Kedudukan Shalat Berjama’ah di Masjid bagi Perempuan

Di Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi pemandangan kaum perempuan shalat berduyun-duyun ke masjid adalah pemandangan yang lumrah saja. Tetapi di beberapa masjid di Indonesia, hal tersebut masih belum lumrah. Meski di beberapa masjid seperti Jogokarian dan sekitarnya lumrah juga melihat kaum perempuan berbondong-bondong shalat di masjid. Pada umumnya masih ada yang merasa terhalang dengan hadits “rumah lebih baik bagi perempuan”. Bagaimana mendudukkan hadits tersebut menurut para ulama?

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim bab khurujin-nisa ilal-masjid dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas menjelaskan bahwa hadits “rumah lebih baik bagi perempuan” tidak berarti bahwa perempuan lebih jelek shalat di masjid. Rumah lebih baik bagi kaum perempuan itu karena ada sebab yakni kerentanan kaum perempuan terhadap fitnah ikhtilath dengan kaum lelaki atau memperlihatkan dandanan dan perhiasan mereka kepada kaum lelaki. Kesimpulan seperti ini didasarkan pada pembacaan yang menyeluruh atas hadits-hadits seputar keutamaan shalat berjama’ah, yakni bahwa hadits tersebut berlaku umum untuk kaum perempuan. Demikian juga banyak kaum perempuan yang mendawamkan shalat di masjid pada masa Nabi saw dan beliau tidak menegurnya. Ditambah dalil-dalil lain yang mengarahkan sebab perempuan lebih baik shalat di rumah yakni menjauhi fitnah.

Hadits yang dimaksud terkait shalat berjama’ah bagi perempuan di masjid adalah:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

Janganlah kalian menghalangi istri kalian untuk ke masjid, jika mereka minta izin kepada kalian untuk ke masjid (Shahih Muslim bab khurujin-nisa ilal-masjid no. 1017).

لاَ تَمْنَعُوْا نِساَءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian menghalangi istri kalian untuk ke masjid. Tetapi rumah mereka lebih baik bagi mereka (Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fi khurujin-nisa ilal-masjid no. 567).

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

Janganlah kalian menghalangi perempuan-perempuan Allah untuk ke masjid Allah. Tetapi hendaklah mereka keluar dalam keadaan tafilat (tidak menggunakan wewangian) (Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fi khurujin-nisa ilal-masjid no. 565).

Hadits di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah terbiasa shalat berjama’ah di masjid, lalu ada keberatan di kalangan suami, tetapi Nabi saw ternyata melarang para suami dari mencegah istri-istrinya untuk shalat di masjid.

Sabda Nabi saw: “Tetapi rumah mereka lebih baik bagi merekamaknanya berkaitan dengan sabdanya: “Tetapi hendaklah mereka keluar dalam keadaan tafilat (tidak menggunakan wewangian).” Artinya rumah lebih baik bagi perempuan itu karena dikhawatirkan jadi sumber fitnah akibat wewangian yang biasa digunakan. Maka dari itu Nabi saw tetap mengizinkan kaum perempuan shalat di masjid asalkan tidak berdandan. Jadi silahkan shalat di masjid asalkan harus tafilat, dan jika tidak bisa tafilat maka berarti shalat di rumah lebih baik bagi perempuan. Demikian makna inti dari hadits di atas.

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa maksud tafilat adalah “tidak memakai wewangian”. Termasuk di dalamnya memakai pakaian yang menarik perhatian, perhiasan, dan bercampur baur (ikhtilath) dengan kaum lelaki. Itu semua didasarkan pada pemahaman bahwa maksud perintah Nabi saw agar kaum perempuan tafilat adalah tidak adanya fitnah syahwat (Fathul-Bari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas).

Dalam konteks hari ini, pengamalan tafilat bagi kaum perempuan adalah dianjurkan memakai mukena yang tidak bermotif, atau tidak boleh berdandan dan memakai wewangian ketika mereka shalat ke masjid. Selain itu pintu masuk keluar untuk jama’ah perempuan harus dibedakan dengan pintu untuk jama’ah lelaki. Atau sebagaimana akan disinggung di bawah, jama’ah perempuan keluar terlebih dahulu sebelum jama’ah lelaki. Itu juga berarti bahwa fiqihnya adalah tempat shalat perempuan harus tidak berbaur dengan laki-laki. Pengurus masjid harus membuat sekat yang bisa memisahkan area shalat perempuan dan laki-laki. Bahkan dianjurkan menjaga agar tidak saling berpandangan antara laki-laki dan perempuan dengan menutup area shalat perempuan dari pandangan laki-laki.

Selama tafilat itu bisa diamalkan oleh kaum perempuan maka mereka boleh dan bahkan baik untuk shalat di masjid guna mengejar pahala shalat berjama’ah 27 kali lipat daripada shalat munfarid. Terlebih faktanya di zaman Nabi saw sendiri, kaum perempuan terbiasa shalat di masjid. Imam al-Bukhari dalam bab khurujin-nisa` ilal-masajid bil-lail wal-ghalas (keluarnya kaum perempuan menuju masjid pada waktu malam dan gelap shubuh) menuliskan beberapa hadits tentang keikutsertaan kaum perempuan pada zaman Nabi saw shalat berjama’ah di masjid, yaitu:

Pertama, hadits Ibn ‘Umar ra, dari Nabi saw:

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

Apabila istri-istri kalian meminta izin pada waktu malam untuk pergi ke masjid, maka izinkanlah mereka (Shahih al-Bukhari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas no. 865).

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kaum perempuan shalat berjama’ah di masjid Nabi saw pada zaman beliau hidup, dan para suaminya dilarang untuk menghalanginya.

Kedua, hadits Ummu Salamah ra:

أَنَّ النِّسَاءَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَمَنْ صَلَّى مِنْ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَامَ الرِّجَالُ

Kaum perempuan pada zaman Rasulullah saw apabila salam dari shalat wajib, mereka segera berdiri. Sementara Rasulullah saw dan jama’ah lelaki tetap di tempat mereka sebagaimana dikehendaki Allah. Ketika Rasulullah saw beranjak, maka jama’ah lelaki pun ikut beranjak (Shahih al-Bukhari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas no. 866).

Fiqih dari hadits ini harus diupayakan agar jama’ah perempuan tidak berbaur dengan jama’ah laki-laki. Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kaum perempuan ikut shalat berjama’ah di masjid Nabi saw.

Ketiga, hadits ‘Aisyah yang menjelaskan bahwa jama’ah perempuan yang ikut shalat shubuh pulang dari masjid dengan berselimut kain baju dari kepala sampai ke bawah (semacam mukena). Mereka tidak dikenali perorangannya karena masih gelap.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Sungguh Rasulullah saw shalat shubuh, lalu kaum perempuan pulang dengan berselimut kain baju dari kepala sampai ke bawah. Mereka tidak dikenali karena masih gelap.” (Shahih al-Bukhari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas no. 867).

Hadits ini menunjukkan bahwa kaum perempuan di zaman Nabi saw bahkan ikut shalat berjama’ah shubuh di masjid. Mereka juga keluar dengan tafilat memakai pakaian semacam mukena. Maka dari itu memakai mukena bagi kaum perempuan ini termasuk sunnah/dianjurkan meski pakaian sehari-hari sudah menutup semua aurat.

Keempat, hadits Abu Qatadah yang menjelaskan bahwa Nabi saw semula mau memanjangkan bacaan shalat tetapi kemudian tidak jadi karena mendengar tangisan anak kecil. Nabi saw jadi meringkas shalatnya karena khawatir memberatkan ibu anak tersebut. Ini jadi dalil bahwa ibu-ibu pada zaman Nabi saw ada yang shalat di masjid membawa anak-anak mereka yang masih kecil. Ketika dirasa ada gangguan dari anak kecil, bukan kemudian ibu-ibu dan anak-anak kecil dilarang shalat di masjid, tetapi imam dan jama’ah masjid yang menyesuaikan diri agar semuanya tetap nyaman shalat berjama’ah di masjid.

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r إِنِّي لَأَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

Dari Abu Qatadah al-Anshari, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sungguh saya semula ingin memanjangkan bacaan shalat, tetapi saya mendengar tangisan anak kecil jadi saya meringkas shalatku karena takut memberatkan ibunya.” (Shahih al-Bukhari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas no. 868).

Kelima, hadits ‘Aisyah yang menyatakan seandainya Nabi saw masih hidup pada zamannya saat itu pasti beliau melarang perempuan shalat di masjid sebagaimana telah diberlakukan kepada perempuan Bani Isra`il, saking banyaknya perempuan yang datang ke masjid dengan berdandan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Seandainya Rasulullah saw melihat apa yang dibuat-buat baru oleh kaum perempuan hari ini, pasti beliau akan melarang mereka (datang ke masjid) sebagaimana kaum perempuan Bani Isra`il dahulu dilarang.” (Shahih al-Bukhari bab khurujin-nisa ilal-masjid bil-lail wal-ghalas no. 869).

Hadits di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan pada zaman Nabi saw sampai menjelang wafatnya ‘Aisyah ra (w. 58 H) sudah terbiasa shalat berjama’ah di masjid. Hanya perbedaannya, jika di zaman Nabi saw kaum perempuan shalat di masjid tanpa berdandan, sementara pada akhir zaman ‘Aisyah ra kaum perempuan malah banyak yang sengaja berdandan untuk shalat di masjid. Seandainya Nabi saw tahu demikian pasti beliau akan melarang total kaum perempuan shalat di masjid seperti yang berlaku pada Bani Israil.

Hadits ini menegaskan bahwa perempuan tidak terlarang shalat berjama’ah di masjid. Syari’at larangan bagi perempuan shalat di masjid hanya berlaku pada zaman Bani Isra`il saja. Hadits ini juga menunjukkan bahwa anjuran tidak shalat di masjid bagi perempuan karena faktor pamer dandanan dari mereka, maka dari itu jangan sama sekali kaum perempuan melakukannya ketika shalat berjama’ah di masjid.

Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *