ رَجُلٌ يُصَلِّي فَجَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيّﷺ : لَا تُسْمِعْنِي وَأَسْمِعْ رَبَّك
Ada seseorang yang shalat dan menjaharkan bacaan shalatnya. Nabi saw bersabda kepadanya: “Jangan kamu memperdengarkan kepadaku, tetapi perdengarkanlah kepada Rabbmu.” (Fathul-Bari).
Kepada orang pertama Nabi saw turut memuji karena keshalihannya sudah teruji, sementara kepada orang kedua Nabi saw menegurnya menampakkan amal karena keshalihan niatnya belum teruji.