Syirik Mahabbah Harus Ditinjau Ulang

Pergelaran Piala Dunia Qatar 2022 yang baru selesai menyisakan PR kajian untuk umat Islam terkait konsep syirik mahabbah. Apakah syirik mahabbah dalam Piala Dunia sampai syirik akbar? Jika memang syirik akbar bukankah berarti sudah kafir keluar dari Islam? Apakah tropi Piala Dunia termasuk berhala? Apakah syirik mahabbah tidak masuk kategori syirik sama sekali sehingga mencintai sepak bola dengan penuh totalitas dianggap mubah saja?

Konsepsi syirik yang disusun oleh kelompok Salafi selalu memasukkan syirik mahabbah (syirik cinta) dalam kategori syirik akbar. Syirik akbar adalah syirik yang paling besar. Syirik yang paling besar adalah syirik yang tidak akan diampuni sama sekali dan akan kekal di neraka selama-lamanya. Syirik yang seperti ini adalah syirik yang kafir, sebagaimana Allah swt firmankan dalam QS. al-Bayyinah [98] : 6 atau an-Nisa` [4] : 48 dan 116. 

Syirik akbar adalah syirik yang sampai menuhankan Tuhan lain selain Allah swt. Orang-orang musyrik syirik akbar ini meyakini Allah swt sebagai Tuhan dan sekaligus meyakini sembahan-sembahan lain selain Allah swt sebagai Tuhan juga di samping Allah swt. Mereka kemudian mencintai sembahan-sembahan selain Allah swt tersebut sebagaimana mencintai Allah swt atau bahkan lebih. Dalam hal inilah mereka telah berbuat syirik mahabbah.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَشَدُّ حُبّٗا لِّلَّهِۗ

Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah (QS. al-Baqarah [2] : 165).

Syirik mahabbah yang disebutkan dalam ayat di atas jelas ditujukan kepada sembahan-sembahan selain Allah yang dijadikan Tuhan dan disembah oleh orang-orang musyrik. Ayat ini ditujukan untuk orang-orang musyrik yang kafir sebagaimana halnya kaum musyrikin Jahiliyyah yang dimotori Abu Thalib, Abu Lahab, dan Abu Jahal.

Maka akan jadi masalah kalau kemudian syirik mahabbah ini ditujukan kepada para pecinta sepak bola yang beberapa di antaranya kaum santri dan para asatidzah. Sebagian pemain sepak bola itu sendiri dikenal sebagai kaum mukmin yang taat, rajin ibadah, bagus mengaji al-Qur`annya, dan selalu menyumbang fi sabilillah. Jika mencintai sepak bola dikategorikan syirik mahabbah sebagaimana dimaksud ayat di atas (syirik akbar) maka otomatis mereka-mereka yang disebutkan di atas statusnya kafir yang tidak akan diampuni dan akan kekal di neraka selama-lamanya. Padahal faktanya mereka tidak menyembah sepak bola atau menjadikan tropi Piala Dunia sebagai berhala yang disembah. Jika tropinya sekedar dicium maka Nabi saw pun sering mencium anak kecil atau istrinya, tetapi tentunya itu tidak berarti bahwa Nabi saw menyembah anak-anak kecil dan istrinya. Jika sampai mengkafirkan kaum muslimin dengan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir maka ini sebagaimana diperingatkan oleh shahabat Ibn ‘Umar ra:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Ibn ‘Umar menilai mereka (kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin) sebagai makhluk Allah yang jahat. Ia berkata: “Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan memberlakukannya kepada orang-orang beriman.” (Shahih al-Bukhari kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim).

Maka syirik mahabbah sebagai bagian dari syirik akbar tidak boleh ditujukan kepada kaum muslimin yang tidak sampai menyembah apa yang mereka cintai. Syirik mahabbah itu hanya layak ditujukan kepada penganut Kristen dan Yahudi yang di satu sisi mereka meyakini ketuhanan Allah swt tetapi di sisi lain juga meyakini ketuhanan Yesus, Roh Kudus, Bunda Maria, atau Ezra seraya mencintainya dengan berlebihan. Atau kepada penganut agama kebatinan yang di satu sisi beragama Islam dan mengamalkan peribadatan Islam, tetapi di sisi lain meyakini ada tuhan selain Allah swt yang turut berkuasa di alam semesta ini seraya mencintai mereka sebanding dengan mencintai Allah swt.

Jika sebatas mencintai sepak bola tanpa menjadikannya sembahan atau Tuhan maka tidak boleh divonis syirik mahabbah sebagai bagian dari syirik akbar. Demikian juga dalam hal-hal kecintaan lainnya seperti hobi mancing, gowes, touring, wisata kuliner, olahraga, dan segenap hobi-hobi lainnya. Kaum muslimin yang memiliki hobi-hobi tersebut bisa dipastikan tidak menjadikannya sebagai Tuhan-tuhan yang disembah, melainkan sebatas mencintainya tanpa mempertuhankannya.

Hanya memang kecintaan terhadap hobi itu bisa mendangkalkan keimanan jika kecintaannya melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah swt sendiri dalam ayat di atas jelas menyatakan bahwa orang-orang beriman pasti asyaddu hubban lil-‘Llah; sangat besar cintanya kepada Allah, bukan kepada selain Allah. Cinta mereka kepada selain Allah tidak akan lebih besar daripada cinta kepada Allah.

Apalagi jika cinta kepada hal-hal duniawi tersebut sampai mengabaikan hak Allah dan Rasul-Nya juga jihad di jalan-Nya, maka Allah swt mengancam hal yang seperti ini dengan siksa. 

قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ  

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (QS. at-Taubah [9] : 24).

Maksud firman Allah swt: Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir adalah ancaman siksa-Nya bagi mereka yang selalu mendahulukan dunia dan meninggalkan ibadah juga jihad: 

فَانْتَظِرُوا مَاذَا يَحِلُّ بِكُمْ مِنْ عِقَابِهِ وَنَكَالِهِ بِكُمْ

Tunggulah siksa dan hukuman keras yang akan menimpa kalian.

Pemberian gelar fasiq kepada mereka yang lebih mencintai hal-hal duniawi daripada mencintai Allah, Rasul, dan jihad menunjukkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar, sehingga pantas diancam siksa. Jadi meski tidak termasuk syirik akbar tidak berarti bahwa mencintai hobi berlebihan bebas dari dosa sama sekali. 

Jika faktanya untuk menonton Piala Dunia rela mengorbankan tidur sampai lebih dari satu jam, lalu mengapa untuk bangun di waktu malam memenuhi perintah Allah swt untuk shalat malam selalu berdalih tidak mampu. Padahal yang benar adalah karena ketiadaan cinta kepada Allah swt. 

Jika untuk memenuhi hasrat hobi rela mengorbankan waktu, tenaga, dan uang agar puas dalam menikmatinya, lalu mengapa untuk belajar sunnah dan mengamalkannya merasa berat mengorbankan waktu meski hanya sekedar menyisihkan satu jam saja; atau berdalih lelah dan sudah tidak kuat tenaganya padahal tidak akan seberat memanggul beras; atau selalu ingin menjalaninya dengan gratis saja tidak mau mengeluarkan modal uang. Semuanya itu terjadi akibat tidak ada kecintaan kepada Rasul dan sunnahnya.

Setiap muslim harus berusaha maksimal meningkatkan ilmu dan kesadarannya agar Allah dan Rasul lebih ia cintai daripada hal-hal duniawi agar keimanan terasa manis dan nikmat di jiwa. Jika ini tidak bisa ditempuh, maka selamanya kefasiqan akan bersemayam di dada. Nabi saw sudah mengingatkan:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga perkara yang jika ketiganya ada pada diri seseorang ia akan merasakan manisnya iman, yaitu (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang selain keduanya, (2) mencintai seseorang karena Allah, (3) dan enggan kembali pada kekufuran sebagaimana enggan dimasukkan ke dalam neraka. (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab halawatil-iman no. 16)

Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *